Bab 29

8.9K 777 133
                                    

• Haruno Sakura •

Aku duduk sambil melirik sekeliling, menyipitkan mata dan berkedip beberapa kali. Kuusap mata sejenak sebelum melihat jam alarm. Sudah lewat pukul 7 pagi dan aku sendirian. Sasuke pasti sudah berangkat ke sekolah dan entah bagaimana caranya dia tidak membuatku terbangun. Aku tidur nyenyak semalam. Aku cuma bangun sekali tengah malam, karena ingin buang air kecil. Saat terbangun, aku berbaring di atas dada Sasuke, lengannya melingkari tubuhku. Rasanya sungguh nyaman dan aku tidak ingin pindah tempat, tapi kandung kemih ini berteriak aku tidak punya pilihan, selain bangkit. Butuh waktu satu menit untuk melonggarkan cengkeraman Sasuke, karena tiap kali aku berusaha melepaskan tangannya, dia malah bergumam tidak jelas dan memelukku lebih erat lagi. Aku terkikik nyaring ketika akhirnya bebas, namun dia raih tubuhku lagi dan menarikku kembali sambil bergumam 'tidak bisa memilikinya, dia gadisku'. Suara Sasuke serak karena tidur dan dia terdengar begitu primal dan protektif, namun anehnya mampu menghangatkan hati ini. Aku hampir saja pipis di celana karena cekikikan. Jujur aku pun bingung dia tidak bangun karena tawaku mengguncang tubuh kami berdua. Akhirnya aku turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar tanpa membangunkan Sasuke. Ketika aku kembali, Sasuke telah meringkuk seperti bola di bawah selimut. Aku naik ke ranjang di samping Sasuke, menghadap ke arahnya, lalu mengawasinya tidur selama beberapa menit. Sasuke tampak sangat santai dan puas. Sejenak aku berdebat dalam hati, tapi akhirnya kuulurkan tangan dan kubelai rambut Sasuke. Sasuke mengerang lembut saat merasakan sentuhanku, dia dekatkan dirinya ke sini. Itu hal terakhir yang kuingat, sepertinya aku kembali tidur.

Kulemparkan selimut dari tubuh dan turun dari tempat tidur, meregangkan badan. Setelah mandi, aku berjalan ke lemari untuk ambil pakaian. Sejenak aku berdebat dalam hati apa aku akan tetap mengenakan kaus olah raga Sasuke sepanjang hari seperti yang kuinginkan atau bagaimana, tapi tamu Dokter Fugaku ada di sini, jadi penampilanku harus terlihat sopan. Sepertinya janggal sekali jika seorang budak berkeliaran mengenakan pakaian tuannya, sekali pun tuannya cukup pengertian dan baik hati. Mereka tidak akan senang.

Akhirnya kuambil celana khaki dan baju kaus lengan panjang warna hitam. Kusisir rambut sebelum mengikatnya ekor kuda, kutatap tajam cermin sejenak. Aku terlihat hambar, tak ada keraguan tentang hal itu, tapi setidaknya rapi.

Kuambil ponsel dan kumasukan ke saku. Dokter Fugaku memang ada di rumah, tapi sekarang aku tetap bawa ponsel kemana-mana untuk jaga-jaga. Dokter Fugaku cuma sekali menghubungiku, dan itu tepat ketika aku tidak bawa ponsel, aku tidak ingin mengulangi kejadian itu lagi. Perlahan aku melangkah keluar kamar, memastikan langkahku terdengar sesunyi mungkin. Aku tiba di lantai dua dan membeku, dahiku berkerut ketika melihat pintu kamar Itachi terbuka lebar. Seluruh pintu ruangan di rumah biasanya selalu tertutup, tak peduli ada orang di dalamnya atau tidak. Aku berjalan ke sana perlahan, berhenti di ambang pintu dan melihat sekeliling. Kamar Itachi tampak kosong dan lampu menyala. Itachi sering berkata aku selalu diizinkan masuk ke kamarnya, tapi aku masih merasa seolah-olah sedang menyerbu ruang privasinya, jadi aku sangat jarang berkelana di dalam sana.

"Itachi?" panggilku pelan, ragu-ragu. Tak ada jawaban. Aku masuk, pintu kamar mandinya juga terbuka, ruangan sepi. Aku yakin Itachi sudah berada di sekolah, tapi aku bingung kenapa kamarnya begitu terbuka. Ini jelas bukan dia. Kutekan saklar untuk mematikan lampu dan melangkah keluar dari ruangan, menutup pintu. Aku berbalik ke arah tangga dan berteriak kaget ketika bertabrakan dengan seseorang yang berdiri di sana.

Refleks aku melangkah mundur, terkejut dengan kehadiran orang ini. Aku bersandar erat ke pintu dan memejamkan mata rapat-rapat, menguatkan diri untuk apa pun yang akan terjadi. Terasa sentuhan lembut di lenganku setelah beberapa saat kemudian.

"Sakura? Apa kau baik-baik saja?" Kubuka mata saat dengar suara Itachi. Dia berdiri di hadapanku, wajahnya tampak khawatir. Itachi selalu khawatir ketika aku meringkuk darinya, meski dia tampaknya paham bahwa reaksi seperti ini bukan karena masalah pribadi. Ini cuma reaksi alami, karena aku secara naluriah berusaha melindungi diri.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang