33

488 101 13
                                    

***

Anak-anak mempercayai bahwa semua yang dikatakan padanya adalah kebenaran. Remaja mempercayai bahwa semua yang mereka tahu adalah kebenaran. Sedangkan orang dewasa, justru tidak tahu apa sebenarnya kebenaran itu. Saat kecil, Lisa juga mungkin orang-orang di dunia ini percaya kalau kebenaran adalah hal yang baik, kebenaran adalah hal yang diharapkan semua orang, sesuatu yang mulia, sesuatu yang akan membuat semua orang bahagia. Tapi seiring bertambahnya usia, Lisa ragu kalau kebenaran itu benar-benar ada. Kalau kebenaran itu adalah hal yang benar-benar mulia seperti yang digembar-gemborkan.

Di dalam pesawatnya kembali ke Korea, meninggalkan Seunghyun juga Nagyeom di rumahnya, Lisa memikirkan keputusannya. Kebenaran yang ada ditangannya, tidak akan membuat orang-orang memujinya. Kebenaran yang ada dalam pikirannya sekarang, tidak akan membuatnya bisa menyelamatkan dunia. Kebenaran itu justru akan membuat riak dalam danaunya yang tenang.

Kalau Lisa membeberkan semua kebenaran yang diketahuinya, sebuah tsunami akan muncul di danau tenang dalam hidup Stephanie, Nagyeom juga orangtuanya. Kalau ia diam saja, rasanya tetap ada sesuatu yang salah. Rasanya tetap menyakitkan melihat Stephanie dan masa depannya yang hancur sementara Min Yoongi juga CEO agensinya jadi semakin kaya, semakin semena-mena.

Sementara itu, di tempat lain, di pukul enam pagi saat matahari baru saja memulai shift kerjanya, Jennie menatap bingung pada seorang dokter di depannya. "Aku tidak hamil?" tanya wania itu, kepada seorang temannya yang sengaja bekerja lebih awal karena Jennie menghubunginya. "Sungguh? Aku tidak hamil? Sungguhan? Tapi testpack-nya? Ada dua garis di sana. Aku juga tidak datang bulan sejak- sejak... Kurasa hampir tiga bulan," ulang Jennie, masih tidak percaya dengan hasil pemeriksaan dokternya.

"Stress dan kurang gizi bisa membuat datang bulan terlambat. Kau terlihat lebih kurus dari terakhir kali kita bertemu. Lalu soal testpack-nya, hasilnya tidak selalu akurat. Hasil saat kita menggunakan testpack pagi dan malam hari bisa berbeda, urin pertama yang paling cocok dipakai untuk mengetes kehamilan, karena asumsinya ada banyak hormon HGG– yang ada pada ibu hamil– para urin pertama dipagi hari. Caramu menyimpan testpack-nya juga bisa mempengaruhi akurasinya. Hasil testpack paling akurat hanya di menit kelima sampai kesepuluh, setelahnya hasilnya mungkin sekali berubah. Kau tidak hamil, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jelas sang dokter yang setelahnya meminta Jennie untuk mentraktirnya segelas kopi.

"Maaf, aku punya beberapa hal yang harus aku khawatirkan sekarang. Aku traktir kapan-kapan, secepatnya," susul Jennie yang setelahnya melangkah pergi, meninggalkan rumah sakit itu untuk kemudian menelepon Seunghyun.

Seharusnya di Michigan masih sore sekarang. Namun Jennie gelisah karena Seunghyun tidak juga menjawab panggilannya. Dua kali Jennie menelepon dan dua kali juga panggilan itu di abaikan. Sampai akhirnya, saat Jennie hendak menelepon untuk ketiga kalinya, Seunghyun sudah lebih dulu meneleponnya.

"Maaf, aku sedang mengemudi tadi. Ada apa?" tanya Seunghyun.

"Oppa dimana?"

"Michigan- maksudku, aku baru saja mengantar Lisa ke bandara, lalu mengajak Stephanie dan Nagyeom makan burger. Dimana kau sekarang? Di rumah?"

"Rumah sakit-"

"Kau sakit?"

"Aku pikir begitu, tapi ternyata tidak. Aku tidak hamil," pelan Jennie, membuat Seunghyun terdiam.

Keduanya terdiam cukup lama, sampai kemudian Seunghyun bertanya– sejak kapan Jennie mengira dirinya hamil. "Sayang sekali... Apa alasanmu murung akhir-akhir ini karena itu?" tanya Seunghyun dan dengan lemah Jennie mengiyakannya.

"Maaf," gumam Jennie kemudian. "Maaf karena tidak bisa memberitahumu sejak awal-"

"Jennie-ya," ucap Seunghyun kemudian, membuat Jennie yang duduk di mobilnya segera merapikan posisi duduknya, ia mencari kenyamanan di dalam mobilnya, bersiap untuk sesuatu menyakitkan yang mungkin Seunghyun katakan.

Jennie gugup karena Seunghyun memanggil namanya, dan ia jadi semakin gugup sebab Seunghyun kedengaran tengah mematik rokoknya. "Jangan menghisap dua rokok sekaligus," tegur Jennie, sebab ia mendengar Seunghyun dua kali memakai pematiknya. Tapi Seunghyun tidak mendengarkan wanita itu, ia tetap pada kebiasaannya, Seunghyun menjauh dari rumah keluarga Lee itu, membiarkan putrinya bermain dengan ibu kandungnya, menelepon sembari memijat pelipisnya sendiri.

"Jennie-ya, kau tidak mungkin bisa mengandung anakku. Karena itu aku bercerai, karena itu aku tidak bisa melepaskan Nagyeom, karena itu aku tidak bisa menikah denganmu. Tidak ada yang bisa menutupi kekuranganku, karena itu Nagyeom- karena itu Nagyeom penting bagiku, hanya dia anak yang bisa kumiliki. Karena itu aku bisa melepaskan segalanya untuk tetap bersamanya."

"Apa? Apa kau sengaja membohongiku agar aku segera pergi darimu? Ini sama sekali tidak lucu! Oppa-" Jennie menatap handphonenya, panggilan mereka berakhir karena handphonenya kehabisan daya. Buru-buru wanita itu mencari pengisi dayanya namun ia tidak menemukan apapun yang bisa mengisi daya handphonenya di sana.

Marah, khawatir, sedih, semua perasaan itu berkecamuk dalam dirinya. Bahkan setelah ia berhasil mengisi daya handphonenya, Seunghyun tidak lagi bisa dihubungi. Pria itu terus saja berada dalam panggilan lain setiap kali Jennie menelepon.

Kalau Lisa masih ada di Michigan, Jennie bisa saja meminta Lisa untuk menghubungkannya dengan Seunghyun. Bahkan meski gadis itu tidak ada di sana, Jennie pasti bisa mendapatkan nomor telepon Diane dari Eric, hingga ia bisa meminta Diane menghubungkannya pada Seunghyun. Selalu ada cara untuk menghubungi seseorang– namun Jennie memilih untuk berhenti.

Pasti ada alasan Seunghyun enggan di hubungi. Pasti ada alasan Seunghyun menghindarinya. Jennie mencoba memahaminya, namun ia tidak menemukan alasan apapun. Gelisah namun tidak bisa menanyakan apapun. Khawatir namun tidak bisa bertanya. Rasa gundah itu lantas membawa Jennie ke apartemen Jiyong, seorang teman dekat Seunghyun yang bisa ia hubungi, Jiyong adalah satu-satunya teman Seunghyun yang Jennie tahu.

Jiyong baru saja bangun ketika Jennie datang. Beberapa jam lalu pria itu sudah bangun, sebab Lisa meneleponnya, mengabarinya kalau ia sudah di bandara dan akan segera tiba. Lisa menghubungi Jiyong supaya pria itu tidak menjemputnya, sebab katanya Eric yang akan datang menjemput. Begitu tiba, Jiyong mempersilahkan Jennie masuk ke dalam rumahnya, mempersilahkan gadis itu duduk di sofa, sementara ia berlalu ke dapur, membasuh wajahnya di bak cuci piring kemudian mengambilkan sebotol air mineral untuk Jennie.

"Terakhir kali aku ke sini bersama eommaku, oppa tidak punya air mineral. Bahkan rumahmu lebih berantakan daripada kandang babi," komentar Jennie sembari menerima sebotol air dingin yang baru saja Jiyong ulurkan.

"Lisa tidak mau ke sini kalau berantakan, jadi aku merapikannya," jawab Jiyong, yang juga duduk di sofa, di sebelah Jennie. Pria itu duduk di sana, memeluk sebuah bantal sofa, kemudian menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. "Kenapa kau kesini pagi-pagi sekali? Aku sedang kesal sekarang, jadi kalau kau-"

"Aku tidak hamil," ucap Jennie memotong ucapan Jiyong. "Awalnya aku pikir aku hamil. Aku merahasiakannya, aku khawatir kalau aku benar-benar hamil karena beberapa testpack bilang begitu. Aku takut memberitahu orang lain, aku takut eommaku akan marah, aku takut appamu akan membenciku, aku takut orang-orang akan memakiku. Jadi aku merahasiakannya. Sudah tiga bulan aku tidak datang bulan, aku mual-mual, aku cepat lelah, aku merasa sakit, jadi aku memeriksakannya, katanya kalau sudah lebih dari tiga bulan bayinya tidak bisa digugurkan. Sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, aku memeriksakannya, tapi ternyata aku tidak hamil. Hasil testpack-nya mungkin sekali keliru. Lalu aku tidak datang bulan karena stress," oceh Jennie, tidak membiarkan Jiyong menanggapinya.

"Lalu bagaimana sekarang? Kau sedih?" tanya Jiyong setelah Jennie memberinya sedikit jeda untuk berkomentar.

"Tidak tahu," jawab Jennie, menggelengkan kepalanya. "Rasanya... Lega sekaligus sedih." Susulnya. "Aku lega karena semua kekhawatiranku tidak terjadi. Aku merasa bodoh karena aku bahkan tidak tahu kalau aku hamil atau tidak. Bagaimana aku bisa tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku sendiri? Bagaimana aku bisa punya anak kalau aku sendiri tidak tahu tentang tubuhku sendiri? Tapi dari semua itu... Aku merasa lebih sedih lagi karena reaksinya. Pria yang ku pikir menghamiliku, bilang kalau dia sudah menduganya. Aku sudah menduganya, kalau kau tidak hamil, kau tidak mungkin bisa mengandung anakku– begitu katanya, dan hatiku jadi sakit," cerita Jennie.

"Mau berciuman denganku?"

***

Sparkling SocietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang