Bab 63

1.6K 235 143
                                    

Dokter Uchiha Fugaku

Aku duduk di ruang kerja bersama setumpuk dokumen, kuketuk-ketukkan pena di meja dengan cemas. Ada segunung pekerjaan yang menanti, baik untuk rumah sakit maupun untuk organisasi, tapi sepertinya aku tak bisa fokus pada semua itu. Konsentrasiku terus buyar, pikiran dan mata ini terus tertuju ke arah tayangan di laptop. Kupaksa diri ini untuk fokus pada penyakit atau pengiriman barang, pasien atau anggota yang baru diinisiasi, tapi tetap saja ujung-ujungnya aku memikirkan satu hal — Sasuke.

Sudah sembilan hari sejak Sasuke dan Sakura kembali dari Jōmae, dan hari-hari itu terbukti jadi hari terlama dalam hidupku. Suasana di rumah tegang, keheningan yang membayangi mereka terasa mencekam. Mereka tampaknya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tak ada yang mau membuka diri. Jelas mereka berdua terluka dan menahan diri, ingin saling mencurahkan hati, tapi keduanya takut. Mereka rapuh dan aku merasa sedang berjalan di atas kulit telur atau menavigasi ladang ranjau, sadar betul bahwa tanpa peringatan salah seorang bisa hancur. Mereka berdua bom waktu yang tinggal tunggu meledak jika seseorang tidak segera memecahkan kode mereka, tapi masalahnya aku tidak tahu bagaimana melakukannya. Aku tidak yakin kabel mana yang harus dipotong agar mereka mau bicara, aku takut salah pendekatan akan memicu ledakan dan menghancurkan segalanya. Aku hanya menunggu bom nuklir melenyapkan segala yang telah kubangun untuk kami, dan aku sangat takut anak bungsukulah yang akan jadi uranium untuk mewujudkannya.

Ah, aku terlalu lelah untuk memikirkan metafora yang cerdas. Aku nyaris tidak fokus untuk menulis nama sendiri di dokumen, namun malah coba-coba menjelaskan situasi yang kami alami dengan cerdas. Itu buang-buang waktu dan energi, karena tak peduli bagaimana cara aku menguraikannya atau menyebutnya, pada akhirnya kami hancur.

Sembilan hari. Aku duduk di belakang meja ini selama sembilan hari berturut-turut dan menyaksikan putraku mondar-mandir di lorong luar ruangan, dia usap rambutnya dengan marah sambil mencaci-maki dirinya sendiri. Aku tidak dengar suaranya, tapi dari ekspresi dan gerakannya aku bisa bayangkan apa yang dia katakan. Aku tahu apa yang dia lihat di Jōmae dan telah dapat penjelasan lengkap dari saudara iparku tentang apa yang telah diucapkan di hadapannya. Aku tahu ke mana arah pikirannya dan petunjuk-petunjuk apa yang dia coba kumpulkan, tinggal masalah waktu saja sebelum semuanya klik dan dia menerobos ke ruangan ini sambil bawa teori.

Kukira dia akan masuk ke ruangan ini tadi malam, karena dia sudah pegang kenop pintu. Namun, sebelum dia memutarnya, dia bicara sendiri, lalu pergi. Ada bagian dari diriku yang lega dia tidak jadi konfrontasi, karena aku tak bisa berbohong padanya saat ini, namun aku tak sepenuhnya siap mengakui kebenaran, tapi ada bagian lain dari diriku berharap dia segera datang. Kuharap dia tidak lagi berlarut-larut membiarkan pikirannya membusuk dan menghabiskan tenaga, karena ada sesuatu yang lebih penting yang secara tak sengaja dia abaikan ...

Sakura.

Kutekan tombol di laptop, layar berubah jadi tampilan perpustakaan. Aku langsung melihat Sakura, meringkuk di kursi dekat jendela, menatap keluar dengan sebuah buku di pangkuannya. Itu tempat yang sama yang dia kunjungi tiap malam selama seminggu terakhir sementara putraku mondar-mandir di lorong dengan panik. Sakura terkadang menyalakan lampu dan membaca, tapi lebih sering duduk diam dalam gelap dan menatap malam. Dia menarik diri, makin jauh dan lebih jauh lagi seiring berjalannya waktu. Aku bahkan tidak yakin apa putraku sadar sudah sejauh apa Sakura menjaga jarak darinya. Itu mengecewakan, dan kuharap Sasuke sadar sebelum terlambat.

Aku pun juga sedang punya banyak masalah, tapi aku punya kewajiban untuk mereka. Setidaknya aku perlu berusaha untuk memerbaikinya, tapi aku tidak yakin bagaimana atau apa itu mungkin untuk dilakukan. Aku telah menyebabkan semuanya, tapi tak ada yang bisa ditarik kembali atau diubah; yang bisa kami lakukan hanyalah terima semua dan hadapi konsekuensi. Sejujurnya, dalam keadaan saat ini aku tidak yakin salah seorang dari mereka cukup kuat untuk mendengar seluk-beluk fakta dan menghadapi kenyataan hidup. Sepertinya yang selama ini kulakukan adalah menutupi jejak, membuat cerita yang rumit agar lolos dari situasi ini, namun aku mulai bosan dengan itu semua. Aku lelah, baik secara mental maupun fisik, dan telah sampai di titik di mana tertimpa nuklir tak lagi terlihat begitu mengerikan, asalkan pada akhirnya semua terbuka.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang