21

517 128 2
                                    

***

"Jadi, begini ceritanya," ucap Lisa memulai pembicaraan mereka sembari makan siang. "Belakangan ini, ada banyak hal yang menganggu pikiranku. Bukan pekerjaan, dalam posisiku sekarang, pekerjaan justru terasa seperti hiburan. Aku sudah memberitahumu kan? Kalau aku punya seorang kakak perempuan, namanya Stephanie. Dua belas tahun lalu, Stephanie pergi ke Korea. Saat itu usiaku delapan belas puluh dan dia dua puluh. Dia kuliah di sini, dan semuanya baik-baik saja. Keluargaku sedang ada di atas awan saat itu. Aku sudah cukup dewasa untuk tahu kalau aku kuat, aku sudah tidak lagi dirundung, dan Stephanie bahagia di sini. Mungkin orangtuaku merasa– ah ini saatnya kami beristirahat, dua gadis yang kami besarkan, sekarang sudah mandiri.

Tapi beberapa tahun kemudian, Stephanie pulang ke rumah dalam keadaan yang sangat memprihatikan. Dia sakit, dia koma untuk beberapa lama dan saat bangun, dia punya masalah dengan otaknya. Dia kehilangan kemampuan intelektualnya. Dunia kami sekeluarga kemudian hancur. Orangtuaku bertengkar, ayahku pergi dari rumah karena kecewa, ibuku menangis setiap hari dan Stephanie terus tertawa seperti anak lima tahun.

Ayahku seorang Professor di sana, tapi kami tidak kaya raya seperti keluarga Professor di film-film. Hanya keluarga biasa, yang masih bisa membeli kursi baru saat kursi lama kami rusak, yang masih bisa makan saat lapar, tapi tidak sangat kaya sampai bisa berfoya-foya. Pengobatan Stephanie juga menghabiskan banyak uang. Aku menjual mobilku, ibuku juga menjual miliknya. Apartemen yang kakekku berikan pada Stephanie, di dekat apartemen Eric, kami juga menjual itu. Tempat tinggal Stephanie waktu ia tinggal di sini, jauh lebih bagus dari tempatku sekarang.

Lalu setelah kami kehilangan semua itu, aku juga harus bekerja lebih keras karena perlu membiayai keluargaku. Aku dapat sebuah surat dari Stephanie. Suratnya di kirim dari Korea, tapi Surat itu terlambat datang. Sangat terlambat, karena Stephanie mengirim suratnya ke alamat lamaku di New York. Aku baru menerima surat itu sekitar tiga atau empat tahun lalu, saat aku putus dengan Tom dan pergi ke alamat lamaku untuk mengingat Eric– hanya untuk mengingatkan diriku sendiri kalau Eric lebih baik daripada Tom.

Hanya ada tiga pesan dalam surat panjang yang Stephanie tulis. Pesan pertama, aku hamil. Pesan kedua, aku melahirkan anakku tapi meninggalkannya di panti asuhan. Lalu pesan terakhir, kalau sesuatu yang buruk terjadi pada kami– Stephanie dan anaknya– itu bukan kecelakaan. Dia menyebutkan sebuah nama, tapi itu hanya asumsinya. Stephanie bilang, si xxx tidak ingin ia melahirkan anak itu. Stephanie bilang si xxx memaksanya mengugurkan anak itu sampai Stephanie hampir keguguran, beberapa kali.

Aku membaca surat itu, menangis dan depresi. Rasanya seperti aku yang punya masalah. Tapi aku tidak bisa memberitahu orangtuaku, apalagi Stephanie yang sakit. Jadi aku menghubungi Jennie dan memintanya membantuku. Pertama ia meminta seseorang mencari pengirim surat itu. Setidaknya aku perlu tahu siapa pengirimnya, untuk memastikan kalau itu benar-benar dari Stephanie. Aku tahu tulisan tangannya, aku bisa merasakan kehadiran Stephanie dalam tulisan itu, tapi aku tetap ingin mengatakan kalau surat itu tidak benar.

Aku bukan polisi, aku bukan orang berpengaruh, Jennie juga bukan dan kami punya kesibukan lain yang sama pentingnya dengan masalah ini. Bahkan di saat-saat seperti itu, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku untuk datang kesini dan mencari si xxx, atau mencari keponakanku. Aku benar-benar bersyukur karena Jennie mau membantuku. Kalau ceritaku dijadikan film, orang-orang mungkin akan mengutukku. Kakakmu dilukai orang lain, keponakanmu hilang dan orang yang melakukan semua itu bisa hidup dengan sangat nyaman. Dan kau diam saja lalu tetap pergi ke kantor? Tetap bekerja seperti orang gila dan terus mengumpulkan uang? Benar-benar materialistis.

Tapi bagaimana? Aku bukan orang kaya. Aku tidak punya black card. Aku juga tidak bisa meminta orang lain untuk membiayai hidupku, hidup keluargaku, aku butuh banyak uang kalau ingin pergi dari rumah dan mencari keponakanku. Setidaknya aku harus memastikan aku tidak akan jadi gelandangan di negara lain dan membuat masalah baru, aku juga harus memastikan keluargaku tidak kelaparan saat aku pergi.

Sekarang, aku sudah menemukan semuanya. Si xxx, keponakanku, dan ayah dari keponakanku. Namun ternyata, semua itu bukan akhir dari sakit kepalaku. Aku punya bukti kalau penyelidikan tujuh tahun yang lalu sudah dimanipulasi. Tapi, orang yang harus aku lawan terlalu kuat untuk bisa dihukum dan aku tidak bisa melakukan apapun tentang itu. Jadi aku pikir, aku harus membalasnya dengan cara lain, dan sekarang aku ada di sini untuk melakukannya.

Sambil mencoba mencari celah untuk membalas si xxx yang berengsek itu. Aku menemui ayah dari keponakanku. Tapi kau tahu bagaimana reaksinya? Dia kelihatan tidak peduli. Dia tidak penasaran tentang keponakannya, dia tidak lagi peduli pada Stephanie dan bajingan itu justru membuat skandal sialan ini."

"Ayah keponakanmu, itu Suga? Dan itu masalah pribadi yang jadi alasanmu menemuinya?" tanya Jiyong setelah semua cerita Lisa selesai, bersamaan dengan semua makanan yang sudah habis ditelan.

Lisa mengangguk untuk mengiyakannya.

"Bajingan berengsek," umpat Jiyong, yang justru terlihat lebih marah daripada Lisa. Suga benar-benar berengsek, bahkan bagi Jiyong sekali pun.

"Dan ada yang lain lagi," susul Lisa. "Hal lain yang menggangguku... Temanku hamil. Aku rasa dia hamil, tapi aku tidak berani memastikannya. Sampai saat ini aku terus berpura-pura tidak mengetahuinya, tapi aku khawatir temanku akan jadi seperti Stephanie. Mungkin dia tidak akan kecelakaan seperti Stephanie– aku tidak akan membiarkannya sakit seperti Stephanie– tapi... Pasti sulit merahasiakan semuanya sendirian, seperti Stephanie saat itu."

"Temanmu?" tanya Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. "Aku mengenal temanmu?"

"Aku tidak punya banyak teman."

"Jennie?"

"Aku harap, aku salah."

"Bagaimana kau tahu?"

"Saat menginap di rumahnya, aku menemukan testpack-nya," jawab Lisa. "Akhir-akhir ini, ia juga kelihatan kalut. Tidak seperti dirinya yang biasa."

"Kau tahu laki-laki yang membuatnya begitu?" tanya Jiyong namun kali ini Lisa menggelengkan kepalanya.

Lisa mencurigai Tom, tapi ia tidak bisa mengatakannya pada Jiyong. Ia yang bahkan tidak bisa menebak ekspresi Jiyong sekarang, tidak punya nyali untuk mengatakan kalau Tom yang pernah ia kencani, hampir sama berengseknya dengan Suga.

***

Sparkling SocietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang