Bab 37

3.3K 393 212
                                    

Dokter Uchiha Fugaku

Aku tengah berdiri di hadapan jendela besar ruang keluarga, memandang ke halaman belakang yang luas. Anak-anak ada di luar, saling melempar bola salju, dan berusaha membuat manusia salju yang tampak menyedihkan. Mereka semua tertawa dan ceria, ini pemandangan yang luar biasa. Sejujurnya, aku tak ingat kapan terakhir kali ketiga putraku itu benar-benar gembira pada saat yang bersamaan, karena biasanya pasti ada salah seorang dari mereka tampak kesakitan. Biasanya Sasuke, selama bertahun-tahun anak bungsuku itu terus dalam suasana hati yang mendung. Jiwanya hancur, hatinya terkoyak, dan sangat sering kusalahkan diriku sendiri atas hal itu. Kusalahkan diriku sendiri, karena tidak berbuat lebih banyak lagi untuk menenangkan kegundahannya di hari mengerikan itu dan pada saat dia terbangun di rumah sakit, sadar bahwa ibunya memang telah meninggal dan itu bukanlah mimpi buruk yang dikarang oleh otaknya. Anak bungsuku itu sangat mirip dengan Mikoto dalam hal penampilan dan semangatnya yang menggebu-gebu, dan dia jugalah yang telah lama kukecewakan.

Takkan pernah kumaafkan diriku ini, karena meninggalkan keluarga setelah kematian Mikoto, dengan berat hati aku harus mengaku bahwa aku ini pengecut, tapi aku tak tahan melihat anakku saat itu. Bahkan sampai sekarang pun ada hari-hari di mana aku harus berpaling dari Sasuke, menjaga jarak dari Sasuke, karena dialah pengingat akan istriku dan apa yang telah terjadi padanya. Dan melihat Sasuke sungguh hancur karena peristiwa itu, melihatnya pura-pura gembira untuk memuaskan kami semua, hanya membuatku makin tak enak hati. Sulit untuk memikirkan apa yang telah Sasuke alami, apa yang dia saksikan pada hari mengerikan itu. Kukumpulkan informasi selama bertahun-tahun, meskipun Sasuke tak pernah mau benar-benar menceritakannya, namun aku tahu Sasuke pasti menyaksikan sendiri kematian ibunya. Mikoto begitu cantik, Sasuke sangat menyayangi ibunya, dan Mikoto meninggal dengan tragis di hadapannya. Tak dapat kubayangkan bagaimana rasanya itu.

Dan istriku ... sulit menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya. Mikoto adalah wanita yang luar biasa; dia berjiwa besar dan orang paling baik yang pernah kutemui. Aku berjanji untuk mencintainya, menghargainya, dan merawatnya, namun aku mengecewakannya ... dengan begitu mendalam. Sasuke bersikap irasional dengan menyalahkan diri sendiri atas kematian ibunya, tapi dia tak tahu secuil pun kisah sebenarnya. Sasuke tidak tahu tentang kebodohanku, keluguanku. Sasuke tidak tahu betapa gagalnya aku sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah, dan aku baru sadar semua itu ketika segalanya sudah terlanjur.

Rin mendekat dan berdiri di sampingku, merangkul lengan kiriku. Dia sandarkan kepalanya di sana, lalu menghela napas. Kami berdiri diam, menatap halaman belakang, menikmati kepolosan tanpa beban mereka. Akan kuberikan apa saja untuk bisa kembali ke masa-masa itu, untuk kembali gembira tanpa beban penyakit hidup.

"Aku mendapati Sasuke main piano pagi ini," kata Rin.

Aku mendesah. "Lagu Bintang Kecil atau Himne Pemakaman?" tanyaku. Hanya dua lagu itu yang dimainkan anakku ketika dia berhasil duduk di depan piano.

"Bukan dua lagu itu," jawab Rin. Terdengar senyum dalam suaranya. "Sesuatu yang baru. Sesuatu yang original."

Aku terbelalak kaget, karena rupanya Sasuke telah mengarang melodi lagi. "Wow," komentarku singkat. Rin mengangguk di lenganku, tapi tak menanggapi.

"Beraninya kau tidak memberitahuku," kata Rin pelan setelah beberapa saat kemudian. Kutatap kakakku itu, dia fokus pada Sasuke di salju. Dari raut wajah Rin, aku tahu pasti apa maksudnya, ada kasih sayang yang sering dia pancarkan di sana. Aku menghela napas, lalu menggeleng.

"Kau ingin aku bilang apa? Anak bungsuku itu bodoh?" tanyaku. Rin mengerang, menyikut tulang rusukku.

"Beraninya kau panggil Sasuke begitu," kata Rin tajam. Aku menggeleng dan berdiri diam, terus memandangi anak-anak bermain. "Dia mencintainya," tambah Rin setelah beberapa saat kemudian, suaranya terdengar lembut. Aku memutar bola mata.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang