Bab 40

3.6K 372 84
                                    

• Uchiha Sasuke •

Aku lelah dan sungguh gelisah. Perutku jungkir balik dan rasanya aku mau muntah di mobil. Dan itulah yang paling membuatku kesal, karena aku cinta mobilku. Tak ada yang boleh muntah di mobil ini, termasuk aku. Aku bersumpah demi Tuhan, jika kurusak interior mobilku, akan kutendang bokongku sendiri. Atau kuberi izin pada Naruto untuk melakukannya. Dia akan dengan senang hati menghajarku.

Akhirnya aku berhenti di jalan kecil menuju pesta di kabin milik Keluarga Nara, dan gugup yang kurasakan ini makin lama makin menjadi-jadi. Jantung berdegup kencang di dada, seperti akan meledak sewaktu-waktu. Jariku kesemutan dan aku mulai sakit perut, kepala pun terasa ringan. Aku tahu persis gejala apa ini, tapi sudah terlalu lama aku tidak mengalaminya lagi.

Aku mengalami serangan panik.

Aku parkir di belakang, jauh dari mobil lain. Kulirik kaca spion, mobil Karin terus berjalan mendekati kabin. Hampir sepanjang jalan menuju ke sini dia buntuti aku dan melihat mobil terkutuknya itu di kaca spion sama sekali tak membuatku rileks.

Aku sungguh gugup, karena aku tahu malam ini akan jadi titik perubahan. Membawa Sakura ke pesta ini sama saja dengan mengumumkan secara lantang hubungan kami, dan itu cukup menakutkan. Aku sudah bicara dengan saudaraku tentang hal ini sejak Natal, namun aku belum mengatakan apa pun pada Sakura, tapi kami semua yakin Ayah sudah tahu apa yang sedang terjadi. Kami tidak tahu kenapa Ayah belum bilang apa-apa atau permainan apa yang sebenarnya Ayah lakoni dengan bertindak seolah-olah tak menyadari ini semua. Entah Ayah berharap ada suatu kondisi terjadi secara alamiah yang mengakhiri ini semua, atau Ayah memang tidak keberatan, atau Ayah sedang dalam fase membohongi diri sendiri. Apapun alasannya, Ayah belum terang-terangan berkata, "hentikan omong kosong ini", sehingga aku merasa ada secercah harapan. Kuharap situasi takkan berubah jadi tak terkendali. Semoga kami bisa temukan keselarasan dan aku tidak perlu bertengkar hebat dengan Ayah. Karena faktanya, aku sudah terjerumus sangat dalam. Dan aku siap bertengkar dengan Ayah jika perlu. Aku takkkan kehilangan Sakura; takkan kubiarkan Ayah mengambilnya dariku. Aku telah kehilangan banyak hal dalam hidup - aku tak mau belajar hidup tanpa Sakura.

Kulirik Sakura. Dia jaga ekspresinya tetap tenang, tapi aku bisa lihat ada keraguan dan ketakutan di matanya. Aku bisa baca suasana hatinya dengan baik sekarang, tapi kuharap Sakura tidak pandai membacaku. Aku tak ingin Sakura melihat panik yang kurasa, karena itu hanya akan membuatnya tambah gelisah. Aku perlu mengendalikan diri sebelum serangan panik merajalela hingga aku sesak napas. Aku tengah berusaha membuat Sakura rileks agar kami bisa bersenang-senang, tapi jika dia lihat panik yang kurasa, dia mungkin akan pingsan.

"Kau siap?" tanyaku, mengusap paha Sakura dengan lembut. Sebagian dari diri ini berharap Sakura bilang tidak, memintaku untuk nyalakan lagi mobil dan bawa dia pulang, tapi aku tak ingin terang-terangan menyarankan hal itu padanya. Aku tak ingin memberi jalan mudah pada Sakura, karena ini hal yang harus kami hadapi dan aku lelah bersembunyi. Aku lelah berpura-pura jadi seseorang yang bukan aku. Aku perlu nyali untuk menghadapi hal ini dan aku tak mau kalah dengan ketakutan yang kubuat sendiri. Sakura sudah berubah dan aku ingin membantunya dalam proses itu, tak mau membuatnya mundur beberapa langkah hanya karena aku yang tak bisa berjalan ke pesta bersamanya.

"Ya, aku siap," jawab Sakura. Dia berusaha jadi pemberani dan itu membuatku bangga. Sakura sungguh tangguh, itu pasti. Aku turun dari mobil dan membantu Sakura keluar, memegang tangannya saat kami menuju pesta. Kulihat Karin saat kami mendekati kerumunan dan panik ini mulai membengkak lagi. Aku sadar saat aku muncul, orang-orang akan mengajakku mengobrol, memperlakukanku secara berlebihan, seolah-olah aku ini bangsawan, dan aku tak ingin membawa Sakura masuk ke dalam hal itu, aku tak mau Sakura harus berurusan dengan pertanyaan apakah kami berkencan atau tidak. Dan aku merasa seperti seorang bajingan karena telah berpikir begitu, tapi aku butuh waktu untuk menguatkan diri. Harus kubunuh serangan panik ini agar dapat cukup kuat mengekspos Sakura pada para bajingan di sini dan menunjukkan kasih sayang padanya secara terang-terangan, lalu melakukan hal-hal yang belum pernah kulakukan di depan orang banyak. Jadi kulepaskan tangan Sakura, karena itu pasti akan menarik banyak perhatian. Sakura langsung menempel padaku, tak ingin melepaskan tanganku, dan aku merasa bersalah. Gadisku sangat ketakutan, tapi aku tak dalam kondisi mampu untuk menghiburnya dan membuat permasalahan jadi lebih baik, tidak saat perutku masih jungkir balik begini dan aku mau pingsan.

One Warm WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang