Bab 42

3.1K 344 134
                                    

• Uchiha Sasuke •

Bunyi bel melengking keras, membuatku terbangun dari tidur nyenyak. Cepat-cepat kuangkat kepala dan berkedip beberapa kali, melihat sekeliling, bingung. Perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa aku sedang duduk di meja, di tengah-tengah kelas Sejarah. Aku mengerang dan mengusap muka, berusaha bangun sepenuhnya. Semua orang sudah berdiri, mengumpulkan barang-barang mereka, dan keluar dari kelas, bicara dengan penuh semangat karena sudah waktunya makan siang. Aku tetap duduk sebentar sebelum mendorong kursi ke belakang dan berdiri. Kuambil tas, kulemparkan buku ke dalamnya, menutup ritsleting dan menyandangnya di bahu. Aku melangkah dari meja, ingin segera menuju pintu, tapi suara deham keras terdengar di belakang. Aku berhenti dan kembali mengerang, karena kutahu aku akan ditegur.

"Uchiha, sebaiknya kau beri perhatian lebih di kelas."

Aku mengusap rambut, sedikit jengkel, dan berbalik menghadap Guru Sarutobi. Bajingan tua itu membenciku dari dulu, karena dia benar-benar tolol, mungkin aku tahu lebih banyak sejarah daripada dia. Minggu pertama pelajaran dia mengatakan omong kosong tentang Yakuza Shiragi di Okazaki, sebagian besar yang dia katakan itu tidak benar, dan semestinya aku diam saja, tapi tentu karena aku bajingan yang sombong, aku angkat bicara. Sejak saat itu dia selalu marah padaku, karena dia tidak senang aku membuatnya terlihat bodoh di depan kelas. Dia tahu aku punya pengaruh, tahu kenakalan apa saja yang kulakukan di sekolah, dan dia pikir jika dia menegurku, murid-murid lain akan menaruh rasa hormat padanya. Jadi dia terus menegurku ditiap kesempatan, karena egonya terluka dan ingin mendiskreditkan aku, dia tahu dia takkan pernah berhasil, tapi dia gigih berusaha. Dia juga benci pada kenyataan bahwa sekali pun aku tidak susah-susah belajar dan hanya setengah-setengah memerhatikan di kelas, aku masih akan tetap punya nilai bagus agar bisa lulus dari kelas menyedihkannya ini.

"Ya, baiklah," kataku sambil mengangkat bahu. Matanya agak sipit, ketidakpedulianku terhadap situasi dan terus bersikap brengsek membuatnya kesal. Aku tak begitu peduli; nyawaku belum terkumpul sepenuhnya dan aku tak punya energi untuk menangani omong kosong darinya.

Kutatap Guru Sarutobi sejenak, berdebat dalam hati apa sebaiknya kuucapkan hal lain atau tidak, namun kuputuskan untuk berbalik saja dan menuju pintu. Tak ada gunanya repot-repot dan dia juga tidak balas sepatah kata pun, dia hanya berdiri menganga di sana ketika aku berjalan keluar kelas. Aku tahu dia takkan berani memberiku hukuman karena itu, karena dengan memberiku hukuman berarti memaksanya duduk seruangan bersamaku selama satu jam setelah pulang sekolah, dan itu hal terakhir yang dia inginkan. Dia juga takkan mengadu pada kepala sekolah. Dia pernah melakukannya di awal tahun, berusaha mengeluarkan aku karena tidak hormat padanya, peristiwa itu tak lama setelah kejadian tentang Yakuza di kelas, tapi kepala sekolah terlalu takut untuk menghukumku karena Ayah, jadi kepala sekolah abaikan semua aduannya.

Kususuri lorong sampai ke pintu, berjalan keluar menuju alun-alun. Udara lumayan dingin, tapi untungnya kering setelah hujan sepanjang minggu. Kurogoh saku untuk mengambil ponsel. Kupindai daftar kontak sampai kutemukan nama Sakura, lalu kutekan tombol panggil.

Sakura masih tidur ketika aku ke sekolah pagi ini, dia tidur sangat pulas, bahkan suara jam alarm yang menggelegar keras tak mengganggunya. Harus kuakui, egoku makin tinggi karena itu. Kami tidak tidur hingga larut malam, saling menjelajahi tubuh masing-masing, melakukan aktivitas seksual yang penuh keintiman. Sakura juga lebih terbuka dalam hal itu, tidak malu-malu lagi, dan dia kembali memberiku oral seks. Itu kali ketiga, dan tentu saja Sakura bukanlah orang yang paling lihai melakukannya. Karena jika Sakura ahli dalam hal itu, berarti kemungkinan dia sudah latihan seperti para pelacur di sekolah, dan aku tak senang memikirkan kemungkinan itu. Aku lebih suka Sakura agak ceroboh daripada mengetahui dia telah mengisap penis pria lain, bahwa bibir manisnya itu pernah meliliti kejantanan bajingan lain. Aku tak ingin Sakura melihat penis lain, apalagi menyentuhnya. Sakura adalah gadisku dan jika semua keputusan ada di tanganku, dia takkan pernah jadi milik pria lain. Sakura takkan pernah bersama pria lain, karena dia tak pernah membutuhkan siapa pun, kecuali aku. Sial, hanya membayangkan Sakura bicara dengan pria lain saja sudah membuat darahku mendidih. Kuakui itu sangat munafik, karena aku telah tidur dengan banyak perempuan dan masih bicara dengan setengah dari mereka setiap hari. Tapi itulah aku, dan itu adalah kesalahanku. Sakura lebih baik dari itu.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang