***
Suga sudah menunggu selama lima belas menit, tapi Lisa tidak juga datang. Sebelum terlambat tadi, Lisa sudah memberitahu Suga kalau ia dan taksinya terjebak macet. Tapi sepertinya alasan itu tidak membuat Suga merasa jadi lebih baik. Suga tetap terlihat kesal malam ini. Ia sudah ada di restoran tempat mereka berjanji untuk bertemu, tapi karena Lisa belum datang, Suga belum memesan apapun selain secangkir teh peach yang wangi.
Untungnya penantian itu tidak perlu berlangsung lebih lama lagi. Saat Suga melihat Lisa datang, pria itu merubah ekspresi wajahnya. Ia jadi kelihatan murung saat Lisa menemukannya. "Maaf aku terlambat," ucap Lisa, yang datang dengan pakaian kerjanya– celana pendek, kemeja juga blazer favoritnya. Seolah tahu kalau malam ini mereka akan membicarakan sesuatu yang sedih, Lisa memakai pakaiannya yang berwarna gelap, hitam dengan gradasi yang berbeda.
Belum lama sejak Lisa duduk, handphonenya berdering. Jiyong baru saja menelepon, mungkin pria itu penasaran karena saat ia kembali ke kantor setelah melakukan perjalanan bisnis, Lisa tidak di sana. Lisa menolak panggilan itu, merasa kalau ia tidak punya apapun untuk dibicarakan dengan Jiyong saat itu. Jiyong tidak lagi menelepon setelah panggilannya di tolak, jadi Lisa bisa dengan tenang menyimpan handphonenya di dalam tasnya. Jiyong pasti akan menelepon lagi kalau ada sesuatu yang benar-benar mendesak.
Kembali pada Suga, Lisa menanyakan alasan pria itu menemuinya. Ternyata, Suga datang menemui Lisa setelah ia melihat Stephanie secara langsung. Dengan murung, seolah lupa akan kata-katanya waktu itu, Suga menanyakan pada Lisa, tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Bagaimana Stephanie bisa jadi seperti itu?" tanya Suga, terdengar begitu sedih meski sebenarnya ia tidak penasaran sama sekali. Suga hanya ingin terlihat bersimpati pada Lisa, Suga hanya ingin terlihat baik di depan wanita cantik itu.
"Lalu bagaimana dengan anak yang katanya ia lahirkan?" tanya Suga, menghentikan cerita Lisa tentang kebakaran waktu itu. Rasanya aneh– pikir Lisa setelah ia mendengar pertanyaan Suga. Suga bicara seolah anak itu bukanlah miliknya, hingga Lisa merasa ragu untuk menyebut Nagyeom di sana. Ia bahkan belum memberitahu Seunghyun tentang masalah itu, ia terlalu khawatir.
Lisa menggeleng, menolak menjawab pertanyaan Suga. "Aku dan orangtuaku bahkan tidak tahu kalau Stephanie pernah hamil. Kami tidak tahu tentang itu, bisakah kau mencaritahunya? Itu alasanku menemuimu... Karena- karena CEO agensimu juga bertanggung jawab. Dia ada di apartemen Stephanie saat kebakaran itu," pinta Lisa dan tanpa pikir panjang, Suga menyetujuinya.
Suga tidak bersedia menuruti permintaan Lisa karena ia penasaran. Selama tidak ada anak usia tujuh tahun yang datang dan mengaku sebagai anaknya, Suga tidak peduli. Suga pernah sangat mencintai Stephanie, beberapa tahun lalu saat mereka masih sangat muda. Tapi Suga tumbuh, pria itu berkembang, ia mulai mengetahui banyak hal, ia juga mulai menginginkan banyak hal. Sedangkan Stephanie justru sakit, entah bisa sembuh atau tidak. Stephanie dan keadaannya, jadi tidak lagi menarik di mata Suga.
"Aku akan mencaritahu, tentang anak yang mungkin Stephanie lahirkan, tentang kematiannya, aku akan mencari tahu semuanya dan menghubungimu lagi," ucap Suga, meyakinkan Lisa dengan meraih tangan gadis itu, menggenggamnya, seolah tengah memberi segenggam semangat.
Suga berjanji akan membantu Lisa mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi saat kebakaran itu. Setelahnya, mereka berpisah dengan perasaan sesak yang memenuhi dada Lisa. Suga tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat Lisa dengan dandannya yang mempesona, sangat menarik, dia tumbuh menjadi seorang wanita secantik kakaknya, seanggun Stephanie– nilai Suga.
"Aku bisa memberimu tumpang," tawar Suga, mengikuti Lisa ke pintu depan restoran setelah makan malam dan pembicaraan mereka selesai.
"Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri, ini belum terlalu malam," tolak Lisa, tersenyum sembari menatap Suga.
Suga membalas senyuman itu, dengan sopan pria itu menghentikan taksi yang melewati restoran. Ia mencarikan taksi untuk Lisa, membayar taksi itu, bahkan meminta supir taksinya mengantar Lisa dengan selamat sampai ke tujuan. Suga bersikap layaknya seorang pria bertanggung jawab, dan Lisa berterimakasih kepadanya, meski ia tidak mengharapkan semua itu dari Suga.
Begitu taksinya menjauhi restoran itu, Suga masih berdiri di tepi jalan, menunggu taksi Lisa tidak lagi terlihat oleh matanya sebelum ia pergi. "Kekasihmu penuh perhatian, nona," ucap seorang ibu yang bekerja– supir taksi itu.
"Kelihatannya begitu, tapi sayang sekali dia bukan kekasihku," tenang Lisa, tidak terlihat marah dengan jemari yang sibuk menekan beberapa angka di handphonenya. Ia menelepon Jennie malam ini.
Lisa yang tiba-tiba menelepon Jennie, membuat Jennie panik. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya, buru-buru membasuh wajahnya kemudian menjawab panggilan itu dengan berdeham sebelumnya. Ia harus memastikan suaranya terdengar baik-baik saja malam ini.
"Jennie, boleh aku ke rumahmu?" tanya Lisa begitu panggilannya di jawab.
"Rumahku?"
"Aku baru saja bertemu dengan Suga dan rasanya aneh. Apa aku boleh menemuimu?"
"Jiyong oppa?"
"Kenapa Jiyong? Hari ini aku tidak ingin bertemu dengannya, aku hanya merindukanmu dan ingin bertemu denganmu, kau sibuk?"
"Baiklah, datang saja," ucap Jennie, yang akhirnya bergerak, turun dari ranjangnya sembari menggeser setumpuk tissue dengan kakinya. Dengan terpaksa, ia harus mulai membersihkan rumahnya– agar Lisa tidak khawatir.
"Aku akan tiba sekitar satu jam lagi. Butuh sesuatu?"
"Bawakan makan malam, aku belum makan malam. Sesuatu yang pedas," pesan Jennie dan Lisa menyanggupinya.
Kini panggilan itu berakhir dan Jennie mulai bekerja. Pertama-tama ia membersihkan ranjangnya. Lantas meraih semua alat rias yang beberapa jam lalu ia acak-acak sampai jatuh dan tersebar ke lantai. Setelah selesai dengan kamarnya, meski tidak benar-benar rapi, Jennie berjalan ke ruang tengah. Di sana kelihatan jauh lebih kacau.
"Bagaimana caranya membersihkan semua ini?" gumam Jennie, tiga puluh menit sebelum Lisa datang.
Di depan Jennie kini ada ruang tengah rumahnya yang seperti baru saja di rampok. Tirainya di jendelanya lepas karena ia tarik, beberapa vas bunganya juga bingkai fotonya pecah karena ia lempar, beberapa porsi makanan– makan pagi, makan siang dan makan malam– tumpah di sebelah meja makan. Semuanya kacau, rumah Jennie maupun perasaannya, semuanya hancur.
"Haruskah aku bilang seorang perampok masuk ke sini?" gumam Jennie kemudian. Kini ia melangkah ke dapurnya.
Jennie memutuskan untuk membuang semua yang rusak. Ia tidak peduli dengan sampah yang harus ia pilah, ia tidak peduli dengan kenangan yang masih tersimpan dalam barang-barangnya. Rusak atau tidak, bisa diperbaiki atau tidak, Jennie tidak lagi peduli. Ia masukan semuanya ke dalam kotak-kotak karton, ke dalam plastik sampah, kemudian menumpuknya di sudut dapur untuk di buang besok pagi.
Jennie selesai mencuci tangan dan wajahnya saat bel pintunya berbunyi. Buru-buru ia membuka pintunya namun bukan Lisa yang berdiri di sana. Seunghyun yang justru ada di sana, dengan celana tidur juga jaketnya. Rambut pria itu berantakan, seolah ia sudah berkali-kali menjambak rambutnya. Aroma manis dari wine tercium jelas di hidung Jennie, membuat gadis itu harus sedikit mundur agar aromanya tidak menggangu kemampuan indera penciumannya. Tidak membuatnya ikut pusing.
"Apa yang kau lakukan di sini? Pergilah, Lisa akan datang ke sini," usir Jennie, sembari menatap lift yang ada di ujung lorong, berharap Lisa tidak ada di sana.
"Sekeras apapun aku berfikir, aku tidak bisa-"
"Karena itu, pergi dari hadapanku. Jangan muncul lagi di depanku. Jangan mabuk dan meneleponku. Jangan menyapaku. Jangan menatapku. Mati saja."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
Fiksi PenggemarUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...