Bab 67

1.3K 247 167
                                    

• Uchiha Sasuke •

Kupelototi kertas yang tergeletak di meja, sebelah tangan mencengkeram rambut dan sebelah lagi frustasi mengetuk-ngetuk pensil. Sudah kubaca soal keparat itu setidaknya dua belas kali, tapi sepertinya aku tak bisa fokus. Telah berjam-jam aku duduk di kelas menjawab pertanyaan tentang tata bahasa, bacaan, dan matematika. Bokongku sudah sakit duduk lama di kursi kayu dan kepala ini berdenyut karena berpikir terlalu keras.

Aku mengerang saat bersandar di kursi, berusaha mengubah posisi duduk. Gadis yang ada di sampingku melayangkan tatapan kesal. Kuangkat sebelah alis, menantangnya untuk mengatakan sesuatu, namun dia hanya memutar bola matanya sebelum kembali memusatkan perhatian pada ujian. Kutatap dia sejenak dengan jengkel, bahkan tak ingat siapa namanya. Dia manis, dalam artian ‘rebahkan punggungku, dan gerayangi aku dari belakang’, tapi aku yakin belum pernah berhubungan dengannya. Entah kenapa demikian, padahal dia memiliki tubuh yang bagus dan wajah yang lumayan, tipe gadis yang sering kurayu agar masuk ke lemari petugas kebersihan. Bibirnya tebal, cocok untuk melilit penis, dan saat kutatap gadis itu aku bertanya-tanya apa mungkin dia pernah memberiku oral seks sebelumnya. Tak mungkin bibir itu luput dari perhatianku, pada satu titik pasti aku coba untuk mendekatinya, dan jika aku beraksi tak mungkin dia tolak. Tak ada yang pernah menolakku.

Astaga, aku sudah gila. Seharusnya aku konsentrasi pada ujian yang menentukan ke perguruan tinggi mana aku bisa mendaftar, bukan memikirkan apa gadis yang duduk di sampingku pernah mengisap kejantananku sebelumnya atau tidak. Apa masalahku?

Dia kembali melirikku, jelas sadar aku sedang menatapnya. “Kau mau apa?” tanyanya kesal, memelototiku. Aku menghela napas dan menggelengkan kepala.

“Tidak ada,” gumamku pelan, kembali melihat kertas di meja. Aku tidak peduli tentang gadis itu, terus terang tidak peduli dengan mereka semua. Aku hampir tak pernah memerhatikan siapa pun lagi, tak memikirkan gadis-gadis di SMA ini. Mereka semua sama saja dan tak ada yang bisa mereka lakukan untukku. Aku punya Sakura-ku dan tak seorang pun dari mereka yang bisa disandingkan dengannya, tak ada keraguan sedikit pun tentang hal itu. Sakura satu-satunya yang kupedulikan, satu-satunya gadis yang kusayangi. Dia memiliki semua yang kuinginkan, semua yang kubutuhkan. Dialah alasanku duduk di kelas terkutuk ini, stres karena ujian konyol ini, agar aku bisa membawanya pergi dari semua omong kosong dan memulai hidup baru dengannya di suatu tempat. Dia cantik, pintar dan manis, dia berjiwa besar dan kemaluan yang kencang. dak ada gadis lain yang bisa menandingi. Aku benar-benar dikonsumsi olehnya, seluruh hidupku berevolusi di sekelilingnya. Aku telah bertekuk lutut padanya.

Kulirik jam dinding, lima belas menit sebelum pukul dua belas siang. Pengawas ujian mengumumkan waktu tinggal lima menit lagi dan aku menghela napas keras, kucoba memusatkan perhatian kembali pada ujian. Kubaca pertanyaan terakhir sekali lagi, berusaha menerjemahkan analogi-analogi brengsek yang tertulis di kertas. Entah apa arti setengah dari kalimat yang tertulis di sana, jadi tak mungkin aku tahu bagaimana korelasinya. Aku menyerah setelah beberapa saat dan menjatuhkan pensil di meja, bahkan tidak repot-repot mengarang jawaban. Satu-satunya analogi yang penting bagiku saat ini adalah 'ganja untuk merokok, vagina untuk bercinta', karena itulah satu-satunya hal yang sungguh kuminati. Aku perlu menenangkan urat saraf, hanya rokok dan Sakura-kulah yang bisa melakukannya.

Waktu habis dan pengawas meminta kami untuk berhenti menulis, lalu mereka kumpulkan jawaban dan membubarkan kelas. Aku keluar ruangan sambil meregangkan jemari yang kaku dan memutar leher untuk menghilangkan ketegangan ini. Saat melangkah keluar, aku menyipitkan mata karena sinar matahari menerpa, aku terkejut hujan tidak turun sama sekali. Ini baru tengah hari, jadi masih ada waktu bagi aku dan Sakura untuk melakukan sesuatu setelah melewati pagi yang menegangkan. Aku tahu Ayah akan meninggalkan kota, jadi hanya kami berdua di rumah, dan karena di luar cukup cerah, sepertinya kami bisa jelajahi hutan lagi. Kami masih punya beberapa masalah untuk diselesaikan, hal-hal yang perlu kami bicarakan, dan padang rumput di hutan selalu jadi tempatku untuk menjernihkan pikiran. Di sana sangat damai, seolah ketika kau memasukinya, semua omong kosong dalam hidupmu menghilang, dan itulah yang kami berdua butuhkan.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang