Keluarga Uchiha berbaik hati memberikannya sebuah kamar yang terpisah dengan kamar Sasuke. Setidaknya, Hinata bisa punya waktu untuk memikirkan banyak hal.
Mikoto tak bicara lagi soal ibu Hinata. Seolah Mikoto telah lama kenal dengan Hikari, tapi tak mau mengatakan apapun. Seolah Hikari adalah rahasia sekaligus kenangan yang hanya boleh Mikoto miliki tanpa berbagi bahkan pada sang putri.
Selain itu, reka kejadian saat ia menceritakan segalanya pada Sasuke terus berputar di kepalanya. Ia tak bisa berhenti mengingat perkataan Sasuke.
"Tak apa Hinata. Aku memaafkan masa lalumu."
Hinata tak habis pikir. Bagaimana bisa seseorang menerima masa lalunya yang bahkan Hinata sendiri sulit menerima. Bagaimana bisa ada orang yang dengan tulus menerimanya, dan mungkin juga mencintainya.
Sebuah perasaan baru yang asing menghampiri dada Hinata. Jelas perasaan asing ini membawa detak menyenangkan yang membuat gadis itu tak bisa berhenti tersenyum.
"Kau belum tidur?" Sebuah ketukan dan suara terdengar di pintu.
Hinata bangkit membukakan pintu. Sasuke, dengan kaus hitam dan celana kaus abu-abu berdiri sembari membawa dua cangkir minuman panas.
"Kau tak keberatan?"
Pertanyaan itu dijawab Hinata dengan pintu yang kian terbuka lebar. Sasuke masuk dan duduk di karpet bulu depan kasur. Ada meja kecil di sana, tempat Sasuke meletakkan coklat panas dan kopi hitam miliknya.
Hinata duduk bersandar ke kasur. Di mata Sasuke, ia terlihat jauh lebih santai sekarang. Seolah tembok yang membatasi mereka kini telah tak ada.
"Boleh aku duduk di sebelahmu?" Hinata mengangguk.
Sasuke duduk tepat di sebelah Hinata, tanpa jarak membatasi bahu mereka. Perempuan itu tampak tak keberatan.
"Ibumu baik. Ayahmu juga. Keluargamu baik, Sasuke," ujar Hinata.
Tangan kiri Sasuke meraih tangan kanan Hinata dan menggenggamnya sembari sesekali mengurutnya pelan. Bunga mekar di dada Sasuke. Bisa duduk bersama gadis yang ia cintai di kediamannya seolah adalah capaian terbesar dalam hidupnya.
"Kau tak risih dengan Ibu?"
"Tidak. Justru aku senang dipeluk Ibu."
"Kau senang dipeluk? Aku juga bisa peluk."
Wajah Hinata memerah. Sasuke tak tahan melihat ekspresi menggemaskan itu. Sekarang ia paham kenapa ada banyak remaja yang hamil di luar nikah. Bahkan ia, lelaki dewasa dengan loncatan hormon yang sudah lebih tenang, tetap sulit mengendalikan diri.
"Aku tak tahu. Mungkin aku senang dipeluk, mungkin juga tidak. Tak ada orang yang memelukku di Hyuuga."
Perkataan Hinata barusan membuat mood Sasuke berubah sendu. Ia ingin memeluk Hinata. Ia ingin memberikan semua kenyamanan yang bisa perempuan itu terima.
Kedua tangan Sasuke melingkari tubuh Hinata. Dengan gerakan lambat dan hati-hati jemarinya menyisir surai indigo sang Hyuuga. Kehangatan tubuh mereka berbaur. Hinata samar-samar bisa mencium aroma sabun si bungsu Uchiha.
Nyaman.
Hanya satu kata itu yang muncul di kepala Hinata.
Ia membiarkan dirinya melebur dengan kenyamanan itu. Membiarkan kepalanya mencari lekukan ternyaman di bahu Sasuke. Membiarkan dirinya berlabuh pada rasa kantuk yang datang.
Coklat hangat masih sisa separuh di meja. Pemiliknya sudah tertidur di pelukan pemilik cangkir kopi yang tinggal ampas.
Sasuke mengangkat Hinata menuju kasur, menyelimutinya, dan tidak lupa mengecup dahi mendoakan agar perempuan itu tidur nyeyak.
Setelah membereskan dua cangkir di meja, Sasuke meninggalkan kamar. Ada Itachi di sana, berdiri dengan kedua tangan bersedekap.
"Kita perlu bicara, Sasuke," ujar Itachi dengan wajah serius.
.
.
.
"Sebagai kakakmu, aku bahagia dengan kehamilan Hinata. Akan tetapi, sebagai Presdir Uchiha Corp, kabar ini jelas bukan kabar bahagia," Itachi membuka percakapan.Keduanya duduk berhadapan di meja taman yang sedikit lembab. Suasana malam yang sunyi membuat mereka tak perlu mengeraskan suara untuk dapat saling mendengar.
Jelas Sasuke paham bahwa ada konsekuensi dari setiap hal. Kehamilan Hinata telah nyata berada di depan matanya, kini tinggal bagaimana mereka menghadapi konsekuensi yang akan datang.
"Kau bisa mengusulkan Hinata untuk resign sebelum kabar kehamilannya tersebar di sekolah. Bisa gawat kalau ada berita guru hamil di luar nikah dari sekolah kita," tambah Itachi.
Sasuke setuju betul dengan usulan ini. Pertanyaannya, apakah Hinata akan mengamini? Sasuke tahu betapa bahagianya Hinata bisa mengajar. Sasuke tak tega merenggut kebahagiaan milik wanita indigo itu.
"Kalau ia menolak, suruh ajukan cuti saja. Setelah kalian menikah dan anakmu cukup besar, Hinata bisa kembali bekerja," tambah Itachi. Sepertinya ia bisa membaca keraguan di kening Sasuke.
"Akan kucoba bicara," jawab Sasuke singkat.
Itachi mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Dengan gerakan cepat ia menyelipkan sebatang rokok di bibirnya dan kemudian mematik korek. Sebuah nyala merah kecil menyala di gelapnya malam yang hanya bertemankan pendar lampu taman.
"Kupikir istrimu benci kau merokok," sindir Sasuke.
"Istriku benci aku merokok di depannya, otouto. Dia tak ada di sini sekarang," balas Itachi setengah tertawa.
"Hinata juga tak suka aku merokok." Sasuke baru menyesal saat ucapan itu sudah terlontar dari bibirnya. Ia bisa melihat tatapan jahil Itachi yang super duper menyebalkan.
"Hoo, makanya kau sudah tidak merokok akhir-akhir ini," gumam Itachi. Ia sengaja menghirup dalam sebelum menghembuskan asap rokok itu tepat di depan wajah Sasuke.
Mereka saling mengumpat lagi, dalam suasana jahil-menjahili khas saudara. Sasuke sedikit banyaknya lega bisa sedikit bersantai di tengah gempuran banyal hal yang membuatnya sakit kepala.
"Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah?"
Wajah Sasuke berubah sendu. Meski sudah mau tinggal di kediaman Uchiha, Hinata masih menolak menikah dengannya.
.
.
.
Dorongan tak menyenangkan dari perutnya membuat Hinata tersintak. Ia bergegas berlari menuju kamar mandi, membuka tutup kloset, dan memuntahkan semua isi perutnya.Setelah cukup lega, Hinata menggosok gigi dan kembali ke kamar. Ia ingat ia tengah berbincang dengan Sasuke saat ia ketiduran di bahu lelaki itu.
Memalukan sekali. Ingin rasanya Hinata menyembunyikan kepalanya di bawah tanah seperti burung unta.
Kembali ke kamar, tidak ada siapa pun. Sasuke memang sudah bilang bahwa kamarnya ada di sebelah kamar Hinata. Lelaki itu baik. Orang baik yang tidak punya alasan justru adalah orang paling menakutkan. Kenapa? Apa yang ia inginkan dari Hinata sebagai balasan?
Sinar pagi merangkak masuk melalui jendela. Kian terang, kian hangat. Jika lelaki itu bisa memaafkan masa lalu Hinata, kenapa ia malah terjebak dalam masa lalunya sendiri?
Bisakah seseorang bahagia meskipun memiliki masa lalu yang kelam. Apa ia berhak memiliki seorang suami, memiliki anak, juga memiliki kebahagiaan? Kasihan sekali anak di dalam perutnya harus lahir dari seorang ibu sepertinya.
Mual kembali mendera. Lebih dahsyat dari sebelumnya. Kali ini, Hinata berharap ada seorang lelaki yang mengusap punggungnya.
"Apa aku terima saja lamarannya ya?" gumam Hinata di sela-sela gelombang morning sickness itu. Ia merasa mulai tak waras.
.
.
.
To be continuedHai hai semua
Lama tak jumpa. Mohon doanya ya choco sedang proses pindah tempat kerja jadi lumayan hectic buat nyari waktu luang.Terima kasih buat yang masih setia nungguin Yours
Sampai jumpa lagi 😘
YOU ARE READING
Yours
Fiksi PenggemarHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...