Bab 6

6.2K 833 49
                                    

• Uchiha Sasuke •

Aku duduk di sofa sambil menopang kaki di atas meja, mengunyah sereal. Sebenarnya aku cuma suka sereal marshmallow, tapi karena satu-satunya sereal di rumah cuma ada rasa cokelat, aku tetap memakannya. Lagi pula, aku juga kelaparan. Naruto diam-diam mengutukku, dia terus-terusan menghujam tatapan sinis dari seberang ruangan, karena aku telah menghabiskan susu dan dia terpaksa makan sereal kering. Kau terlambat, kau kalah, Pecundang. Itu risiko.

Itachi berjalan ke ruangan dan duduk di sebelah, menggeser bantal dan hampir menumpahkan serealku. Aku memelototinya, tapi dia cuma angkat bahu. Naruto mendengus dan berdiri, lalu berjalan ke dapur. Kudengar dia melempar serealnya ke tempat sampah dan meletakkan mangkuk di tempat cuci piring. Aku terkekeh, kembali menyendok sereal.

"Dia terlalu muda," kata Itachi pelan setelah beberapa saat kemudian. Aku tidak menoleh, tidak perlu bertanya siapa yang dia bicarakan, karena aku sudah tahu. Aku punya firasat Itachi akan kesal dengan usia Sakura, dan jika bicara jujur, hal ini juga agak mengganggu pikiranku.

"Berapa umurnya?" tanyaku sambil lalu, hanya Itachi-lah yang tahu pasti tentang masalah itu. Dahi Itachi berkerut.

"Ayah membelinya tepat ketika dia berulang tahun keenam belas," jawab Itachi, tidak puas. Aku menghela napas, mengangguk. Aku tahu dia tidak lebih tua daripada aku.

Naruto kembali ke ruangan dengan membawa roti lapis dan kami menertawakannya. Aku selesai makan, lalu kembali ke dapur, meletakkan mangkuk di wastafel, dan melirik arloji.

Aku menuju tangga dan bergegas menaikinya. Kubuka pintu kamar dan melihat sekeliling, mencari tas. Kamarku berantakan dan harus dibersihkan, tapi aku tidak punya tenaga untuk melakukannya. Akhirnya kutemukan tas di sudut dan kuambil buku-buku dari meja. Kuperiksa sekali lagi, memastikan semua yang kubutuhkan sudah ada di tas, lalu berjalan ke pintu.

Pintu kamar di seberang lorong tiba-tiba terbuka dan Sakura melangkah keluar. Matanya langsung lebar saat melirikku, ada ekspresi kaget di wajahnya. Dia mengamati sekelilingku, jelas-jelas memerhatikan sekilas kamarku. Aku agak malu sebenarnya, namun kudorong rasa itu jauh-jauh.

"Aku tahu kamarku berantakan," kataku, tertawa. Mukanya memerah dan kembali menunduk.

"Maaf, Tuan," kata Sakura pelan. "Aku tidak bermaksud melihatnya."

Aku mengerang. "Kau tidak perlu minta maaf. Pintunya terbuka, jadi mana mungkin tidak kelihatan."

Sakura mendongak dan tersenyum kecil, mengangguk sekali. Kutatap matanya sejenak dan aku kaget ternyata dia tidak mengalihkan pandangan. Jujur saja, ini aneh dan agak tidak nyaman, tak seorang pun dari kami yang bicara atau bergerak, tapi aku tidak bisa berpaling.

Ponselku tiba-tiba berdering, membuatku terkejut. Aku melompat dan mengumpat, merogoh saku dan menarik ponsel keluar. Kulirik layar dan mengerang. Aku mendongak dan dahiku langsung berkerut saat menyadari Sakura telah pergi.

Kujawab telepon dengan ragu. "Kau mau apa, Samui?" tanyaku muak. Kusandang tas di pundak, menutup pintu kamar, dan berjalan menuju tangga.

"Selamat pagi, Sasuke," katanya.

"Ya, selamat pagi," gumamku. "Kau mau apa?"

Samui menghela napas secara berlebihan dan aku memutar bola mata. "Maukah kau memberiku tumpangan ke sekolah?" tanyanya, agak merengek. Aku meringis.

"Tentu saja tidak mau," kataku cepat. "Aku harus pergi, sampai jumpa."

Kututup telepon dan menyelipkan ponsel ke saku. Aku tahu dia akan marah, tapi terus terang saja aku tidak peduli. Beraninya dia meneleponku minta jemput, memangnya aku sopir taksi?

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang