***
Angin berhembus namun tidak terlalu dingin. Angin yang justru terasa hangat itu justru membuat Lisa melepaskan jaketnya, membuat semua orang yang lewat dapat melihat kaus hitam yang ia padukan dengan celana jeans berwarna navi. Kalau biasanya Lisa melangkah dengan berbagai sepatu hak tinggi tergantung suasana hatinya, malam ini ia melangkah dengan slipper karetnya. Slipper itu berwarna hitam, dengan beberapa garis putih sebagai hiasannya. Dengan slipper itu, kaki Lisa jadi kelihatan begitu ramping, terlebih karena ada warna red wine yang kontras di kuku-kuku kakinya, senada dengan warna kuku tangannya.
Sembari melangkah, Lisa mengikatkan lengan jaketnya ke pinggang. Di sebelahnya ada Jiyong yang masih dengan pakaiannya tadi pagi– kaus hitam, kemeja putih yang tidak dikancingkan, jaket kulit yang juga hitam juga celana jeans yang lagi-lagi hitam. Kali ini Jiyong hanya menyampirkan jaketnya, sebab gips di lengannya membuat lengannya itu tidak bisa masuk ke dalam jaket kulitnya. Dengan sebuah sepatu kets putih yang sedikit kotor karena darah, Jiyong melangkah di sebelah Lisa. Sesekali meletakan tangan kanannya yang sehat di bahu Lisa, mengarahkan gadis itu agar tidak jatuh ke dalam beberapa kubangan air di trotoar.
"Bagaimana hari ini? Maaf karena ternyata aku tidak datang, seharian," ucap Jiyong sembari melangkah ke minimarket.
"Tidak apa-apa," balas Lisa. "Semuanya lancar, mulai dari meetingnya sampai rekamannya. Tapi ada yang aneh dengan Jennie, dia jadi pendiam belakangan ini."
"Bukankah dia memang pendiam?"
"Begitu kah? Biasanya dia sangat cerewet kalau sedang bersamaku," ucap Lisa. "Tapi tidak apa-apa, tidak semua orang harus selalu berisik, mungkin dia hanya ingin diam. Kesimpulannya, semuanya lancar... Bagaimana ini? Sepertinya aku bisa merebut pekerjaanmu," susul Lisa disusul sebuah kekehan renyah seperti biasanya.
"Berbaik hati lah... lakukan sedikit kesalahan... Jangan mengambil pekerjaanku," balas Jiyong, dengan tenang ia mendorong pintu kaca di hadapannya. Ia buka pintu minimarket itu, menahannya agar Lisa bisa masuk kemudian menutup kembali pintunya setelah mereka berdua sama-sama ada di dalam.
"Hm... Akan aku pertimbangkan," canda Lisa yang kemudian menunjuk tangan kiri Jiyong. "Apa yang terjadi sampai harus di gips begitu?" tanyanya, setelah cukup lama menahan rasa penasarannya.
"Jatuh," jawab Jiyong. "Aku harap aku terluka karena sebuah aksi heroik atau sesuatu yang keren seperti itu. Tapi ini justru terjadi karena aku di dorong, jatuh, membentur rak lalu kejatuhan tropi. Aku tidak tahu kalau tropinya ternyata sangat berat, rasanya aku bisa mendengar tulangku hancur saat kejatuhan tropi tadi, bunyinya seperti keripik kentang yang dipatahkan," cerita Jiyong, dengan tangan kanannya yang kini meraih keripik kentang, memasukan keripik itu pada keranjang belanja yang Lisa bawa. Mencampurnya dengan sebungkus biskuit yang sudah lebih dulu Lisa ambil.
"Wow... Tropinya yang berat, atau tulangmu yang sudah keropos? Bukankah kau butuh semacam suplemen?" balas Lisa, terdengar seperti candaan meski sebenarnya ia sungguh-sungguh berencana membelikan Jiyong suplemen untuk tulang. Agar tulang pria itu tidak lagi seperti keripik kentang yang mudah hancur.
Selesai berbelanja, mereka membayar belanjaan itu. Jiyong yang mentraktir karena katanya ia dapat cukup uang jajan dari kompensasi yang orangtua Nana berikan. Selangkah kemudian, Lisa meletakan belanjaan mereka di atas meja kayu, di depan minimarket. Jiyong duduk di sebelah Lisa, mengulurkan sekaleng bir pada Lisa agar gadis itu bisa membukakan minumannya. Lisa melakukannya, bahkan tanpa Jiyong minta, Lisa cukup pengertian untuk membuka kan kaleng birnya.
"Kenapa kau tidak ingin ku ajak ke bar dan minum koktail?" tanya Jiyong, setelah ia menyesap setengah botol birnya.
"Lain kali," jawab Lisa. "Lain kali, kalau aku belum menghapus make up-ku. Aku sudah hampir tidur tadi, lihat, aku bahkan tidak memakai lipstikku sekarang. Aku butuh tiga puluh sampai empat puluh menit untuk bersiap-siap ke bar, lalu butuh dua puluh sampai tiga puluh menit lagi untuk menghapus riasannya nanti."
"Wah... Jadi begini wajahmu kalau tidak pakai riasan?"
"Kenapa? Aneh? Tsk... Harusnya aku-"
"Aku tidak tahu dimana bedanya... Uhm... Bibirmu memang terlihat sedikit pucat tanpa lipstik, pipimu juga terlihat lebih tirus tanpa perona, tapi apa yang aneh dengan itu? Baru aneh kalau kau memakai lipstik polkadot ke kantor," potong Jiyong, membuat Lisa yang sebelumnya khawatir kini justru terkekeh sebab membayangkan dirinya sendiri memakai lipstik polkadot.
Pembicaraan mereka berjalan lancar sampai kaleng bir ketiga. Memasuki kaleng keempat, Jiyong baru menyinggung soal kejadian yang menimpa tangannya pagi tadi. Jiyong memberitahu Lisa kalau pagi tadi Nana tiba-tiba datang ke rumahnya. "Saat dia datang, aku sempat melamun. Akhirnya dia kembali– sempat ada pikiran seperti itu dalam kepalaku. Tapi setelah aku melihat penampilannya saat datang, kemudian mendengar ucapannya, juga mendengar alasannya datang menemuiku, aku mengingat ucapanmu. Kau boleh merindukan seseorang, tapi jangan melupakan alasannya pergi. Kemudian aku teringat alasannya pergi, aku ingat alasan kami putus. Bukan Jennie, bukan juga karena ada pria lain. Tapi, kami berpisah karena kepribadian kami tidak cocok, sebagian besar karena aku tidak bisa menerima kepribadiannya."
"Syukurlah," ucap Lisa kemudian. "Setidaknya, kau sudah tahu alasan kalian berpisah. Aku dan Eric... Eric bukan cinta pertamaku, tapi dia pria pertama yang aku kencani. Kami berkencan sangat lama. Hampir delapan tahun, kurasa. Saat itu aku masih sangat muda, dia juga begitu. Kami bertemu saat aku bekerja, di musim panas. Lalu sekitar lima tahun lalu kami putus. Setelah putus aku berkencan dengan berbagai pria, sekitar enam sampai tujuh pria. Tapi Eric masih terasa- bagaimana mengatakannya? Mengganggu? Karena aku tidak tahu kenapa kami putus. Mungkin masalah jarak, hubungan jarak jauh, karena itu alasan paling mudah yang bisa aku katakan."
"Kalau diberi kesempatan untuk kembali pada Eric, apa kau akan mengambil kesempatan itu?" tanya Jiyong dan diluar dugaannya, Lisa menggelengkan kepalanya. Jiyong pikir Lisa masih mencintai Eric. Jiyong pikir keduanya masih saling mencintai. Karenanya keduanya tetap dekat meski sudah lama putus. Karenanya Eric tidak pernah mengencani siapapun selama ini. "Kenapa? Takut melakukan kesalahan yang sama?" tanya Jiyong sekali lagi.
"Aku bahkan tidak tahu apa yang salah dengan hubungan kami," geleng Lisa. "Aku hanya tidak ingin kembali mengencaninya karena kami pernah putus. Dia bahkan menulis lagu tentang itu– See you touch but I'm feeling nothing. I'm in California you, you out in Georgia, but we both in the same room. Staring at perfection, I'm about to wreck it, it's just something I gotta do. I think I wanna lose you. Just to find my way back to you. I think I wanna break up. Just to make it all up to you. I can't blame you if you hate me, you might think I'm some kind of crazy. Asking me "Did you even love me?"– setelah mendengar lagunya, aku memutuskan untuk tidak kembali padanya karena hubungan kedua kami akan berlangsung tanpa emosi. Pasti membosankan padahal akhir-akhir ini hatiku sering berdebar-debar, dan rasanya sangat menyenangkan."
Kini Jiyong menumpukan dagunya di atas meja kayu. Pria itu terlihat begitu kecil karena posisi meringkuknya. Masih dalam posisi itu, Jiyong meraih sebungkus permen jelly. Campuran rasa asam dan manis dari jelly panjang itu memenuhi mulutnya, membuat dahinya berkerut karena terlalu asam. "Nana suka sekali membuat cerita sedih," gumam Jiyong kemudian. "Dia penulis, dia menulis naskah, dia menulis cerita, dia menulis ini dan itu. Tulisannya bagus, aku suka membaca tulisannya. Tapi... Ternyata dia tidak hanya menulis di atas kertas atau di laptopnya. Dia menulis lebih banyak cerita dengan mulutnya. Suatu hari, dia bilang kalau dia anak yatim piatu yang dibuang orangtuanya. Di hari lainnya, dia memberitahu Seunghyun hyung kalau dia punya seorang kakak yang meninggal karenanya. Di hari lainnya lagi, dia mengatakan pada BIBI kalau dia sakit keras, dia biang usianya tinggal tiga bulan lagi. Awalnya aku pikir itu hanya salah satu caranya untuk mencari inspirasi, seperti survei? Mengoleksi data? Untuk bahan tulisannya. Tapi ternyata bukan. Dia senang dikasihani. Dia senang membuat cerita sedih tentangnya, kemudian dikasihani, dia pikir rasa kasihan itu adalah cinta, cinta yang bisa dengan mudah ia dapatkan."
"Sindrom munchausen?"
"Kau tahu tentang itu?"
"Ada banyak orang yang mengidap penyakit itu di internet. Berpura-pura menderita untuk mendapatkan simpati, cinta, empati. Kau ingin membahasnya, di acaramu?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
FanfictionUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...