Seumur hidup, Hinata belum pernah mabuk.
Ia mati-matian menolak sake dan alkohol yang disodorkan seniornya dulu saat pesta penyambutan mahasiswa baru. Begitu pula saat jamuan guru dan pegawai waktu Hinata pertama kali bergabung dua tahun yang lalu. Setelah itu pun Hinata selalu berusaha mengganti diam-diam sake miliknya dengan soda saat acara keakraban.
Malam kemarin malam pertama kalinya Hinata mabuk. Juga malam pertama ia tidur dengan lelaki. Lebih-lebih ia terbangun dengan kondisi telanjang dan leher penuh ruam kemerahan.
Hinata mungkin masih perawan. Maksudnya, baru-baru ini masih perawan, tapi ia tahu pasti bahwa ruam kemerahan di leher dan dadanya adalah bukti bahwa mereka tidak hanya sekedar tidur bersebelahan semalam.
Ingatan kejadian semalam berkelebat dalam kepala Hinata. Ia ingat setiap detail waktu dan kejadian semalam. Wajah Hinata memerah karena malu. Ia tidak menyangka malam pertamanya jauh dari kata romantis. Tidak ada bunga, lilin aromaterapi, juga ruangan temaram.
Lelaki berambut hitam tertidur pulas di samping Hinata. Kulitnya putih, wajahnya tampan dengan hidung mancung dan bibir tipis. Bahunya bidang khas lelaki. Makin ke bawah, tiap lekuk tubuhnya dihiasi otot yang tampak kuat dan hm menggoda.
Pakaian mereka berserakan di lantai. Hinata tak berani memegang helai kain itu meskipun ia sendiri yang menanggalkannya semalam. Dengan tergesa-gesa Hinata memilih pakaian miliknya dan mengenakannya.
Uh! Bagaimana bisa Hinata tidur dengan lelaki setampan ini. Pasti lelaki itu juga mabuk semalam. Kalau tidak, mana mungkin dia mau tidur dengan perempuan culun yang gugup.
Hinata melirik jam dinding. Hari menunjukkan pukul 6 pagi di hari Minggu.
Kabar baiknya, Minggu adalah hari libur. Itu artinya ia tidak perlu tergesa-gesa menuju tempat kerja. Itu artinya, siapa pun pemuda di sebelahnya kini juga tidak perlu bangun cepat. Ini kesempatan baik. Lelaki itu masih tertidur. Hinata ingat betul mereka tidak sempat memperkenalkan nama satu sama lain semalam. Ini bagus. Hinata bisa kabur.
Hinata harus kabur.
.
.
.
"Kau harus datang, Sasuke. Kedai Homura jam 8 malam. Aku akan membawa file hasil penyidikan," suara Naruto terdengar dari seberang telpon."Antar ke kantor, Boke!" balas Sasuke kesal.
Naruto tertawa. "Kalau aku mengantarnya ke kantor, kau pasti tidak mau ikut kencan buta denganku," lanjut Naruto.
Sejak seminggu yang lalu Naruto sudah mulai merengek soal kerjaan mereka yang tak ada habisnya. Juga soal dia yang baru saja putus dengan Shion karena wanita itu tidak nyaman dengan Naruto yang selalu tidak ada waktu untuknya. Dengan dibumbui ajakan kencan buta dari Kiba, teman SMA mereka dulu, Naruto jadi ikut-ikutan ingin ikut kencan buta dan menyeret Sasuke dalam rencananya.
"Seumur hidup aku belum pernah melihatmu kencan, apalagi pacaran," ucap Naruto.
"Terus?"
"Kau homo?"
Tuduhan Naruto membuat Sasuke naik pitam. Homo? Demi Tuhan! Sasuke tentu masih suka perempuan, hanya saja ia belum menemukan perempuan yang ia suka. Perempuan di sekitarnya tampak cerewet, merepotkan, dan bar-bar di mata Sasuke.
"Kau harus ikut kencan buta hari ini, Sasuke! Kalau tidak akan kubuatkan laporan palsu kalau kau homo dan kulihatkan pada ibumu!" ancam Naruto.
Panggilan telpon terputus. Sasuke menghela nafas panjang.
"Naruto Boke!" teriaknya dalam hati.
.
.
.
Hari ini ada seorang guru baru di sekolah tempat Hinata mengajar. Dia adalah seorang guru olahraga yang bersemangat. Di hari pertamanya ia sudah berhasil akrab dengan guru-guru lain.

YOU ARE READING
Yours
FanfictionHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...