36

521 105 3
                                    

***

Lisa tidak bisa menemukan handphonenya. Gadis itu bertanya pada Jiyong yang menamainya di rumah sakit, namun pria itu pun tidak tahu dimana handphonenya. Benda kecil itu menghilang bersama dengan perginya Jennie. "Pasti Jennie yang membawanya, tolong cari Jennie, aku butuh handphoneku," pinta Lisa dan dengan berat hati Jiyong mengiyakannya.

"Kau harusnya beristirahat, bukan bermain dengan handphonemu," omel Jiyong, seraya melangkah keluar dari kamar rawat itu.

Begitu Jiyong keluar, Lisa menghela nafasnya. Ia remas selimut yang menutup sebagian tubuhnya, mengigit bibirnya sendiri demi menahan sakit yang luar biasa di perutnya. Ya, Lisa baik-baik saja. Aku baik-baik saja– itu yang ingin Lisa tunjukkan pada Jiyong juga keluarganya. Lisa jatuh, bukan melompat. Meski ia sudah terlatih sekalipun, jatuh tetaplah menyakitkan.

Entah kemana Jiyong pergi, entah kemana pria itu mencari Jennie. Tapi di selang waktunya, Lisa bisa memanggil seorang dokter untuk membantunya. Dokter yang ia bayar untuk menipu semua orang ada di sana, mengecek perut juga bagian belakang punggungnya yang kesakitan. Ada pendarahan di sana, Lisa harus mengobatinya. Tapi masuk ke ruang operasi sekarang, sama saja seperti membongkar rahasianya.

"Nanti malam," ucap Lisa. "Sekarang, beri aku anti nyeri, lalu nanti malam, setelah aku bisa mengusir semua orang, lakukan operasinya," bujuk Lisa, memegangi tangan dokternya. "Keluargaku ada di Michigan, aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Orang-orang yang datang tadi, bukan keluargaku. Mereka bukan waliku, mereka hanya rekan kerjaku. Jangan memberitahu mereka," bujuk Lisa, sebab sang dokter menyarankan gadis itu untuk memberitahu teman-temannya tadi, kalau kondisinya tidak benar-benar baik. "Toh keadaanku tidak seserius laporanmu. Aku bisa menahannya, jadi tolong aku, obat anti nyerinya saja. Operasinya nanti, ya?" pinta Lisa, pada dokter yang sebelumnya sudah Eric suap untuk membuat laporan palsu.

Selanjutnya Lisa meminjam handphone sang dokter. Ia pinjam handphone dokter itu untuk menelepon Eric. "Bagaimana caranya membuat Jiyong dan Jennie meninggalkanku selama beberapa hari? Setidaknya dua puluh empat jam saja, kau punya ide?" tanya Lisa, setelah ia menerima suntikan anti nyerinya.

"Kau sudah punya terlalu banyak tipuan Lisa," protes Eric. "Aku sampai tidak tahu siapa yang sedang kau tipu sebenarnya. Orang-orang atau dirimu sendiri? Sekarang, apa bedanya dirimu dengan Nana? Kau menipu semua orang dengan tipuan-tipuan bodoh yang sama sekali bukan dirimu. Semua ini konyol! Tidak terluka sama sekali setelah jatuh? Aku heran bagaimana bisa mereka mempercayainya? Bahkan walaupun kau pernah ikut parkour- augh! Kau benar-benar menjengkelkan!"

"Apa kau tidak tahu rasanya marah bercampur putus asa?" balas Lisa, menanggapi omelan Eric. "Aku tahu ini bodoh. Aku yakin, Jiyong mengingat Nana saat melihatku sekarang. Aku tahu kalau apa yang aku lakukan sama seperti Nana. Tapi aku tidak bisa menahannya. Aku hanya ingin orang-orang itu melukaiku, menyakitiku, atau mencoba membunuhku lalu ditangkap polisi. Di sisi lain, aku tidak ingin orang-orang di sekitarku khawatir."

"Lalu, apa menurutmu aku tidak khawatir? Sebanyak apa rasa bersalah yang ingin kau taruh di bahuku? Merahasiakan semua ini saja sudah membuatku sangat merasa bersalah, pada orangtuamu, pada kekasihmu. Bukankah harusnya kekasihmu yang mengambil tugasku? Kau harus memberitahunya, kecuali ingin dia jadi salah paham pada hubungan kita."

"Partner in crime, bukankah itu hubungan kita sekarang?" tanya Lisa. "Aku tahu semua ini tidak menguntungkan untukmu. Aku yang tidak tahu malu karena memaksamu membantuku, tapi... Sungguh, aku juga akan melakukan hal yang sama untukmu, kalau kau membutuhkan bantuanku."

Eric menyerah. Lisa terasa seperti beban baginya, namun nurani membuatnya tidak bisa melepaskan beban itu. Meski akhirnya mereka memang putus, tapi Eric tidak akan tinggal dan bekerja sebagai dirinya yang sekarang kalau Lisa tidak membantunya. Lisa yang meyakinkan orangtua Eric, meski gadis itu sendiri tidak yakin. Lisa yang bilang ia bersedia menjadi asuransi kalau karir Eric ternyata gagal. Aku hanya membalas budi– tegas Eric, setiap kali ia ragu akan perasaannya sendiri. Lagi pula, Lisa tidak membuat Eric mengeluarkan sepeserpun uang. Eric hanya tangan kanan yang Lisa pakai untuk melakukan sesuatu disaat semua mata memperhatikannya. Eric hanya bayangan, yang membantu pergerakan Lisa.

"Hhh... Baiklah, aku bisa membuat Jiyong meninggalkan rumah sakit malam ini. Tapi kau harus di operasi malam ini. Untuk apa kau mengumpulkan uang sebanyak ini kalau kau bahkan tidak bisa di operasi saat sakit? Kau bilang kau mengumpulkan uang ini untuk membuatmu bahagia. Apa kau bahagia kalau kesakitan seperti sekarang? Langsung lakukan operasinya begitu Jiyong pergi, sekitar pukul enam sore."

"Ya, akan ku katakan pada dokternya," singkat Lisa. "Oh ya, soal Nana, apa dia sudah tahu tentang beritanya?"

"Seharusnya sudah, tapi aku tidak yakin dia akan melakukan sesuatu atau tidak," jawab Eric menjadi akhir pembicaraan mereka. Lisa mengembalikan teleponnya, bersamaan dengan datangnya Jiyong ke ruang rawat itu bersama Jennie.

"Kau sakit?" tanya Jiyong, melihat dokter yang berdiri canggung di sebelah Lisa.

Lisa kembali berbohong, ia bilang dokter itu hanya datang untuk memeriksa keadaannya,  hanya pemeriksaan standar dan Lisa meminjam handphonenya karena ia perlu melakukan sebuah panggilan penting. Ia mengaku kalau ia menelepon Eric, karena ada beberapa hal yang perlu mereka bicarakan. "Dompet kecilku tertinggal di rumah, CEO Choi akan membawakannya saat dia kembali. Tapi ternyata semua uangku ada di sana... Aku lupa kalau aku memindahkan semua uangku ke sana sebelum pergi berbelanja dengan Stephanie."

"Kau menelepon Eric untuk biaya rumah sakitmu? Kalau iya-"

"Bukan," potong Lisa, sementara sang dokter berpamitan pergi. "Aku memberitahunya, kalau katanya ibuku akan mengirim uang pada Eric, untuk membayar tagihan rumah sakitku."

"Seseorang sudah membayar biaya rumah sakitmu," jawab Jiyong, membuat Lisa menatap Jiyong dengan gugup. Lagi-lagi ia membuat sebuah kebohongan bodoh lagi– sesalnya. Kenapa sulit sekali membohongi seseorang yang selalu ada di sebelahmu? Lisa penasaran, sebab sejak dulu ia bisa membohongi semua orang di kampusnya, tapi tidak pernah bisa membohongi orang-orang yang sering ia temui– Stephanie, Eric, orangtuanya dan sekarang Jiyong.

Lisa merencanakan sebuah kebohongan lainnya. Jennie memperhatikannya seolah tengah menilai raut wajahnya, sedang Jiyong menaikan alisnya, menunggu kebohongan lainnya. Untungnya seseorang masuk ke ruang rawat itu, menginterupsi mereka dan itu adalah pengacara yang mendampingi Bang Sihyuk juga agensinya.

Sang pengacara datang sebab mereka harus menyelesaikan tuntutan yang Lisa ajukan. Lisa menuntut Bang Sihyuk atas rasa sakit yang ia terima. "Aku tidak ingin bicara dengan kalian, aku tidak akan mencabut tuntutanku kecuali CEO Bang yang datang sendiri memintanya," syarat Lisa, menolak kehadiran tiga orang pengacara tadi.

"CEO Bang tidak bisa-"

"Kalau begitu aku juga tidak bisa," potong Lisa yang setelahnya mencibir. "Sebenarnya apa salahku sampai aku harus dirawat di sini? Apa salahku sampai kakiku harus terluka begini? Dunia benar-benar tidak adil," gumam Lisa, seolah ia adalah wanita paling tersiksa di muka bumi ini.

Karena tidak ada lagi yang bisa mereka bicarakan, sebab Lisa menolak untuk berbincang, Jennie mengantar para pengacara itu pergi. "Aku tidak suka melihatmu seperti ini," gumam Jiyong, akhirnya mengatakan apa yang sebenarnya ia tahan sejak beberapa hari lalu saat berita pertama keluar. "Aku selalu merasa kalau kau keren, tapi semua ini... Membuatku terus berfikir sebaliknya. Gegabah, tidak masuk akal dan sangat konyol," nilainya, membuat detak jantung Lisa terpacu, membuatnya merasakan sakit lainnya di tubuhnya.

"Oppa, jangan sekarang-"

"Lalu apa yang kau suka dariku?" potong Lisa, berusaha untuk tetap tenang meski beberapa hari belakangan ini– tepatnya setelah melihat Nagyeom dan Stephanie bermain bersama– ia tidak bisa lagi merasa begitu. "The memories got my chest in pieces. Menggali semuanya sampai ke akar lalu menunggu, melaporkannya lalu berdoa? My knees are burning hot, but God is cold. Take it slow and let time heal everything? They said the time flies, but he keep breaking its wings. Saat ini, aku merasa kalau tidak ada lagi yang bisa ku lakukan. Beri aku ide, apa yang harus aku lakukan sekarang?"

***

Sparkling SocietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang