29

531 125 7
                                    

***

Lisa mengetuk pintu bertuliskan CEO di lantai tiga. Ada beberapa ruangan yang katanya kamar tidur di sana, untuk Kang Daesung, Jiyong atau bahkan sang CEO-nya sendiri. Namun Lisa tidak pernah melihat kamar-kamar itu sebelumnya. Satu-satunya tempat yang pernah ia kunjungi di lantai tiga hanyalah ruang kerja Seunghyun juga toilet di ujung lorongnya.

"Kau ingin aku ikut?" tanya Jiyong, yang berdiri di belakang Lisa. Pria itu merasa sedikit canggung, sebab ia tidak pernah mengetuk pintu ruang kerja itu sebelumnya, sebab ia tahu akan ada perselisihan di dalam sana dalam beberapa menit ke depan.

"Tidak," geleng Lisa, yang setelahnya menarik nafas dalam-dalam kemudian menghelanya dengan keras. Helaan nafasnya hampir bersamaan dengan suara Seunghyun yang mengizinkannya masuk. "Pulang lah duluan, aku akan lama, tidak perlu menunggu," susulnya, sebab tiga puluh menit lagi jam pulang kerja mereka akan datang.

"Pelan-pelan saja, pakai waktumu, aku akan menunggu meski kalian selesai bicara tengah malam nanti," ucap Jiyong yang kemudian Lisa jawab dengan sebuah gelengan kecil. Lisa tidak ingin terjaga sampai tengah malam, ia sudah sangat lelah karena sebelumnya ia harus terjaga semalaman– karena harus menjelaskan detail situasinya pada Jiyong.

"Kalau begitu tunggu sebentar di bawah," pamit Lisa yang kini melangkah masuk ke dalam ruang kerja Seunghyun.

Seunghyun ada di kursinya ketika Lisa masuk. Pria itu tengah membaca beberapa berkas, dan langsung menatap Lisa ketika gadis itu menyapa. Seunghyun lantas mempersilahkan Lisa untuk duduk di sofa, sedang ia bangkit dan melangkah ke arah sofa yang sama. "Ada apa?" tentu saja itu yang pertama kali Seunghyun tanyakan. Ia perlu tahu alasan Lisa datang, sebelum memutuskan apakah alasan itu layak dibicarakan atau justru layak untuk diabaikan. "Apa ini tentang pekerjaan?" susulnya, sebab Lisa tidak mengatakan apapun, meski tubuhnya sudah duduk di sofa. Mereka sudah duduk berhadapan di sofa itu, dengan sebuah meja kaca yang kosong tanpa sajian apapun.

"Bukan, ini bukan soal pekerjaan," jawab Lisa, tanpa menunjukkan sedikit pun gerakan, sedikit pun petunjuk mengenai alasannya datang.

"Lalu? Apa mendesak?"

"Sedikit?"

"Tentang apa ini? Kejadian kemarin?"

"Salah satunya," jawab Lisa yang kemudian bangkit. Ia berjalan mendekati sebuah mesin kopi di sudut ruangan kemudian berbasa-basi– apakah ia boleh membuat dua cangkir kopi untuk mereka, sebelum mulai bicara?

Seunghyun mengizinkan Lisa membuatkannya kopi. Beberapa menit kemudian gadis itu kembali dengan dua cangkir kopi di tangannya. Ia sajikan satu cangkir untuk Seunghyun, sementara satu cangkir lainnya untuk dirinya sendiri. Setelah ia menyesap secangkir kopi panas itu, mulutnya mulai bicara. "Ini soal Nagyeom," ucapnya pertama kali.

"Ada apa dengan putriku? Apa kemarin dia membuatmu kesulitan?"

Lisa menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar ragu untuk memulai pembicaraan itu. Haruskah ia meminta Jiyong untuk datang dan menggantikannya bicara? Gadis itu benar-benar bimbang sore ini– meski Seunghyun tidak bisa menemukan kebimbangan itu dalam wajah datar Lisa.

"Sebelumnya, apa kau tahu kalau aku dan Jennie berteman dekat, CEO Choi?" tanya Lisa, mencari titik awal pembicaraan mereka. Meski rasanya titik itu terlalu jauh untuk memulai obrolan mereka.

"Hm... Aku baru tahu saat kau merekrutnya," ucap Seunghyun sembari menyesap kopinya.

"Berarti kau tidak akan terkejut kalau aku bilang, aku tahu tentang hubungan kalian?"

"Sampai mana Jennie memberitahumu?"

"Tidak ada," geleng Lisa, yang kini meletakan cangkirnya di atas meja kaca, tidak jauh dari cangkir kopi Seunghyun. "Tapi aku tahu masalahnya, Nagyeom-"

"Maaf, tapi kurasa aku tidak bisa membicarakan ini denganmu. Keluar lah, kau akan membuatku tersinggung kalau kita melanjutkannya, aku tidak ingin berada dalam situasi yang tidak nyaman dengan bawahanku," potong Seunghyun, menegaskan sikap lancang Lisa juga menegaskan bagaimana posisi mereka– Lisa hanya karyawan, ia tidak berhak ikut campur dalam hubungan apapun yang Seunghyun jalani.

"Tidak, aku tidak datang untuk membuatmu tersinggung. Aku justru datang untuk berterimakasih padamu, CEO Choi," tolak Lisa yang kemudian memberitahu Seunghyun kalau ia tahu tentang adopsi yang Seunghyun lakukan beberapa tahun silam. "Apa kebetulan kau tahu siapa orangtua kandung Nagyeom?" tanya Lisa, setelah ia mengejutkan Seunghyun dengan ucapannya.

"Ya," angguk Seunghyun yang kali ini mengejutkan Lisa. "Aku tahu orangtua kandungnya, tapi aku tidak bisa memberikan Nagyeom pada mereka. Aku memang mengadopsi Nagyeom karena mantan istriku tidak bisa melahirkan. Tapi aku sudah merawatnya sejak dia masih bayi. Aku sudah menghabiskan bertahun-tahun hidupku bersamanya, aku tidak bisa menyerahkannya pada orangtua yang bahkan tidak menginginkannya. Tidak akan pernah. Jadi, kalau kau ingin aku memberikan Nagyeom pada orang lain demi Jennie, aku tidak bisa melakukannya."

Seunghyun mengatakan banyak hal. Namun Lisa sama sekali tidak memahaminya. Otak gadis itu berhenti sejak ia mendengar kalimat pertama Seunghyun. Seunghyun tahu siapa orangtua kandung Nagyeom– tapi bagaimana pria itu bisa tahu? Lisa tidak bisa menebaknya.

"Kau mengenal Stephanie?" gumam Lisa kemudian, setelah tubuhnya terasa begitu lemas di atas sofa hitam yang ia duduki.

"Stephanie Lee? Ibu kandung Nagyeom?"

"Hm..." angguk Lisa. "Kakakku. Bagaimana kau mengenalnya?" tanya Lisa, menambah keterkejutan Seunghyun. Mereka terus terkejut, bergantian seolah keduanya tengah berada di dalam sebuah permainan.

Setelah keduanya terdiam selama beberapa menit, usai Seunghyun meyakinkan dirinya kalau Lalisa Lee benar-benar adik Stephanie Lee, pria itu bangkit dari sofanya. Seunghyun bangkit, kemudian melangkah ke meja kerjanya. Ada sebuah berangkas di bawah meja itu dan dengan hati-hati Seunghyun membuka pintu besinya. Dari dalam berangkas itu, Seunghyun mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat. Itu adalah berkas adopsi juga data diri Nagyeom beberapa tahun lalu. Dari dalam amplopnya, Seunghyun mengeluarkan selembar foto juga sepucuk surat yang terlipat hampir sobek.

Lisa menerima dua lembar kertas itu dan tangisnya pecah saat ia melihat foto Stephanie tengah menggendong seorang bayi kecil berselimut merah muda. Di foto itu, Stephanie terlihat begitu buruk. Matanya merah berkantung, seolah ia telah begitu tersiksa dan sedang berusaha melarikan diri. Pipinya terlampau tirus, hingga lesung pipinya terlihat begitu cekung, lebih dalam dari biasanya saat tersenyum.

"Namaku Stephanie Lee, ini anakku tapi aku tidak bisa memberinya nama. Kalau ada adikku di sini, dia pasti sudah memikirkan seratus nama yang bisa aku pilih untuk jadi nama bayiku ini. Siapapun, tolong berikan nama yang cantik untuk bayiku. Siapapun namanya nanti, aku akan mengenalinya, bayiku yang cantik, yang paling cantik.

Aku ingin menjemput bayiku suatu saat nanti. Aku akan menjemput bayiku lagi. Tapi, kalau ada seseorang baik yang ingin merawat bayiku, tolong tinggalkan alamat dan nomor teleponmu. Juga tolong beritahu bayiku kalau dia diadopsi. Aku tahu itu akan menyakitinya, tapi aku ingin ia tahu kalau aku ibunya. Kalau aku tidak menelantarkannya. Aku sedang melindunginya, dia akan mati kalau ikut bersamaku. Dia akan terluka kalau bertemu ayah kandungnya.

Nama ayah kandungnya Min Yoongi. Satu-satunya Min Yoongi dalam hidup Stephanie Lee. Aku tidak tahu nanti, tapi untuk saat ini, Min Yoongi tidak menginginkan bayi kami. Orang-orang di sekitarnya juga tidak menginginkan bayi kami yang cantik ini. Jahat. Tapi aku harap suatu saat nanti mereka akan berubah.

Kalau nanti bayiku bertanya seperti apa ibu kandungnya, tolong jangan buat dia membenciku. Katakan saja padanya, kalau ibunya tinggal di Michigan. Ibunya punya seorang adik perempuan yang nakal tapi sangat cerdas. Jadi kalau nanti ada gadis cantik yang mengaku sebagai adikku, dan dia terlihat cerdas, tolong terima dia. Kalau sampai adikku yang mencari bayiku, bukan aku, berarti sesuatu yang buruk telah terjadi padaku. Jangan berikan surat ini padanya, pada bayiku, juga pada adikku."

***

Sparkling SocietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang