Bab 4

6.9K 927 101
                                    

• Haruno Sakura •

Napasku mulai kencang saat Tuan Fugaku menutup pintu kamar, meninggalkan aku sendiri untuk sisa malam ini. Lututku goyah. Aku berjalan perlahan ke sofa, tumbang di atasnya. Aku merasa sangat bodoh. Bukannya aku takut atau panik, aku cuma kewalahan dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa tentang perubahan hidup ini. Segalanya terjadi begitu cepat, tak ada yang masuk akal. Aku tidak terbiasa menghadapi perubahan, segalanya begitu asing bagiku, entah bagaimana cara memproses semua ini.

Setelah aku cukup tenang, aku berdiri dan cepat-cepat menanggalkan pakaian. Kuambil pakaian yang telah dibawakan oleh Tuan Fugaku dan membuka lipatannya. Kupakai celana flanel, menggulung pinggangnya beberapa kali agar tidak tercecer, namun tetap saja ujungnya menyapu lantai. Kuambil baju kaus dan ragu-ragu menatapnya. Di bagian depan tertulis SMA Konohagakure dan American Football. Di bagian belakang ada huruf 'U-C-H-I-H-A', yang tampaknya nama depan mereka, dan nomor 7. Aku langsung memakainya, panjangnya hampir menyentuh lututku.

Aku berjalan menuju kamar mandi dan mendorong pintunya hingga terbuka. Kunyalakan lampu. Aku langsung tersentak. Kamar mandi juga luas, ubinnya berwarna putih dan ada bak mandi besar di sudut sana. Ada juga shower dengan pintu kaca buram dan wastafel dengan cermin besar di atasnya. Ini menakjubkan.

Kutemukan handuk dan kain lap di lemari dekat toilet dan mengambilnya satu-satu. Handuknya halus dan lembut, samar-samar tercium wangi bunga dari deterjen yang digunakan untuk mencucinya. Aku berjalan ke wastafel dan mencuci muka, membersihkan alas bedak yang dioleskan oleh Tuan Fugaku di wajahku. Aku mengeringkannya dan melirik cermin, dahiku berkerut. Tuan Fugaku benar - bekas tangan terlihat jelas di memarku. Tapi ini tidak separah dugaanku sebelumnya, aku pernah mengalami tamparan yang jauh lebih buruk.

Sejak istri Tuan Kizashi tahu bahwa dia adalah ayahku, dia senang menandai wajahku. Aku dipukul begitu keras, sampai-sampai seluruh wajahku bengkak dan aku nyaris tidak bisa melihat. Hidungku pun pernah patah sekali saat dipukuli, tapi aku tidak pernah diberi pengobatan. Tuan Kizashi tidak mau repot-repot menyediakan perawatan medis untuk kami; Tuan Kizashi selalu berkata jika luka atau patah tulang kami tidak sembuh dengan sendirinya, dia akan dengan senang hati membunuh kami agar kami tidak lagi sengsara menahan sakit. Jika diperhatikan lekat-lekat, hidungku agak bengkok, tapi ini tidaklah mengerikan. Aku cukup beruntung ketika berhadapan dengan kerusakan permanen; selain cacat kecil di hidung, yang kumiliki hanyalah bekas luka. Budak lain ada yang sampai kehilangan giginya hingga mengalami patah tulang yang serius, sampai-sampai tulang itu tidak dapat menyatu lagi dengan sempurna, dia jadi agak lumpuh. Seorang gadis bahkan buta sebelah karena kena tendang. Memar ini - ini bukan apa-apa. Ini akan memudar seiring dengan ingatan. Memar mudah dilupakan.

Kumatikan lampu dan kembali ke kamar. Aku berjalan ke arah pintu untuk mematikan lampu kamar. Samar-samar, kudengar suara musik datang dari seberang lorong. Tentu saja aku tidak kenal siapa penyanyi atau judul lagu itu - aku jarang sekali mendengar musik, selain yang dimainkan oleh Tuan Kizashi atau istrinya, atau apa pun yang kudengar dari televisi. Apa pun musik ini, ini terdengar menenangkan dan lembut.

Kumatikan lampu dan berjalan ke tempat tidur, menarik selimut dan bergelung di atasnya. Kasurnya begitu empuk, hampir menelan tubuhku. Seprainya pun halus dan lembut. Aku berselimut, menghela napas puas saat kepalaku menyentuh bantal. Tak pernah aku merasa begitu nyaman sebelumnya, merasa sangat ... aman.

Ini mengejutkan. Meskipun lelah, aku tidak dapat tidur, karena pikiranku tidak kunjung berhenti berkelana. Aku berusaha memahami segalanya.

Aku tidak sedang membodohi diri sendiri - aku tahu aku ini apa. Meskipun diberi tempat tidur yang nyaman dan kamar yang luas, aku tak lebih dari seorang budak. Hidupku ada di tangan mereka. Walaupun mereka tampak lebih manusiawi daripada pemilik lamaku, bukan berarti keadaan akan selamanya seperti ini. Aku tidak boleh lengah, aku harus selalu waspada. Aku tahu posisiku, tidak ada yang dapat mengubah fakta. Aku adalah sebuah properti, hidupku akan selamanya dimiliki oleh seseorang.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang