***
Lima belas menit setelah Jiyong mengantar Lisa pulang, pria itu kembali berkunjung ke apartemen Lisa. Kali ini Jiyong tidak datang dengan tangan kosong. Pria itu datang dengan sebungkus obat yang ia beli di apotek, juga dengan beberapa bungkus es krim yang di dapatkannya dari minimarket. Lisa baru selesai mandi saat Jiyong datang, gadis itu membuka pintu rumahnya dan di waktu yang hampir sama, Nana juga membuka pintu apartemennya. Jiyong jadi seolah sedang berdiri di antara masa lalu juga masa depannya sekarang.
"Oppa-"
"Aku membawakanmu obat, jangan sampai lukanya berbekas," ucap Jiyong, seolah tidak mendengar panggilan Nana di belakangnya. Pria melangkah, menerobos masuk ke apartemen Lisa sementara Lisa tersenyum pada Nana sebelum menutup pintunya.
Jiyong langsung duduk di ruang tengah begitu ia masuk ke sana. Sementara Lisa masih ada di depan pintunya karena Nana menggedor pintunya. Lisa kembali membuka pintunya untuk Nana, dan sekali lagi Nana memanggil Jiyong. Nana mencoba untuk masuk ke dalam rumah Lisa, namun gadis pemilik rumah itu menahannya.
"Jangan memaksanya, dia akan pergi semakin jauh kalau kau membuatnya merasa terganggu," tahan Lisa sebelum Nana menerobos masuk lebih jauh. "Aku akan memberitahunya kalau kau ingin menemuinya, akan ku bujuk dia agar mau menemuimu, jangan seperti ini, ini tidak akan berhasil, dia hanya akan semakin marah padamu," tenang Lisa, masih setengah memeluk Nana dengan satu tangannya sementara tangan lainnya berpegang pada pintu, menjaga dirinya agar tidak terdorong tubuh Nana.
Lisa masuk ke rumahnya setelah berhasil mengusir Nana. Gadis itu menjatuhkan handuk di kepalanya ke lantai kemudian duduk di sebelah Jiyong yang sibuk dengan handphonenya. "Dia bilang orangtuanya akan mengurungnya di rumah sakit jiwa, dia ingin kau menyelamatkannya," lapor Lisa meski Jiyong mendengar dengan jelas ucapan itu dari Nana tadi. Meski pria itu duduk di ruang tengah, rumah Lisa bukanlah gedung biru. Rumah itu tidak sangat luas hingga Jiyong tidak bisa mendengar Nana dan keributannya di pintu.
"Temui dia, kasihan," susul Lisa namun Jiyong tidak mengatakan apapun selain meletakan handphonenya, menyuruh Lisa untuk duduk menatapnya agar ia bisa mengoleskan obat yang dibelinya tadi. "Aku sudah membujukmu untuk menemuinya, ya? Aku sudah menepati janjiku padanya, jadi jangan berfikir kalau aku ingkar janji," susul Lisa, yang diam saja saat Jiyong mulai mengoleskan obat ke wajahnya.
"Ya? Kapan?"
"Tadi... Temui dia, kasihan."
"Hanya itu?"
"Haruskah aku berlutut? Atau memukulmu?"
Jiyong yang sebelumnya kesal karena sikap Nana, juga kesal karena Lisa membuka pintunya untuk Nana, kini kembali tertawa. "Tidak," tolak pria itu di tengah tawanya. "Tidak perlu memukulku, aku tetap tidak akan menemuinya. Dia harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku bukan dokter, aku tidak bisa membantunya."
"Baiklah, akan ku sampaikan pesanmu, padanya," angguk Lisa, membuat Jiyong menaikan alisnya. Ia tidak bisa memahami Lisa. Ia khawatir mengenai penilaian Lisa terhadap sikapnya, namun ia tidak bisa menjelaskan kekhawatirannya.
"Hanya itu?"
"Apa lagi?"
"Tidak berlutut?"
"Aku hanya sudi berlutut saat sedang berhubungan seks," jawab Lisa, langsung membuat Jiyong tersedak ludahnya sendiri. Bagaimana gadis itu bisa membaca pikirannya? Bagaimana gadis itu bisa menebak kearah mana candaannya? Jiyong tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Ya! Kenapa kau terkejut? Kenapa kau tidak tertawa? Kau membuatku jadi terlihat mesum!" protes Lisa dan kali ini Jiyong baru benar-benar tertawa. Di hari Minggu ini, ada banyak tawa yang membuat Jiyong senang karenanya.
Namun setelah dua jam ia mengobrol di rumah Lisa, setelah dua jam bercanda dan tertawa bersama di sana, Lisa justru membawa pembicaraan mereka ke arah yang lebih serius. "Aku akan mengencani Suga," ucap Lisa setelah ia merasa kalau mereka sudah cukup bersenang-senang. "Tidak benar-benar berkencan. Aku hanya akan memprovokasi seseorang agar ia mengakui perbuatannya. Stephanie jadi seperti sekarang karena ia berkencan dengan Suga, kalau semuanya berjalan sesuai rencanaku, orang itu akan menyingkirkanku seperti dia menyingkirkan Stephanie."
"Lalu setelah itu? Setelah kau berhasil memprovokasinya?"
"Tentu saja merekam buktinya kemudian mengirimnya kemana-mana. Dia bisa menghapus semua berita tentangnya, dia bisa menggunakan media untuk kepentingannya, tapi dia tidak bisa menutup mulut semua orang sekaligus."
"Lalu keponakanmu? Bagaimana kalau dia melihat berita buruk tentang ayahnya?"
"Apa hanya karena dia menyumbang satu sperma, dia bisa dianggap sebagai ayah? Walaupun sikap Suga keterlaluan pada Stephanie, aku bisa memaafkannya kalau dia mencari anaknya. Tapi dia tidak mencari anaknya, dia tidak ingin mencarinya, dia tidak peduli padanya, lalu kenapa keponakanku harus peduli pada apa yang terjadi padanya?"
"Aku tidak bisa menyebut ini sebagai ide yang bagus," komentar Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. "Ide itu berbahaya. Bagaimana kalau kau terluka seperti Stephanie?"
"Karena itu aku memberitahumu," kini Lisa menatap Jiyong, ia tunjukan raut memelasnya, lantas merengek, "sebenarnya aku takut... Tapi aku tidak tahu apa lagi yang bisa ku lakukan selain melakukan ini. Orang jahat yang berkuasa selalu kebal hukum. Tidak bisa kah kau melindungiku?"
"Bagaimana? Kau mau aku tinggal disini?"
"Tidak," geleng Lisa. "Tidak, jangan tinggal denganku, itu tidak baik untuk kesehatan jantungku. Hanya... Uhm... Cari aku kalau aku tiba-tiba menghilang? Lalu membelaku kalau ada fans-fans keterlaluan seperti tadi?"
"Kau tidak butuh bantuanku kalau soal itu-"
"Maksudku, jangan sampai aku masuk kantor polisi lagi... Itu memalukan," rengek Lisa, memotong ucapan Jiyong dan membuat pria itu menghela nafasnya, rengekan Lisa juga tidak baik untuk jantungnya. Jiyong harus bangkit, melangkah ke dapur, mengambil sebotol air mineral dan menenggak habis minuman itu untuk menormalkan kembali debaran di dadanya.
"Biarkan aku bertanya satu hal," pinta Jiyong setelah debaran jantungnya kembali normal.
"Apa?"
"Bagaimana caranya berteman dengan mantan kekasihmu? Bagaimana caramu berteman dengan Eric?"
"Tiba-tiba?"
"Jawab saja."
"Being friends is something lovers just can't do," jawab Lisa, membuat Jiyong menaikan alisnya karena jawaban yang ambigu itu. "Kalau kau masih mencintainya, kau tidak bisa berteman dengannya. Jadi, karena kami tidak lagi saling mencintai, kami bisa berteman."
"Tapi Tom masih menyukaimu dan kalian berteman."
"Lalu? Apa masalahnya? Aku tidak menyukainya, karena itu kami hanya berteman. Kalau aku menyukainya juga, aku tidak akan berteman dengannya. Aku akan berkencan dengannya. Tapi kenapa kita tiba-tiba membicarakan ini?"
"Berteman atau berkencan denganku? Pilih salah satu."
"Ya?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sparkling Society
FanfictionUang bukan segalanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, begitu kata sebagian orang naif yang kutemui. Entah apa alasan mereka mengatakannya, tapi untukku, meski bukan segalanya, uang bisa membeli kebahagiaan. Kalau uang yang kau miliki sekarang...