***
Sudah dua jam Lisa duduk di halte. Beberapa bus sudah berhenti di depannya, beberapa taksi juga sudah melewatinya, namun gadis itu masih saja diam. Ia duduk di sana, tidak benar-benar sendirian karena ada beberapa orang yang sedang menunggu bus di sana, tapi keberadaan orang-orang itu tidak lah berarti untuknya. Lisa sibuk menjelajah dunia dengan kepalanya sendiri.
Ia melamun, membayangkan bagaimana reaksi Stephanie kalau melihat wajah Suga tadi. Alih-alih menanyakan keberadaan anaknya, anaknya yang Stephanie lahirkan tujuh tahun lalu, Suga justru menolak percaya pada kenyataan itu. Lisa sudah mempersiapkan dirinya. Ia sudah menebak tentang reaksi yang Suga tunjukan tadi, namun rasanya tetap saja menyesakan saat melihat Suga menolak mempercayainya. Saat Suga menolak keberadaan Stephanie juga anak mereka.
"Padahal aku bukan tokoh utamanya, tapi kenapa hatiku yang sakit? Apa ini artinya aku sangat menyayangi Stephanie?" gumam Lisa, bertanya pada dirinya sendiri.
Di tengah lamunan itu, seorang wanita menegur Lisa. "Pria itu ingin kau menjawab panggilannya," ucap seorang wanita yang kelihatannya baru saja pulang kerja. Wanita dengan setelan hitam dan kemeja putih tadi menunjuk sebuah mobil, dengan kepala Jiyong yang mendongak keluar dari jendelanya, menatap Lisa dari jarak beberapa meter jauhnya.
"Halo?" ucap Lisa, yang akhirnya menjawab panggilan Jiyong setelah tiga kali pria itu menelepon.
"Apa duduk di sana adalah urusan yang harus kau selesaikan?" tanya Jiyong melalui teleponnya. "Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu, kemari lah, aku akan memberimu tumpangan untuk pulang," tawar Jiyong, meski tidak berniat memaksa namun kata-katanya terdengar seperti itu.
Sejurus kemudian, Lisa ada di sebelah Jiyong, di dalam mobil pria itu. Jiyong mengingatkan Lisa untuk memakai seat belt-nya. Mobil melaju, namun tidak ada seorang pun yang bicara. Jiyong mengemudi, sedang Lisa duduk di sebelahnya, menyandarkan kepalanya pada jendela mobil sembari menatap keluar.
Lisa kelihatan sedih, hanya itu yang Jiyong ketahui meski ia tidak tahu alasan gadis itu bersedih. Lisa kelihatan murung, karenanya Jiyong memutar sebuah lagu yang mungkin bisa menghibur wanita itu– Good For You dari Eric Nam.
"Apa kau bisa menjaga rahasia?" tanya Lisa, pada pria yang tiga tahun lebih tua darinya itu. Ia belum terbiasa, memanggil orang-orang di sana dengan sebutan oppa atau eonni.
"Aku pikir, aku bisa," jawab Jiyong, sengaja mengurangi volume musiknya agar ia bisa mendengar suara pelan Lisa. "Tapi kau tidak perlu mengatakan apapun kalau tidak ingin melakukannya," susul Jiyong sebab Lisa terlihat ragu, terlihat tengah menimbang-nimbang akan terus bicara atau kembali diam.
Lisa sempat diam, namun setelahnya gadis itu kembali bicara– Lisa bertanya, jam berapa Jiyong harus pulang ke rumah.
"Ya? Apa maksudnya?" tanya Jiyong, menghentikan mobilnya di depan lampu lalu lintas yang berubah merah.
"Jam berapa kau harus pulang? Apa kau punya jam malam atau ada seseorang yang menunggumu di rumah?" Lisa mengulang kembali pertanyaannya.
"Tidak ada yang seperti itu. Aku hanya perlu tiba di kantor jam delapan besok," jawab Jiyong, ini kali pertama ia mendapatkan pertanyaan seperti itu. Rasanya cukup menyenangkan, seolah ada seseorang yang ingin tahu lebih banyak tentangnya.
"Kalau begitu, bagaimana dengan menemaniku minum segelas bir sebelum pulang?" Lisa bertanya sekali lagi dan Jiyong menyanggupinya. Menghabiskan segelas bir tidak akan memakan banyak waktu.
Awalnya mereka minum-minum di restoran ayam cepat saji, mereka menikmati seekor ayam goreng bersama beberapa gelas bir. Awalnya mereka hanya minum, namun semakin banyak alkohol yang masuk ke tubuh masing-masing, senyum mulai mengembang. Lisa mulai tersenyum saat ia rasa dirinya sudah mabuk.
"Jiyong, apa kau tahu apa yang terjadi kalau dua orang dewasa, pria dan wanita, tidur bersama?" tanya Lisa, memulai pembicaraan mereka.
"Tidak tahu, apa yang akan terjadi?" ucap Jiyong, sekedar menanggapi. Ia sudah menelan dua potong ayam goreng, tapi Lisa terus menenggak birnya tanpa sekali pun meraih garpunya. "Makanlah... Jangan terlalu cepat mabuk, itu tidak menyenangkan," ucapnya, sembari meraih garpu Lisa, menusuk sepotong paha ayam di antara mereka kemudian memberikannya pada Lisa. Ia paksa Lisa memegang garpu itu dan mengambil segigit daging dari paha ayam itu.
"Yang terjadi saat wanita dan pria dewasa tidur bersama... Tidak pasti. Sebagian dari mereka merasa sudah pergi ke Shangri-La dan menetap di sana, tapi sebagian lainnya justru merasa sebaliknya– masuk neraka dan tidak bisa keluar lagi. Aku sudah melihat keduanya," ucap Lisa setelah giginya bertemu dengan renyahnya ayam goreng pesanan mereka. "Saat aku sekolah, ada anak-anak yang dirundung di sekolahku. Anak-anak ini dapat perlakuan yang sama, mereka diejek, mereka juga dijauhi– kau terlalu aneh, aku tidak ingin bermain denganmu. Tapi anak-anak ini menunjukkan reaksi yang berbeda. Seorang anak merasa buruk karena dia aneh, lalu perundungan itu jadi sesuatu yang lebih serius. Tapi, anak lainnya tidak merasa begitu. Ia tahu dia berbeda dan dia menerimanya. Kalau teman-teman menjauhinya, dia bisa bermain sendirian. Dia tidak melihat penolakan itu sebagai sebuah masalah, semua orang punya selera yang berbeda, jadi biar saja kalau orang-orang itu tidak mau bermain dengannya, dia bisa bermain sendirian."
"Biar ku tebak," ucap Jiyong kemudian, menanggapi cerita yang entah bagaimana alurnya itu. "Kau pasti anak yang kedua, anak yang tetap bahagia meski sedang bermain sendirian," tebak pria itu dan Lisa menggelengkan kepalanya.
"Aku anak yang pertama," tutur Lisa. "Aku dan kakakku dirundung di sekolah, karena kami berbeda. Karena kami minoritas. Dulu aku merasa sangat buruk, aku berusaha jadi anak yang baik, siswa yang pintar, tapi mereka tetap tidak ingin bermain denganku. Lalu aku sedih, aku tidak mau berangkat ke sekolah lalu belajar di rumah saat sekolah menengah, home schooling. Tapi Stephanie tetap pergi ke sekolah, dia punya satu atau dua teman dan tidak terpengaruh dengan anak-anak lain yang merundungnya. Stephanie bilang, perundungan itu subjektif. Kau dirundung kalau kau merasa begitu, dan kau tidak dirundung kalau apa yang mereka lakukan tidak mengusikmu. Saat seorang perundung mendorongnya, Stephanie bisa merubah keadaan itu jadi perkelahian. Meski dia sering kalah, tapi dia menyukainya. Apapun yang kau lakukan, kau tidak bisa menjatuhkanku, aku lebih kuat– perasaan itu yang membuatnya merasa senang."
"Dia kakak yang keren," komentar Jiyong. "Dia pasti salah satu orang yang membuatmu jadi keren juga, seperti sekarang."
Lisa tersenyum, kemudian melanjutkan ceritanya. "Setelah lulus sekolah menengah, Stephanie pergi ke Korea. Dia dapat beasiswa di sini, sedangkan aku masih sekolah di rumah. Dia bilang dia senang ada di Korea. Stephanie tipe orang yang bisa merasa senang dimana saja. Kemampuan beradaptasinya benar-benar luar biasa. Dia wanita yang bisa bersinar meski berdiri sendirian. Saat Eric gagal audisi untuk pertama kalinya, Stephanie bilang pada Eric, tidak perlu jadi nomor satu, jadi nomor dua, atau tiga, bahkan sepuluh pun tidak apa-apa, selama kau menikmati usahamu. Dan setelah itu Eric berhasil. Dulu aku bilang Stephanie terlalu naif, terlalu santai, orang yang sama sekali tidak punya ambisi. Tapi sekarang, saat dia tidak lagi begitu... Aku merindukannya. Kemana perginya wanita keren itu? Aku tidak bisa menemukannya lagi."
Jiyong tersenyum, menikmati cerita itu kemudian meraih handphonenya. Ia arahkan layar handphonenya yang hitam gelap pada wajah Lisa. Ia buat Lisa bercermin dengan handphonenya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Stephanie dan kemana dia pergi, tapi dia sudah memberikan sebagian dari dirinya padamu. Apa yang kau dengar darinya, apa yang ia ajarkan padamu, apa yang kau lihat darinya, membuat dirimu jadi sama sepertinya, sama-sama keren."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
FanfictionUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...