26

494 116 5
                                    

***

Jennie yang sebelumnya luar biasa khawatir, kini merasakan kakinya begitu lemas. Bahkan Lisa tidak merasa seburuk itu saat matanya menangkap senyuman Nagyeom di depan pintu utama sekolahnya. Nagyeom tidak sakit, ia membohongi Jennie, supaya wanita itu mau menemuinya.

"Kau membuatku khawatir!" rajuk Jennie, hampir menangis karena merasa begitu lega saat tahu Nagyeom baik-baik saja. "Kenapa kau tidak menjawab teleponku?! Ku pikir kau benar-benar sakit!" serunya, memeluk Nagyeom, bersyukur karena gadis kecil yang cantik itu sama sekali tidak terluka.

"Jangan menangis, orang-orang akan berfikir kalau kau ibunya," bisik Lisa, menepuk-nepuk bahu Jennie, sembari memperhatikan raut wajah Nagyeom yang hampir menangis juga. Mungkin Nagyeom takut, sebab Jennie terlihat begitu panik, begitu berantakan. "Ya! Choi Nagyeom... Kenapa kau membohongi bibi Jennie?" tanya Lisa, yang kini berlutut di depan Nagyeom sementara Jennie yang sebelumnya juga berlutut di sana beranjak menjauh, menghalangi air mata yang hampir tumpah karena sempat terlampau khawatir.

"Maaf," gumam Nagyeom. "Hari ini ada kunjungan orangtua, tapi aku tidak memberitahu appa... Aku tidak ingin appa yang datang, aku ingin Bibi Jennie yang datang. Tapi appa bilang Bibi Jennie sibuk dan tidak bisa bermain denganku," jelas gadis kecil itu sementara seorang guru laki-laki berjalan mendekat, memberitahu Jennie juga Lisa kalau kelas akan segera di mulai.

Nagyeom sudah membohongi banyak orang hari ini. Ia membohongi Jennie, ia juga membohongi gurunya. Ia pun bisa dianggap membohongi Seunghyun- sebab ia tidak memberitahu Seunghyun mengenai acara sekolahnya. Namun karena semua kebohongan anak kecil itu, Lisa merasa bisa membaca situasi di sana. Lisa jadi mengetahui apa yang sebelumnya tidak ia sadari- selama ini, Jennie tidak menjaga hanya Nagyeom untuknya, dan Nagyeom menyukainya, sangat menyukainya.

Hari ini, di sekolahnya Nagyeom diajarkan untuk berbagi. Ia diminta membawa barang atau mainan yang ia punya di rumah, untuk dipinjamkan pada temannya di sekolah. Anak-anak itu harus belajar berbagi, juga mengembalikan apa yang mereka pinjam. Kebetulan, hari ini juga jadwalnya orangtua murid untuk datang memantau bagaimana anak-anak mereka belajar. Dari bagian belakang, beberapa orangtua murid- yang kebanyakan para ibu- datang untuk melihat bagaimana sikap anak mereka di kelas. Nagyeom terlihat begitu senang saat Jennie bergabung dengan para ibu lainnya, berdiri di belakang kelas.

"Hari ini bibiku yang datang," pamer Nagyeom, pada teman-temannya. "Bibiku cantik kan? Pekerjaannya mengajari orang-orang agar bisa cantik sepertinya," ocehnya pada anak-anak sepantarannya.

"Bibimu ada dua?"

"Hm..." angguk Nagyeom. "Kalau yang satunya, bibi dari Amerika! Dia pintar Bahasa Inggris! Dia membantuku mengerjakan tugas sekolahku, karena itu aku dapat nilai A! Kapan-kapan aku akan memintanya mengajari kalian juga!" serunya, sembari melambaikan tangannya pada Lisa juga Jennie. Kedua wanita itu membalas lambaian tangan itu, kemudian Lisa berbisik, mengatakan kalau ia iri pada Jennie.

"Aku juga ingin disebut bibi cantik, apa itu bibi dari Amerika," gumamnya, meraih lengan Jennie untuk ia peluk. "Bagaimana caranya bisa dekat dengannya? Aku tidak pernah dekat anak kecil sepertimu dekat dengan mereka. Anak-anak selalu mengajakku bertengkar," gerutu Lisa dalam bisikan-bisikan kecilnya.

"Kau tidak akan bisa," balas Jennie. "Kau sama kekanak-kanakannya dengan mereka. Mereka akan menganggapmu temannya."

"Bukankah itu bagus?"

"Anak-anak tidak bersandar pada temannya. Mereka baru bersandar pada temannya saat sudah remaja. Karena teman tidak memarahinya, seperti yang orang dewasa lakukan. Lagi pula, bagaimana kalian bisa jadi dekat kalau kau selalu sedih setiap kali melihatnya? Kau selalu mengingat Stephanie kesedihan tergambar jelas di wajahmu. Nagyeom akan takut mendekatimu, takut kau akan menangis dan dia disalahkan karena membuatmu menangis."

"Bagaimana lagi? Aku tidak bisa menahan perasaanku-"

"Ya ya ya, baiklah, jangan menangis," tepuk Jennie, dengan lembut di bahu Lisa yang masih bersandar pada lengannya. "Jangan menangis disini, kau membuatku malu, kita bisa dikira pasangan lesbi kalau kau begini terus," susul Jennie, terus bicara dalam bisikan-bisikan rendah sementara di depan mereka anak-anak mulai bergantian mempromosikan barang bawaan mereka.

"Wah... Siapa yang lebih dulu menangis tadi, aku hanya berkaca-kaca, tidak menangis," gerutu Lisa, dengan pelan mendorong tangan Jennie dari pelukannya. "Tapi apa yang Nagyeom bawa? Dia tidak mengeluarkan apapun," susul Lisa, sementara para anak-anak di depan mereka sibuk memperebutkan sebuah sepeda milik teman mereka.

"Aku! Pinjamkan sepedanya padaku!" seru Nagyeom, tertarik pada sepeda milik temannya itu.

"Tidak boleh!" seru si anak "Nagyeom sudah punya tiga sepeda!" susulnya, membuat Nagyeom berdecak, menyerah karena ia tidak bisa membalas ucapan temannya.

"Haruskah aku membelikannya sepeda?" bisik Lisa, mempelajari apa yang Nagyeom sukai dari kelas riuh itu.

"Tidak, dia sudah punya tiga, kau tidak dengar?" balas Jennie, lagi-lagi terdengar seperti seorang ibu.

Aku tidak pernah membayangkan akan melihat sisi yang ini dari seorang Jennie Kim- nilai Lisa dalam pikirannya sendiri. Ia akan membuat Jennie malu juga mungkin canggung kalau mengatakan penilaian itu pada Jennie.

Kini giliran Nagyeom yang berdiri di depan kelas. Gadis itu tidak membawa apapun, ia hanya berdiri dengan tangan kosong di depan kelas. Pertama-tama, gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas, ia juga melihat ke jendela di dinding kelas. Nagyeom menemukan ayahnya berdiri di dekat pintu, baru saja datang dan sedikit terkejut karena melihat dua karyawannya ada di sana setelah sama-sama meninggalkan pekerjaan penting mereka. Lisa dan Jennie sedikit menundukan kepala mereka saat melihat Seunghyun datang dan bergabung dengan para wali murid. Mereka pasti akan dimarahi setelah ini- karena ketahuan meninggalkan pekerjaan mereka dan membuat orang-orang di kantor kesusahan. Ini adalah hal paling tidak profesional yang pernah Lisa lakukan- melarikan diri dari kantor tanpa sempat berpamitan, bahkan sebelum ia selesai mengerjakan tugasnya.

"Aku ingin meminjamkan appaku!" seru Nagyeom, di depan kelas sembari menunjuk Seunghyun yang baru saja datang.

"Hah?" seru hampir seisi kelas, bahkan Seunghyun sendiri terkejut mendengarnya.

"Nagyeom-ah, kau tidak boleh-"

"Tidak," geleng Nagyeom, enggan mendengarkan gurunya sendiri. "Aku tidak akan memberikan appaku, aku hanya ingin meminjamkannya. Nama appaku Choi Seunghyun, usianya tiga puluh lima tahun. Aku ingin meminjamkannya karena beberapa hari ini aku tidak menyukainya. Kalian boleh meminjam appaku. Dia punya banyak waktu luang tapi sering melamun. Dia punya banyak makanan tapi tidak suka memakannya. Dia membeli banyak mainan tapi tidak mau bermain. Dia bosan bermain dengannya, jadi kalian boleh meminjamnya," oceh Nagyeom sementara Seunghyun menatap tajam anak kecil itu. Seunghyun ingin menghentikan Nagyeom, namun ia terlalu malu pada orangtua murid yang kini terkekeh. Semua orang di sana pasti mengira kalau Nagyeom sedang merajuk pada ayahnya, Lisa pun memikirkan hal yang sama.

Tidak ada seorang pun yang butuh ayah di kelas itu, masing-masing anak di sana kebetulan punya seorang ayah untuk diri mereka sendiri. Kelas sempat sunyi, kecuali beberapa kekehan diantara wali murid, juga suara sang guru yang kebingungan, mengatakan kalau Nagyeom hanya sedang bercanda.

"Kalau tidak ada yang meminjamnya, apa boleh bibi yang meminjamnya?" suara Jennie, melanjutkan pelajaran pinjam-meminjam yang sempat terjeda. "Berapa lama aku boleh meminjamnya?"

"Tidak boleh terlalu lama, satu- dua hari! Hanya boleh dua hari!" balas Nagyeom, mengizinkan Jennie untuk meminjam ayahnya selama dua hari- meski sepertinya Seunghyun tidak benar-benar bisa Jennie bawa pulang. Jennie harus membawa Nagyeom juga kalau ia menginginkan Seunghyun- kecuali Lisa membawa Nagyeom pada ibu kandungnya.

***

Sparkling SocietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang