***
Pagi datang dan alarm berbunyi. Kini jam menunjuk pukul tujuh, meski sejak pukul enam tadi alarm sudah berkali-kali benyanyi. Lisa yang pertama membuka matanya, Jiyong menyusul beberapa detik kemudian. Mereka masih ada di ruang tengah, mereka masih duduk di atas karpet bulu seperti suasana terakhir yang mereka ingat.
Dua botol wine yang sudah kosong, ada di atas meja, di sebelah kepala masing-masing. Lisa bahkan tidur masih sembari memegangi gelasnya. Perlahan, keduanya mengangkat kepala masing-masing yang sebelumnya merekat pada meja kaca di sana. Mereka telah mengalami malam yang amat panjang, mulai dari bir sampai wine, hingga akhirnya keduanya terlelap dalam posisi duduk di ruang tengah.
Jiyong tersenyum saat ia membuka matanya lebar-lebar. Di depannya, Lisa pun sama tersenyum, bahkan terkekeh sebab ada sepotong keju melekat di pipi Jiyong. Menyadari ada yang salah dengan wajahnya, Jiyong mengusap keju lengket itu– "fuck! Menjijikan!" keluh Jiyong yang kemudian menyingkirkan keju itu dan melemparnya ke atas piring datar di meja.
"Ah! Bajuku!" seru Lisa kemudian, menyadari kalau ada bercak merah keunguan di atas bajunya. Buru-buru gadis itu bangun, namun kakinya justru menginjak keju lainnya– Tomme Crayeuse– karena teksturnya memang creamy, keju itu langsung hancur dan menempel di kaki Lisa begitu terinjak. Membuat Lisa merasa baru saja menginjak sesuatu yang menjijikan. "Oh! Shit!" umpatnya, membuat Jiyong terkekeh kemudian berbaring di karpet– yang sudah ia pastikan aman.
"Kacau... Kacau sekali," komentar Jiyong sementara Lisa melompat dengan sebelah kakinya, masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang ia anggap kotor.
Lisa keluar dari kamar mandi tiga puluh menit kemudian dan di saat yang sama Jiyong baru saja selesai mengelap meja kaca di ruang tengah. Pria itu sudah mencuci gelas, sudah juga membersihkan sisa keju di karpet. Selain membuang botol, Jiyong sudah melakukan segalanya. "Aku pinjam kamar mandinya," sopan Jiyong yang kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Ia hirup aroma manis juga segar dari dalam kamar mandi, membuatnya beranggapan kalau Lisa memakai setengah botol sabun hanya untuk sekali mandi.
Jiyong selesai dengan urusannya dalam sepuluh menit– meski sebagian besar waktunya ia pakai untuk memuntahkan kembali isi perutnya. Tidak sampai pucat, tapi Jiyong keluar dari kamar mandi dengan gaya seorang pria tua yang kelelahan. Lisa terkekeh, meski keadaannya sendiri tidak begitu baik. "Ini kali pertama aku minum berbagai jenis alkohol dalam semalam. Cacing-cacing di perutku pasti bingung sekarang," ucap Lisa, yang dengan santai memberikan secangkir teh hangat pada Jiyong.
"Ku pikir kau sudah sering mabuk-mabukan," balas Jiyong, menyesap tehnya sembari melangkah untuk duduk di meja makan.
"Tapi tidak sepanjang malam," bela Lisa yang ikut duduk di sebelah Jiyong, menyesap tehnya sendiri kemudian menatap ke arah pintu rumahnya yang tertutup rapat. "Haruskah aku ke rumah sakit? Kepala dan perutku sakit sekali sekarang," susul Lisa dan Jiyong langsung bangkit karenanya.
Pria itu bangkit, meraih jaketnya yang ada di sofa kemudian mengajak Lisa untuk pergi mengatasi pengar mereka. Jiyong akan mengajak Lisa ke restoran sup tempat ia dan teman-temannya biasa sarapan setelah berpesta. Tapi sebelum pergi, Lisa justru sibuk mencari sebuah tas di kamarnya. "Kau bisa memakai tas apapun... Kenapa wanita harus mencari tas yang cocok-"
"Aku tidak punya tas yang cocok untuk membawa wine... Tidak ada tas yang cukup besar," potong Lisa yang justru menarik sebuah koper keluar dari kamarnya. "Aku harus membawa lima wine- enam? Eh lima... Kau sudah meminum habis wine-mu," ucap Lisa selanjutnya.
"Kita bisa membawanya, kalau hanya lima," ucap Jiyong sembari mengangkat tangannya, menunjukan kalau ia punya dua tangan yang bisa dimanfaatkan. "Aku bisa membawa tiga, kau bawa dua," susulnya.
"Kau tidak keberatan?"
"Apa perlu di tanyakan? Ini bukan tentang hidup atau mati," jawab Jiyong yang kemudian mengambil tiga botol wine dengan kedua tangannya. Ia bahkan bisa membawa empat botol sekaligus dengan kedua tangannya. "Kau tahu? Yang berat dari paket wine-mu adalah kotak kayunya," komentar Jiyong selanjutnya.
"Kau tahu siapa yang mengirim wine-wine ini? Kalau kau tahu, kau tidak akan menghabiskannya dalam semalam," balas Lisa, yang kini melangkah keluar dari rumahnya bersama Jiyong di depannya. "Wine-wine ini dari Iron Man."
"Ya?! Bohong!"
"Sungguh... Ada tanda tangannya di botolnya... Kau ingin mendapatkan botolmu semalam? Aku belum membuangnya," tutur Lisa, dengan senyum jahil di wajahnya sedang Jiyong menatap label wine yang ada di tangannya. Benar-benar ada tanda tangan Tony Stark juga Robert Downey di sana. "Awalnya dia- oh? Selamat pagi," canggung Lisa, sebab Nana yang kelihatannya baru selesai membuang sampah muncul dari lift. Jiyong pun jadi sama canggungnya, ia sempat lupa kalau Lisa tinggal di depan rumah mantan kekasihnya.
"Selamat pagi," balas Nana, tersenyum pada Lisa, meski ia tidak menunjukkan ekspresi apapun pada Jiyong. Ada rasa kesal di hati Nana. Rasa iri, juga mungkin cemburu. Jiyong yang dulu ia kencani tidak pernah serapi ini saat pagi, tidak pernah sewangi ini saat pagi, juga tidak pernah mengunjunginya di pukul tiga pagi.
Tidak ada basa-basi, Lisa berencana meninggalkan Nana dan Jiyong berencana mengikutinya– meski tidak ada diskusi sebelumnya. Namun Nana justru menahan langkah Lisa– "Nona Lee, tadi petugas kebersihan bilang kalau kau harus memilah sampahmu," ucap Nana, memanfaatkan keluhan sang petugas kebersihan untuk melihat reaksi Jiyong.
"Aku sudah memilah sampahku. Plastik dengan plastik, kertas dengan kertas, botol dengan botol, iya kan?"
"Mungkin kau kurang memilahnya? Beberapa tutup botol itu kaleng, bukan plastik," jawab Nana sementara Jiyong hanya diam, terlihat tidak peduli seperti yang Nana bayangkan. Reaksi yang entah kenapa justru membuat Nana merasa sedikit lebih tenang.
"Ah... Aku harus memperhatikan tutupnya juga? Baiklah, aku akan melakukannya lain kali, terimakasih," jawab Lisa yang kemudian berpamitan, mengajak Jiyong untuk segera pergi dari sana. "Ternyata ada banyak hal yang perlu di perhatikan saat tinggal sendirian di sini. Haruskah aku minta Jennie untuk tinggal denganku saja?" tanya Lisa, kali ini pada Jiyong tepat sebelum pintu lift tadi tertutup. Pertanyaan yang tepat untuk membuat Nana berhenti melangkah dan mendengarkannya.
"Kurasa Jennie tidak akan banyak membantu," balas Jiyong, berfikir kalau Nana tidak akan mendengarkan pembicaraan itu sebab pintu lift telah tertutup.
Namun pintu lift justru kembali terbuka, Nana kembali masuk ke lift dengan alasan kalau ia perlu membeli beberapa barang di minimarket. Mereka bertiga ada di dalam lift yang sempit itu, Lisa dan Jiyong berdiri di lift bagian belakang, sedang Nana ada di depan mereka. Awalnya tidak ada obrolan, tapi Lisa memulai kembali obrolan di antara mereka dengan menatap Jiyong. "Dimana rumahmu?" tanya Lisa, tanpa sempat Jiyong duga sebelumnya.
"Ya?"
"Semalam kau memarkir mobilmu di depan gedung. Kau juga menyuruh supir penggantinya untuk pulang. Kau sudah berniat untuk mampir ke rumahku sebelumnya?" tebak Lisa dan Jiyong terkekeh karenanya. Jiyong tidak pernah berencana untuk mampir dan minum wine di rumah Lisa sebelumnya.
"Tidak, aku tidak berencana mampir ke rumahmu. Rumahku di gedung sebelah," jawab Jiyong setelah ia terkekeh. "Aku berencana berjalan ke rumah dan mengurangi sedikit mabukku. Tapi tawaranmu menarik, jadi aku bersedia mampir."
"Wah... Jadi itu kesukaanmu?" ledek Lisa, bersamaan dengan terbukanya pintu lift. Akhirnya Jiyong bisa berhenti menatap punggung Nana. "Syukurlah kalau kau menyukainya, Kwon Jiyong," susul Lisa, terburu-buru melangkah. Ia harus mempercepat langkahnya untuk mengikuti Jiyong ke mobilnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
FanfictionUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...