Lee, guru lelaki dengan senyuman lebar menarik kursi di depan Hinata dan langsung duduk meskipun belum dipersilahkan. Dia mengaku kaget bertemu dengan Hinata di kafe. Lee-sensei bilang bahwa ia pikir hanya bisa menemukan Hinata di perpustakaan atau toko buku yang tenang, bukan kedai kopi yang riuh.
Hinata tertawa sopan mendengar ucapan Lee. Gadis itu balik bertanya, ada urusan apa yang membuat si guru olahraga datang ke teacoffee sore ini.
"Sebenarnya, aku ada kencan buta. Karena terlalu gugup aku malah jadi datang lebih awal," Lee malu-malu mengaku.
Hinata bingung bagaimana harus menanggapi hal seperti ini.
"Kau sedang menunggu seseorang?" Lee bertanya setelah memanggil seorang pelayan dan memesan secangkir teh herbal.
Ya. Hinata tengah menunggu seseorang. Jelas. Dia buka tipe perempuan yang senang nongkrong saat weekend.
"Apa kau menunggu pacarmu?" tanya Lee, bahkan sebelum Hinata menjawab pertanyaannya yang barusan.
"Bukan. Aku hanya sedang menunggu teman," jawab Hinata tegas.
"Hoo teman," ujar Lee tampak curiga, "laki-laki?"
Hinata tidak menjawab. Dia melihat ponselnya dan sebuah pesan dari lelaki bersurai onyx.
Maaf hari ini aku tak bisa datang. Kita tukar jadwal saja minggu depan.
.
.
.
Lee tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat Hinata menghentak meja dan pergi begitu saja dari teacoffee."Apa dia sedang mens? Perempuan mengerikan," ujar Lee pada dirinya sendiri.
Tak lama, teman satu kompleks Lee datang dengan empat orang asing lainnya. Tiga orang perempuan dan satu orang lelaki. Secara refleks Lee melambaikan tangan yang langsung dibalas Kiba oleh lambaian tangan pula.
Rombongan itu duduk di meja yang telah Lee duduki. Cangkir teh milik Hinata masih terletak di sana, membuat Kiba bertanya.
"Aku barusan dengan teman kerjaku," jawab Lee cengengesan.
Salah seorang perempuan berambut pink tampak tak senang. Dia berkali-kali menghentakkan kaki dan memeriksa ponselnya, seolah berharap ada pesan atau pun panggilan yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini.
"Kiba, aku mau pulang saja. Aku pikir temanmu yang kemaren datang," keluh gadis itu.
"Sabar Sakura. Kan tujuannya kita berkumpul juga untuk bersosialisasi. Kalau untung jadi jodoh, kalau tidak ya baiknya jadi teman," Kiba balas berpendapat.
Pendapat Kiba agaknya tak dihiraukan oleh Sakura. Tanpa basa-basi perempuan itu meninggalkan kafe. Suasana lalu canggung.
"Bagaimana kalau kita perkenalan saja?" Kiba mengusulkan. Lelaki itu pertama kali mengenalkan diri, lalu dilanjut Lee.
"Aku Akasuna Sasori. Aku baru saja pindah minggu lalu ke Konoha untuk tinggal bersama kakek dan nenek. Aku sekarang bekerja di toko buku Hanma," lelaki bersurai merah memperkenalkan diri.
Dua orang perempuan juga menyebutkan nama mereka. Satunya perempuan 20 tahun yang kerja part time bernama Ame dan perempuan 25 tahun bersurai hitam panjang bernama Yui.
"Ngomong-ngomong, kalian tahu kasus pembunuhan berantai yang sedang trend belakangan ini?" Sasori membuka obrolan.
Mereka hanyut dalam percakapan yang kalau diteliti lagi sama sekali tidak cocok untuk kencan buta.
.
.
.
Perempuan hamil gampang menangis.Pernyataan itu menjadi tameng Hinata sebagai pembenaran pada dirinya sendiri mengapa ia menangis dengan seorang diri dalam apartemen dengan lampu tidak menyala.
Seusai pesan yang hanya berisi 2 kalimat itu datang, Hinata tidak fokus lagi pada apa pun. Dalam kepalanya, si surai indigo itu hanya ingin lekas pulang dan menangis lepas. Dan, itulah yang kini ia lakukan. Di atas kasur, memeluk bantal, serta menyalakan tv dengan suara keras.
Air mata dan sesegukan Hinata masih belum usai. Ia bahkan telah pergi ke dapur mengambil roti tawar dan selai, memakan sesuap dua suap, meminum air, dan masih saja menangis.
Dada Hinata sesak. Ia merasa bodoh.
Bukankah ia sendiri yang bilang bahwa ini anaknya. Anaknya seorang diri. Ia tidak akan menuntut lelaki itu menjadi ibu. Hinata hanya ingin menyampaikan hal demikian saat mereka bertemu.
Akan tetapi, pertemuan yang lelaki itu minta tidak pernah terjadi. Ia bilang ia akan datang dan menunggu berapa lama pun sampai Hinata datang. Nyatanya, justru Hinata yang harus menunggu hampir dua jam sampai dengan pesan berisi dua kalimat itu datang.
Perempuan hamil gampang menangis.
Itu pula yang menjadi tameng Hinata saat kenangan-kenangan buruk masa lalunya datang tanpa diundang.
Dalam kelapa Hinata, semesta masa lalu terjadi berulang tiap kali ia merasa sudah hampir melupakan. Hinata mengingat hujan, juga taman, juga tamparan, juga pemakaman.
Di antara itu semua, ia melihat sosok ibunya. Perempuan bersurai indigo, dengan mata beriris hitam, lesung pipi, dan bibir merah merona.
Semesta dalam kepala perempuan adalah rahasia yang mereka simpan rapat-rapat, namun selalu menemukan cara keluar walau dari celah terkecil sekali pun. Ingatan, kenangan, perasaan, berbaur dalam gradasi warna tidak menentu.
Hinata masih menangis, meski tidak lagi sesegukan. Ia kemudian menarik selimut dan memutuskan tidur.
.
.
.
"Brengsek!" Umpat Naruto. Di hadapannya, sebuah kertas usang dengan tempelan kertas warna-warni menjadi pusat perhatian.Hari ketujuh investasi. Tersangka pembunuhan dengan berani, atau mungkin bodoh, mengirimkan surat ancaman.
Isinya pendek saja : akan ada satu orang lagi yang mati malam ini.
Jelas pesan macam ini menimbulkan kepanikan luar biasa di kepolisian. Tanpa petunjuk apa pun yang mengarah ke pelaku, tiba-tiba saja sepucuk surat ancaman datang.
"Cih! Angkuh sekali," desis Sasuke.
Seluruh petugas di ruangan itu jelas punya pemikiran yang sama. Dasar pembunuh angkuh! Mengirim surat ancaman ke kepolisian sama saja dengan menantang kepolisian. Fakta ini membuat darah mendidih memacu adrenalin.
"Apa petunjuk yang kita punya?" tanya Sasuke pada Sai.
"Sejauh ini semua korban perempuan usia dewasa awal berambut hitam legam panjang," jawab Sai.
"Hee!!! Ini Konoha! 80% masyarakat berambut hitam. Memangnya kita mau melindungi semua perempuan berambut hitam malam ini?" keluh Konohamaru.
Jiraiya dan Naruto tertawa, membuat Konohamaru bingung. "Dasar amatiran!" ejek Naruto.
"Apa maksudnya?" balas Konohamaru tidak terima.
"Kita tinggal membuat pengumuman di berita tv dan sosial media agar malam ini semua orang dengan ciri tersebut lebih berhati-hati," jawab Naruto.
Ucapan Naruto benar. Namun, di satu sisi, pengumuman ke publik bisa membuat masyarakat panik.
Sasuke menimbang banyak hal. Tak ada cara lain. Terlebih saat kepolisian tak punya petunjuk apa pun tentang pelaku.
"Panggil stasiun tv dan minta tim humas membuat flyer sekarang," perintah Sasuke.
Lelaki onyx menatap ponselnya. Ia ingat ada janji dengan Hinata. Jelas, perempuan indigo dan bayi dalam perutnya begitu berharga bagi Sasuke. Namun, pertemuan ini masih bisa ditunda kan?
Malam ini seseorang tidak boleh mati. Ini penting.
Maaf hari ini aku tak bisa datang. Kita tukar jadwal saja minggu depan, Sasuke mengetik di layar.
.
.
.To be continued
Hai hai
Lama tak jumpa
Akhirnya choco bisa sedikit bernafas lega dan ada waktu buat ngetik chapter iniHohoho. Semoga terhibur
See you next time!!! 😘
YOU ARE READING
Yours
FanficHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...