***
"Eric," panggil Lisa dengan suara yang serak. Gadis itu berdiri di sudut kantor polisi. Seorang petugas memperhatikannya dari meja kerjanya, sedang di sebuah meja bundar di belakang petugas itu, empat anak tadi duduk di sana. "Aku di kantor polisi sekarang, bisakah kau datang dan menjemputku?" tanya Lisa sembari berkali-kali mendorong rambutnya ke belakang.
"Apa katamu?" tanya Eric, ingin memastikan kalau Lisa tidak asal bicara sekarang. Ingin memastikan kalau pendengarannya masih berfungsi dengan benar. "Kau di kantor polisi sekarang? Kenapa?"
"Aku dipukuli anak nakal-"
"Dipukuli atau memukuli?" potong Eric terdengar mendesak. "Augh! Sudah ku bilang untuk tetap di rumah! Kenapa kau keluar dan membuat masalah?! Aku tidak akan datang!" tolak Eric berujung telepon yang akhirnya pria itu akhiri secara sepihak.
"Seseorang akan datang menjemputku," ucap Lisa kepada si petugas yang sedari tadi memperhatikannya. "Aku sudah setua ini, kenapa kalian butuh orang lain hanya untuk membiarkanku pergi? Lihat di rekaman CCTV-nya! Mereka yang memukulku lebih dulu!" omel Lisa, kepada si petugas kepolisian yang ada di depannya– berjarak sebuah meja dengan komputer dan berkas-berkas di atasnya. "Apa yang kau lihat?!" marah gadis itu pada empat gadis yang menonton omelannya.
"Being a kid: assuming everything people tell you is true. Being a teenager: assuming everything you think up is true," gerutu Lisa. "And being an adult: realizing nobody knows shit, suatu saat nanti, kalian akan tahu kalau apa yang kalian lakukan hari ini sangat memalukan," ocehnya tidak kunjung berhenti.
Tidak ada seorang pun dari keempat anak tadi yang menyangka kalau mereka akan kalah dari seorang wanita kurus berusia tiga puluh tahun itu. Mereka pikir Lisa akan diam saja, memohon untuk di lepaskan, ketakutan dan menangis saat dipukul. Tidak ada yang menduga kalau Lisa akan balas memukul mereka, karena biasanya orang dewasa akan mengalah saat anak-anak berulah.
"Benar-benar memalukan, tidak ada yang bisa dibanggakan dari menang melawan anak-anak nakal seperti kalian!" cibir gadis itu sembari menunjuk-nunjuk empat anak tadi. Si petugas polisi berusaha menenangkan Lisa, namun gadis yang marah karena rambutnya dijambak dan dipukuli itu sama sekali tidak mendengarkan.
Satu-satunya cara untuk melarikan diri dari omelan dan cibiran Lisa yang sesekali terdengar seperti tes bahasa Inggris hanya membiarkannya pergi. Namun si petugas kepolisian tidak bisa membiarkan Lisa pergi begitu saja karena lembaganya punya aturan yang harus dipatuhinya. Kedua belah pihak perlu berdamai, perlu membuat perjanjian untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mereka perlu seseorang yang bisa menjamin Lisa menepati janjinya.
Mereka menunggu sekitar satu jam, dan selama itu juga kantor polisi kecil itu terasa seperti ruang ujian bahasa Inggris. Lisa terus mengoceh, mengomeli semua yang mengusiknya, mencibir semua yang tidak sesuai dengan standarnya. Hari ini ia terlihat seperti seorang wanita, yang sulit dihadapi bahkan bagi petugas kepolisian di sana.
Seorang pria yang datang menjemput Lisa akhirnya datang dan kedatangannya langsung membungkam siaran bahasa Inggris dalam kantor polisi itu. Akhirnya ia berhenti– lega semua orang di kantor polisi. Namun rasa lega itu justru tidak Lisa rasakan. Alih-alih bersyukur karena seseorang akhirnya datang menjemput, Lisa justru merutuki keadaannya sekarang. Jiyong yang datang, bukan Eric.
"Sialan Eric, aku meneleponnya karena ini memalukan tapi dia justru menyuruh orang lain," kesal Lisa dalam bisikan yang amat rendah. "Harusnya aku menelepon Jennie saja tadi," susulnya disaat matanya menangkap senyum aneh di wajah Jiyong. Kini Jiyong berdiri di sebelahnya, di depan meja kepolisian yang sama. Pria itu membungkuk, menumpu tubuhnya dengan sebelah tangannya sementara sebelah tangannya yang lain sibuk menulis data dirinya di berkas dari kepolisian.
"Harus kah aku membayar uang damainya juga?" tanya Jiyong, bukan pada Lisa, tapi pada polisi di depannya.
"Tidak, nyonya ini sudah menyelesaikan semuanya. Sekarang anda bisa mengajaknya pulang," ramah si petugas kepolisian yang amat bersyukur karena ia tidak perlu lagi mendengar omelan sinis dari Lisa.
"Tapi kenapa mereka masih ada di sini?" tanya Jiyong, menunjuk anak-anak yang Lisa pukul dengan dagunya.
"Ini bukan kenakalan pertama mereka, jadi masih ada beberapa hal yang perlu mereka urus," jawab si petugas kepolisian.
"Mereka perundung," cibir Lisa. "Mereka pikir mereka power ranger yang sedang membela idolanya, tapi semua itu hanya khayalan mereka. Bodoh, mereka masih terlalu bodoh untuk membela orang lain. Belajarlah lebih dulu sebelum bertingkah!" susulnya, masih terdengar sangat kesal. "Muncul lagi di hadapanku! Lalu akan ku buat kalian botak!" ancam gadis itu yang kemudian menarik tasnya untuk keluar dari kantor polisi itu.
Jiyong masih tersenyum saat ia memandangi punggung Lisa yang meninggalkannya. Dengan sopan, ia berpamitan pada petugas polisi yang tadi menangkap Lisa dan anak-anak tadi. Melihat Lisa yang marah seperti ini terasa sangat aneh bagi Jiyong. Aneh tapi juga menggemaskan. Jiyong tidak pernah membayangkan kalau Lisa yang selama ini terlihat tenang dan dingin, bisa jadi sama galak dengan guru-guru pemarah di sekolah. Lisa pasti akan jadi guru yang paling ditakuti murid-muridnya kalau ia mengajar di sekolah.
Jiyong perlu berterima kasih pada Eric karena sudah di beri kesempatan untuk melihat Lisa seperti ini. Namun meski begitu, Jiyong perlu sedikit berusaha untuk menjemput Lisa. Pasalnya, gadis itu melewati mobilnya dan berjalan ke trotoar, Lisa tidak ingin pulang dengannya– tebak Jiyong.
"Ya! Kemana kau akan pergi?" tanya Jiyong, yang tentu saja berjalan ke mobilnya, menyalakan mobil itu kemudian menghentikannya di depan Lisa sebelum gadis itu berhasil menghentikan sebuah taksi. "Aku datang untuk-"
"Heish! Pergilah!" usir Lisa, yang justru berbalik, menutupi wajahnya yang sedikit lecet juga memar karena anak-anak tadi. Meski tidak separah anak-anak tadi, Lisa tetap terluka karena perkelahiannya. Lisa tidak malu saat Jiyong melihat wajahnya tanpa riasan, tapi ia malu ketika pria yang disukainya melihatnya berantakan seperti sekarang. Bahkan rambutnya jadi kusut karena di jambak anak-anak tadi.
"Masuklah, pulang saja bersamaku," bujuk Jiyong tapi Lisa tetap menolaknya. Gadis itu hanya mengibaskan tangannya supaya Jiyong cepat pergi dari sana.
"Tidak mau! Pergi saja," tolak Lisa dan Jiyong semakin kesulitan menahan dirinya. Pria itu akhirnya tertawa, terbahak-bahak karena menurutnya Lisa terlalu lucu. "Jangan tertawa!"
"Ya ya ya, maaf, masuklah, aku tidak akan tertawa lagi," jawab Jiyong, berusaha menutup rapat mulutnya meski ada beberapa kekehan kecil yang tetap keluar dari sana. Melihat Jiyong tertawa, Lisa jadi merasa sikapnya sangat lucu– meski tetap terasa memalukan.
Gadis itu ikut tertawa karena kekehan Jiyong. Lisa tertawa untuk beberapa detik kemudian masuk ke dalam mobil milik Jiyong. "Aku benar-benar sangat kacau, iya kan? Ah! Memalukan sekali," tanya Lisa, setelah mobil itu akhirnya melaju di jalanan Minggu yang belum begitu ramai.
"Ada sebuah lagu yang cocok untukmu sekarang."
"Apa?"
"Yang Yoseob featuring Ravi, Adorable," jawab Jiyong. "Pernah mendengarnya?"
"Tidak," geleng Lisa. "Akan aku dengar nanti."
"Kapan-kapan dengarkan lagu itu," balas Jiyong, masih sembari melirik Lisa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu sudah tidak terlalu malu lagi, tidak terlalu kesal lagi.
"Bagaimana kau bisa datang?" tanya Lisa kemudian, sebab ia canggung kalau harus menyalakan handphonenya dan mencari lagu yang Jiyong rekomendasikan. Lisa tidak ingin mendengar lagu itu karena ia yakin, jantungnya akan melompat begitu ia mendengar lagu dengan judul yang manis tadi. "Padahal tadi aku menelepon Eric," gumam Lisa, memperjelas kalau ia berharap Eric lah yang datang, bukan Jiyong.
"Dia terlalu malu untuk datang. Dia public figure," jawab Jiyong. "Sejak pagi tadi aku ada di studio Tablo hyung, Eric juga ada di sana. Kami sedang bekerja saat kau meneleponnya. Aku mendengarnya dan menawarkan diri untuk menjemputmu. Aku baik, 'kan?"
"Sialan Eric," umpat Lisa, sebab saat ini ia yang merasa lebih malu daripada Eric.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/267404711-288-k407714.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
FanfictionUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...