Bab 59

1.7K 248 89
                                    

Haruno Sakura •

Aku berdiri di samping, berusaha menahan air mata, sungguh konyol aku begitu emosional. Semua orang berkumpul di serambi dan mengobrol penuh semangat, kegembiraan mereka terlihat jelas. Tawa menggelegar Naruto terdengar, membuat air mata ini mengalir di pipi. Cepat-cepat kuhapus agar orang lain tidak lihat, aku senang mereka semua sibuk.

Sekarang Minggu sore, dan sulit dipercaya musim panas akan segera berakhir, padahal rasanya baru saja dimulai. Satu setengah bulan sejak perjalanan kamp football Sasuke, waktu berlalu dengan cepat. Aku dan Sasuke pergi berkencan, biasanya hanya kami berdua, tapi terkadang dengan salah seorang saudaranya dan kekasih mereka. Kami jalan-jalan ke Takumi dan Sunagakure, mengunjungi galeri seni, museum, akuarium, dan kebun binatang. Sasuke membawaku ke pantai beberapa kali, karena dia dilarang ke Pantai Yuigahama, jadi Sasuke memilih wilayah yang lebih sepi penduduknya di arah selatan. Kami bermain di pasir, melakukan hal-hal konyol seperti mengubur kaki kami dan membuat istana pasir. Sasuke bahkan mengajariku berenang, tapi menyerah saat aku terus-terusan mangap menghirup air, terengah-engah, dan tersedak.

Sasuke terkadang latihan football di sekolah dan membawaku beberapa kali. Selalu ada orang lain di sana – keluarga, teman, dan kekasih para pemain berkumpul dan mengobrol sambil menyaksikan orang yang mereka cintai berlatih, tapi aku selalu duduk di pinggir sendirian. Sangat menarik melihat Sasuke bermain dan aku jauh lebih paham tentang olahraga itu sekarang. Sasuke percaya diri dan agresif di lapangan, jelas sangat berbakat, jadi tidak heran orang-orang berkata dia punya kesempatan bergabung di tim yang lebih besar. Aku bangga Sasuke punya potensi dan aku sering bilang begitu padanya, tapi Sasuke selalu mengabaikannya seolah itu bukan hal besar. Namun, itu adalah hal besar, karena itu masa depannya ... masa depan kami.

Kami tak hanya menghabiskan hari dalam kesibukan; kami juga menghabiskan banyak waktu berkualitas. Kami pergi keluar selama berjam-jam, menjelajahi hutan dan duduk-duduk di halaman belakang. Sasuke mengajariku cara melempar bola football, namun aku cuma bisa melempar bolak-balik bersamanya, bolanya sama sekali tidak mau berputar spiral seperti lemparan Sasuke. Aku juga tidak bisa menangkap bola dengan baik, tapi aku senang melakukannya dengan Sasuke, karena football adalah sesuatu yang membuatnya gembira dan aku senang diikutsertakan dalam hal itu.

Dan kami benar-benar banyak bicara. Kami mengobrol tentang apa saja dan segalanya, bahkan mendiskusikan kemungkinan masa depan. Sasuke memberitahuku tempat-tempat yang dia suka dan tidak sukai, tapi sebaliknya dia mengatakan bahwa di mana pun kami menetap, dia tidak keberatan asalkan kami bersama. Sasuke memintaku untuk memilih jalan kami dan itu mengejutkan, karena keputusan besar ada di tanganku. Aku masih mencerna potensi kebebasanku, namun Sasuke sudah membuka seluruh kemungkinan dengan satu pernyataan sederhana ... “Keputusan ada di tanganmu.” Kata Sasuke hanya langitlah batasnya, karena dia punya banyak uang sehingga kami bisa pergi ke mana pun yang kuinginkan. Aku bahkan tidak yakin harus mulai dari mana, tapi menurut Sasuke aku tidak perlu buru-buru memutuskan, karena kami punya waktu. Sasuke hanya ingin menikmati musim panas dan setelahnya, ketika kehidupan nyata menghampiri kami dan kami tak bisa lagi hidup dalam gelembung ini, kami akan mulai cari sekolah dan lokasi.

Aku banyak belajar untuk ujian SKP, begitu juga Sasuke. Dia bilang dia juga perlu ikut ujian agar perguruan tinggi mau menerimanya. Sungguh aneh belajar bersama Sasuke, dan ketika aku bilang itu, kata Sasuke aku perlu membiasakan diri, karena ini akan jadi rutinitas kami selama bertahun-tahun mendatang. Aku tersenyum memikirkan itu, kubayangkan pergi kuliah di suatu tempat dan belajar di saat yang bersamaan dengan Sasuke.

Sasuke olahraga di pagi hari atau pergi ke sekolah untuk angkat beban. Itu rutinitas yang memakan waktu beberapa jam dalam sehari dan satu-satunya momen kami berpisah. Kuhabiskan waktu-waktu itu untuk bersih-bersih, tak ingin mengabaikan rumah sepenuhnya meskipun Sasuke bilang itu tidak perlu, dan bahkan berkata kasar mereka semua sudah dewasa dan bisa jaga diri sendiri. Aku bertanya apakah itu berarti dia akan cuci pakaian sendiri dan dia hanya tersenyum malu, mengangkat bahu. Dewasa atau tidak, Sasuke tak tahu apa-apa tentang mengoperasikan mesin cuci dan bergantung padaku untuk pakaian bersih.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang