Bab 53

2K 282 106
                                    

Dokter Uchiha Fugaku

“Kau akan mati.”

Tiga kata itu terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Kutahan keinginan untuk menyangkal atau mencemooh, alih-alih kujaga sikap agar tetap tenang. Itu sudah kupikirkan puluhan kali, tapi mendengar hal itu diucapkan dengan dingin tanpa emosi membuatnya terasa lebih nyata. Kalimat itu diucapkan dengan begitu tenang, seolah-olah itu hanya pernyataan yang dibuat sambil lalu, kalimat itu akan terlupakan setelah selesai dibicarakan. Tapi nyatanya tidak, karena itu adalah kalimat yang akan menghantuiku dan terus mengikutiku sampai jadi kenyataan. Aku akan mati.

Kulihat orang yang bicara, langsung bertatapan dengan sorot mata yang tajam. Kedua mata itu gelap, sungguh kelam hingga tak bisa dibedakan antara pupil dan iris, dan mereka sangat kuat. Aku tak bisa bilang sepasang mata itu penuh emosi, karena ada semacam ketidakpedulian di sana, tapi intensitasnya membuatku merinding. Itulah sepasang mata yang dilihat oleh puluhan orang di saat-saat terakhir mereka di bumi, mata yang menatap mereka sebelum nyawa melayang. Itulah mata yang bisa menghancurkan manusia paling keras sekali pun, menimbulkan ketakutan hanya dengan melihatnya. Itulah mata seorang pembunuh, mata seorang pria yang mampu berdiri dan merogoh mantel, mengeluarkan pistol Ruger Mark II caliber .22-nya dan menembakkan peluru ke tubuhmu bahkan sebelum kau sadar apa yang sedang terjadi. Lebih penting lagi, pemilik sepasang mata itu takkan ragu melakukannya jika dia rasa perlu.

“Aku tahu,” kataku singkat, menjaga suara meskipun sedang cemas. Takkan kubiarkan emosi ini menunjukkan diri, apa pun yang terjadi selanjutnya. Aku sadar aku ambil risiko besar di sini, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Waktuku habis dan seluruh skenario yang kupikirkan tampak menyedihkan atau tak mungkin kulakukan sendiri. Pasti ada cara lain, harus ada cara untuk melarikan diri dari situasi ini, tanpa seseorang harus terluka atau mati. Dan mungkin itu salahku, karena melibatkan pria ini, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia orang paling logis yang pernah kutemui, dan jika ada jalan keluar dari situasi ini, dia akan tahu. Dia akan bisa melihatnya dan memberitahuku. Dia satu-satunya orang yang bisa membantuku; satu-satunya yang kupercayai untuk membantuku. Tapi di sisi lain, kuakui dia bisa jadi orang yang mengakhiri semuanya.

Jika aku gagal, jika tiga kata yang dia ucapkan beberapa saat yang lalu jadi kenyataan dalam waktu dekat, pria yang kutatap ini kemungkinan akan jadi orang yang melakukannya. Mata gelap dan berbahaya itu bisa jadi hal terakhir yang kulihat sebelum aku mati.

Dia balas menatapku dan tidak bicara, tapi aku sama sekali tidak kaget. Aku duduk berseberangan darinya dan sudah bicara hampir satu jam, menumpahkan segala yang kuketahui, kujelaskan padanya seluruh situasi dan dilema. Aku tidak menyembunyikan apa pun dan memberikan detail sekecil-kecilnya; karena aku tahu bahkan hal-hal yang paling tak penting sekali pun bisa berarti potensi besar baginya. Dan setelah aku selesai bicara, dia hanya menatapku, sepasang matanya bagai mengebor kepala selagi dia menyerap informasi dan memproses apa artinya ini. Apa artinya ini baginya, bagi kami semua.

Dia tetap diam selama beberapa waktu, satu-satunya suara di ruangan adalah detak jam di dinding, dan tiap detik yang berlalu meningkatkan kecemasan. Entah apa yang ada di benaknya, ke mana jalan pikirannya. Aku tidak naif, aku yakin di titik tertentu dia pasti mempertimbangkan apa dia sebaiknya membunuhku di sini sekarang atau bagaimana, tapi kuharap dia tidak melakukannya.

Dan ketika dia buka mulut dan akhirnya mengucapkan tiga kata yang menusuk tulang itu, anehnya aku merasa agak lega. Aku masih bernapas, masih hidup, dan mungkin saja ada harapan.

Sepasang mata itu menatapku lebih lama, sepertinya dia memikirkan skenario lain. Aku baru saja meletakkan masa depan di telapak tangannya, bukan hanya nasibku, tapi juga nasib dua anak muda yang saling jatuh cinta, dan kuharap dia lihat itu dan menemukan cara bagiku untuk memerbaikinya. Jika bukan demi aku, maka demi mereka.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang