***
Awalnya Stephanie kelihatan baik-baik saja. Ia tersenyum dengan rambutnya yang panjang dan ikat model ekor kuda. Ia mengenakan celana olahraga dengan kaus dan jaket, juga sepatu kets seolah akan pergi ke tempat gym. Dia masih seperti dulu– tebak Suga, saat dilihatnya Stephanie melangkah keluar dari rumahnya.
Tapi kemudian Stephanie jatuh. Tapi kemudian Stephanie menangis. Tapi kemudian Stephanie merengek, sangat tidak terduga apalagi saat seorang pria paruh baya berlari menghampirinya, menenangkannya, memeluknya. Berkat pelukan itu Stephanie kembali tertawa, kembali tersenyum, membuat pria paruh baya tadi ikut mengulas sebuah senyum. Senyum tipis dengan banyak rasa bersalah di dalamnya.
Kini Suga tidak lagi bisa tersenyum. Kini Suga tidak lagi bisa bergerak. Niatannya untuk menghampiri Stephanie ia urungkan. "Kenapa dia jadi seperti itu?" tanya Suga, namun tidak ada satupun jawaban atas pertanyaan itu. "Kenapa Stephanie yang dulu mempesona jadi menjijikkan seperti itu? Itu bukan Stephanie yang aku kenal dulu," tuturnya, membuat si manager yang ada di sebelahnya diam-diam mengepalkan tangannya.
Manager itu mengenal Stephanie. Mereka yang sudah belasan tahun bekerja untuk agensi, pasti mengenal Stephanie. Gadis paling anggun, paling tenang, si anak magang yang punya ratusan konsep– dulu, sebelum kebakaran terjadi. Perlahan si manager turun untuk mengecek situasi yang terjadi di sana. Beralasan kalau ia tersesat, manager itu menanyakan alamat pada Stephanie dan ayahnya. Stephanie tidak mengenalinya.
"Stephanie sakit-"
"Ayo pergi," potong Suga, enggan mendengar penjelasan lebih jauh lagi. "Mumpung sudah ada di sini, ayo kita berlibur hyung... Aku tidak bisa menemui Stephanie. Apa kata orang kalau aku dapat skandal bersamanya? Suga berkencan dengan wanita idiot? Aku tidak menyukainya," ucap Suga, sembari meminta supir yang ia sewa untuk segera pergi mencari hotel yang jauh dari rumah Stephanie itu. Suga tidak menginginkan Stephanie lagi. "Bukankah akan lebih baik kalau Stephanie mati saja? Daripada ia harus menyulitkan orang-orang di sekitarnya. Kasihan Lisa, dia terlalu cantik untuk punya kakak idiot seperti itu," susul Suga kemudian, membuat managernya benar-benar marah namun terlalu lemah untuk melakukan sesuatu.
Kembali ke Korea, malam ini Seunghyun menekan bel rumah Lisa. Pria itu datang ke sana sebab ia harus menjemput Nagyeom yang dititipkannya pada Lisa. Ia harus pergi ke kantor polisi, karenanya Nagyeom perlu dititipkan. Seunghyun melangkah masuk ke apartemen Lisa begitu tuan rumahnya membukakan pintu. Nagyeom sudah tidur saat Seunghyun datang, karenanya Lisa membiarkan Seunghyun untuk masuk ke dalam kamar utama, untuk melihat keadaan Nagyeom di sana.
"Apa yang terjadi? Kenapa Jiyong ada di kantor polisi?" tanya Lisa, setelah berbasa-basi dan Seunghyun bersedia menerima secangkir kopi sebelum pulang.
Kini mereka duduk berhadapan di meja makan. Keduanya punya kopinya masing-masing dan Lisa meletakan beberapa biskuit sebagai camilannya.
"Bukankah itu jaket Jiyong?" tanya Seunghyun, melihat sebuah jaket yang tengah dijemur di balkon apartemen itu. Tidak ada pakaian lainnya, hanya ada sebuah jaket hitam di sana.
"Hm... Itu miliknya. Aku meminjamnya kemarin lusa," balas Lisa. "Jadi, kenapa dia ada di kantor polisi? Ada hubungannya dengan perusahaan?"
"Tidak," geleng Seunghyun. "Tidak ada masalah dengan perusahaan. Hanya masalah pribadi."
"Ah... Masalah pribadi? Kalau begitu aku tidak perlu tahu," gumam Lisa dan Seunghyun mengiyakannya, meski sebenarnya ia ingin bercerita kalau saja Lisa mendesaknya.
Karena Lisa tidak berusaha mencari tahu, pada akhirnya Seunghyun hanya bisa meminta Lisa untuk tidak khawatir. Perusahaan akan baik-baik saja, Jiyong akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja. "Aku tidak khawatir-"
"Bibi, kapan ayahku- appa!" sela Nagyeom, yang tiba-tiba terbangun, keluar dari kamar utama dan menemukan ayahnya tengah duduk di meja makan bersama pemilik rumahnya. "Kenapa appa lama sekali? Aku sampai tertidur karena menunggumu," rengek si kecil Nagyeom yang kini berusaha naik ke atas pangkuan Seunghyun, duduk di sana kemudian merengek ingin segera pulang dan tidur di kamarnya sendiri.
Begitu pergi meninggalkan gedung apartemen itu, di pukul sembilan malam, Seunghyun melirik gadis kecil yang duduk di belakangnya. "Kau tidak senang bermain dengan Bibi Lisa?" tanya Seunghyun.
"Hm... Tidak," angguk Nagyeom. "Bibi Lisa menangis. Aku rasa Bibi Lisa tidak menyukaiku," sedih Nagyeom. "Aku rindu Bibi Jennie, kenapa dia tidak pernah berkunjung lagi? Apa Bibi Jennie juga tidak menyukaiku lagi?" oceh Nagyeom, membuat Seunghyun menggeleng, mengatakan kalau semua yang Nagyeom rasakan itu tidak benar.
"Tidak ada yang membencimu," jawab Seunghyun. "Bibi Jennie sedang sibuk jadi dia tidak bisa berkunjung, kalau Bibi Lisa, aku tidak tahu kenapa dia menangis, bisa jadi karena dia terlalu menyukaimu? Karena kau terlalu cantik?"
"Appa payah," balas Nagyeom, menanggapi ucapan Seunghyun yang sama sekali tidak terdengar tulus.
Sementara itu, setelah mengantar Nagyeom dan ayahnya kembali ke mobil, Lisa kembali masuk ke dalam lift. Tentu ia akan kembali ke apartemennya sendiri, tapi di depan pintunya ia justru berpapasan dengan tiga orang dewasa termasuk Jiyong. Ketiga orang itu baru saja keluar dari rumah Nana, entah untuk apa alasannya.
Lisa tersenyum menyapa ketiga orang itu, meski hanya Jiyong yang ia kenali. Enggan mencampuri urusan orang lain, gadis itu langsung melangkah masuk ke rumahnya tanpa berhenti berbasa-basi. Lagi pula, Jiyong yang tengah bersama orangtua Nana juga tidak menegurnya sama sekali.
"Terimakasih karena sudah membawa Nana ke rumah sakit," ucap wanita paruh baya di sana, tepat setelah Lisa menghilang dari balik pintunya. "Aku juga minta maaf karena tanganmu. Soal Nana, kami yang akan menyelesaikannya. Kau tidak perlu khawatir," susulnya sementara Jiyong hanya mengangguk, tersenyum tipis kemudian mengiyakannya.
"Ayo pulang," ajak pria paruh baya di sana kepada istrinya. Pria itu terlihat kesal, namun berusaha keras untuk menahan emosinya.
Jiyong mengantar sepasang suami istri itu ke mobil mereka. Ia menunggu sampai mobil itu pergi menjauh kemudian kembali masuk ke dalam gedung apartemen itu. Bukan ke apartemennya sendiri, tapi ke apartemen Lisa. Ia tekan belnya, menunggu untuk beberapa menit sampai kemudian Lisa keluar dengan pakaian yang tidak Jiyong duga sebelumnya. Gadis itu sudah memakai pakaian tidurnya, sebuah gaun tidur berbahan satin sepanjang lutut. Jiyong yakin hanya ada seutas tali yang menahan gaun tidur itu di bahunya, namun Lisa menutupi tubuh bagian atasnya dengan sebuah outer wol tebal yang kelihatan sangat hangat.
"Sudah berencana tidur?" tanya Jiyong, masih di depan pintu rumah Lisa.
"Kalau tawarannya menarik aku bisa berganti pakaian dan merubah rencanaku, apa tawarannya?"
"Minum segelas koktail di bar? Aku baru saja dapat uang kompensasi," jawab Jiyong, sembari menunjukan tangannya yang dipasangi gips.
"Ah... Tidak menarik," geleng Lisa.
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku baru saja makan nasi dan bla bla bla karena Nagyeom, uhm... Bir dan camilan?"
"Kalau begitu ganti pakaianmu, aku tunggu di sini."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
FanfictionUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...