Bab 31

7.6K 623 100
                                    

• Haruno Sakura •

Aku menarik diri dan melirik jam alarm yang terletak di meja kecil, lalu mendesah pelan. Sasuke agak bergeser, merasakan gerakanku, dan bergumam dalam tidurnya. Dia memelukku dan kembali kurebahkan kepala ke dadanya, tak ingin meninggalkan ketenangan dan kenyamanan pelukannya.

Sekarang masih subuh, baru pukul 04:00. Ini adalah Hari Perayaan Musim Dingin dan aku tahu Uchiha bersaudara libur sekolah, Dokter Fugaku juga libur kerja. Aku punya rencana besar dan perlu turun ke dapur untuk memulainya, tapi tempat tidur Sasuke sungguh nyaman untuk ditinggalkan.

Sudah lewat beberapa minggu sejak kejadian Zabuza di kamarku. Beberapa di antara rekan organisasi Dokter Fugaku tetap tinggal pasca peristiwa itu, dan aku bersyukur tidak terjadi apa-apa setelahnya. Mereka bertolak ke Tsurui Sabtu pagi. Mereka jaga jarak dariku, tak ada yang mengajak bicara atau bahkan mengakui kehadiranku. Mereka memperlakukanku seperti aku diperlakukan oleh semua orang di Jōmae — mereka bersikap seolah-olah aku tidak ada. Kupikir mereka kesal padaku, mereka benci aku karena peristiwa Zabuza, tapi Sasuke meyakinkan bahwa bukan itu masalahnya. Sasuke bilang mereka mencoba untuk menghormatiku setelah apa yang terjadi. Sasuke berkata sebagian besar anggota organisasi malu atas tindakan Zabuza, karena secara garis besar organisasi menentang pelecehan terhadap wanita dan anak-anak. Aku tidak mengerti, karena kebanyakan dari mereka punya budak perempuan, jadi bukankah itu sama saja dengan menyakiti seorang wanita? Sasuke berkata itu tidak sama, tapi ketika aku mendesaknya untuk menjelaskan lebih jauh, Sasuke sepertinya tidak bisa bicara. Dia tergagap dan akhirnya tersentak frustrasi sambil tetap bilang, “itu berbeda, titik,” entah apa artinya. Aku tak lagi menekan Sasuke, aku hanya fokus pada fakta bahwa anggota organisasi tidak senang dengan tindakan Zabuza dan mereka berusaha menghargaiku. Konsep itu sebenarnya membuatku bingung; mereka tidak punya alasan untuk menghormati orang seperti aku. Rasa hormat adalah hal yang kukenal dengan baik, karena aku dipaksa untuk pura-pura menghormati orang jahat sepanjang hidupku, dan aku mengerti bahwa bagi orang-orang seperti ayahku dan Dokter Fugaku rasa hormat sangat penting demi kelangsungan hidup dalam bidang usaha mereka. Tapi mereka akan menghormatiku tak pernah terlintas dalam benak ini. Aku seorang budak – mereka melihatku sebagai milik seseorang. Satu-satunya penjelasan yang bisa kusimpulkan adalah ini ada pengaruhnya dengan pria yang jadi pemilikku itu. Jujur saja, sifat pria lain yang datang ke kediaman Uchiha saat itu tidak sama seperti Zabuza — kurang ajar dan menjengkelkan. Mereka cukup tenang dan jaga sikap. Satu hal yang mereka miliki adalah kekaguman pada Dokter Fugaku. Bahkan Tuan Danzo, yang diindikasikan oleh Dokter Fugaku sebagai bosnya, tampaknya sangat menghargai tuanku itu.

Kuhabiskan hari pertama setelah dikonfrontasi oleh Zabuza dengan berkurung diri di kamar Sasuke, dan semua orang meninggalkan kami berdua. Kami tidur siang dan aku terbangun oleh suara teriakan keras Sasuke, dia membuatku panik. Sasuke tampak sangat ketakutan, berkeringat dan tubuhnya gemetaran. Aku kaget, dan aku duduk sejenak, sungguh mengkhawatirkannya. Sasuke melirikku sebelum memelukku erat-erat. Dadanya naik-turun tak menentu, napasnya bergetar. Kubalas pelukan Sasuke erat-erat, bertanya-tanya apa yang salah dengannya, tapi tak ingin memaksanya untuk bicara. Aku tahu persis apa yang Sasuke rasakan, mengingat aku juga menjerit saat terbangun di malam hari, dan aku tahu bagaimana sulitnya membuka diri tentang hal-hal yang menghantui itu. Setelah beberapa saat kemudian, Sasuke tampak tenang dan mulai bercerita tentang ibunya yang sekarat, bagaimana dia berada di sana dan menyaksikan kematiannya yang kejam, menyaksikan jiwa meninggalkan raga ibunya. Sasuke katakan padaku gundah di hatinya, rasa sakit dan rasa bersalah yang irasional karena meninggalkan ibunya saat itu, dia tidak melakukan apa pun untuk membantunya atau menghentikan pembunuhan sadis itu. Dia tidak berdaya dan itu bukan salahnya — dia masih kecil saat itu. Tidak bisa kubayangkan Sasuke harus hidup bersama kenangan itu selama bertahun-tahun, menghadapi apa yang telah dilihat dan dialaminya. Kusaksikan orang-orang mati, kusaksikan cahaya kehidupan mereka redup, tapi aku tak pernah membiarkan diriku punya ikatan emosional dengan mereka. Sudah jelas bahwa Ibu Sasuke telah jadi dunianya saat itu, jadi menyaksikan hal yang paling penting bagimu menghilang tepat di depan mata sungguh tak terbayangkan olehku.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang