15

19.9K 322 2
                                    

POV Rengga

"Sayang... kamu sudah bangun," ucapku serak.

Aku terduduk menatapnya yang masih memunggungiku. Aku lihat dia masih mengelusi perutnya. Membuat rasa bersalahku timbul menguasai pikiran dan hatiku.

"Sayang.." aku usap lengannya. Masih berusaha mendapat perhatiannya.

Aku lihat dia ingin bangkit. Langsung saja aku tata bantal dipunggungnya, agar dapat bersandar dengan nyaman. Kemudian dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Sayang tolong jangan seperti ini," kataku sendu. Aku usap air matanya yang jatuh. "Tolong jangan menangis, hukumlah aku semaumu," pintaku sendu. Aku gerakkan tangannya untuk menampar dan memukul wajahku.

"Mas hentikan," sergahnya pelan. Menepis tangannya yang aku genggam. Aku menatapnya sendu.

"Apakah kata maafku tak cukup, untuk menghilangkan amarahmu? Aku minta maaf sayang," aku jatuhkan kepalaku dipundaknya, hingga tak terasa air mataku mangalir.

"Aku maafkan," katanya lirih, hampir seperti bisikan. Namun masih terdengar olehku. Segera aku angkat wajahku menatapnya. "Aku maafkan Mas, sudah jangan menangis," ucapnya lembut. Aku meraihnya dalam pelukanku.

"Aku takut kamu meninggalkanku," kataku tepat disisi telinganya. Dia mengusap punggungku pelan. "Bella aku takut kehilanganmu, jangan mendiamkanku seperti ini," kataku memohon sambil tersendat karena isakan.

Kemudian lama kami terdiam dalam keheningan. Diam dengan pikiran masing-masing. Hingga dia meraih tanganku, lalu mengusapkan ke permukaan perutnya. Aku longgarkan pelukan dan menatapnya bingung.

"Mereka sudah merindukanmu lagi Mas," Ujarnya dengan seulas senyum.

Aku rasakan pergerakan dibawah kulitku lagi. Aku usap perlahan, menurunkan telingaku hingga sejajar dengan perutnya. Cukup lama hingga merasakan tendangan mereka.

"Awwwssshhh..." desis Bella. Lalu tangannya tidak tinggal diam, juga ikut mengelus permukaan perut yang masih terbungkus gaun.

"Hey anak-anak Papa jangan nakal ya didalam perut Mama", lalu kuhadiahi beberapa ciuman beruntun. "Maaf sudah merepotkanmu sayang," kataku lirih. "Dengan mengandung mereka pasti kamu sangat tersiksa," tuturku bersalah.

Bella menatap mataku lekat. Seakan mencari sesuatu, lalu yang kudapatkan senyuman bahagianya."Mereka juga anak-anaku Mas. Mereka ada karena kegigihanmu hem,"katanya. aku tersenyum mendengar ucapannya. "Aku bahagia dapat merasakan ini, karena diluar sana banyak wanita yang ingin ada diposisiku. Dan yang terpenting ada kamu yang menjaga kami," sambungnya. aku tersenyum kemudian membawanya dalam pelukanku.

"Terimakasih karena telah mau menerimaku," ucapku bersyukur.

"Aku juga Mas, kita sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kita hanya harus saling mengerti," katanya pelan.

"Sudah waktunya pulang, jangan sampai kamu melewatkan jam makan malammu," katanya. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban.

Beruntungnya, saat melihat dia tertidur pulas. Aku sudah menghubungi bibi dirumah untuk memasak.

"Tapi aku belum memasak Mas," katanya kawatir.

"Jangan cemas sayang," Aku cium keningnya sekilas. "Apakah masih sakit hem?" Dia hanya menggeleng.

Lalu kusingkap gaunnya dan mengelus perutnya. Mereka sudah lebih tenang tidak seaktif tadi batinku. Aku larikan tanganku mengusap intinya perlahan, diluar ekspektasi ternyata vagina istriku sudah basah.

"Mashh," desahnya.

Lalu aku masukkan jariku, memastikan apakah masih terasa sakit. Istriku semakin menggeliat keenakan.

"Ah, ah Mas..." desahnya lagi. Jemari aku tambah menjadi tiga. Menggodanya dengan tempo cepat. Dia menggeliat tak karuan "Mas..... aku ingin keluar uhhh." Aku lihat dia seakan tersiksa.

"Keluarkan saja sayang," perintahku.

Kemudian terasa cairan deras membasahi tanganku. Aku keluarkan jemariku dan melihatnya masih mengatur nafas akibat orgasme tadi.

"Sudah membaik ya?" tanyaku.

Dia mengangguk sebagai jawaban, dengan pipi bersemu. Aku jilati jemariku, hingga bersih dari cairannya. Dia hanya melihat dengan mata melebar. Aku genggam tangannya menuntunnya perlahan untuk turun.

"Hati-hati ya. Pelan saja oke," kataku pelan.

Dia hanya mengangguk, sambil memegangi perutnya yang menggantung. Aku peluk pinggangnya supaya dia tidak perlu kesusahan.

"Penyangga perutku Mas," ucapnya, sambil celingukan mencari benda tersebut.

"Ada aku yang membantumu, tidak perlu mengenakan benda itu sayang," dia cemberut tapi tetap menurutiku.

Aku dudukan dia perlahan ke sofa. Lalu memakaikan highells dan mengambil tasnya.

"Ayo perlahan saja," aku bantu dia berdiri. Sambil tetap memeluk pinggangnya erat. Sedangkan tangannya yang lain menyangga perut.

"Mas aku tidak sabar untuk pemeriksaan bulan depan," Ujarnya pelan terdengar antusias.

"Mas juga sayang," kataku. Sambil mengelusi sekitar punggunya, ketika berada di lift menuju lobi.

"Pasti berat badanku naik lagi," Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.

"Itu artinya mereka tumbuh dengan baik,"

Ketika dilobi aku peluk pinggangnya. Berjalan perlahan, sampai depan lobi tempat mobilku yang telah disiapkan. Aku bukakan pintu belakang, membantunya naik perlahan. Aku dengar dia meringis pelan, hah semakin hari mereka semakin aktif dalam perut mamanya batinku. Setelah selesai aku susul dengan mengambil tempat disebelahnya.

"Jalan pak, pelan-pelan hindari lubang ya sebisa mungkin," perintahku tegas.

"Baik tuan,"

Aku rapatkan diriku padanya. Lalu mengelus perutnya dari balik gaun. Dia hanya tersenyum menanggapi aksi tanggapku. Aku luruskan kakinya, agar lebih nyaman sambil tetap mengelus perut besarnya.

"Ehm Masss.." rintihnya lagi. Aku bergerak mengecupi perutnya.

"Anak-anaknya Papa yang anteng ya," ujarku berbisik.

For HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang