Sasuke tak bisa membohongi perasannya. Melihat perempuan yang tengah mengandung benih cintanya menangis, membuat Sasuke tak henti-hentinya mengutuk dalam hati.
Ia laki-laki, ia seorang kepala polisi, dan sebentar lagi ia akan menjadi ayah.
Kenapa ia merasa sangat lemah?
Serine mobil polisi kian terdengar jelas. Beberapa unit yang telah sampai langsung diperintahkan Sasuke untuk menyisir apartemen bersama Naruto dan Kakashi.
Lelaki Uchiha itu menyampirkan selimut kecil yang dibawakan bawahannya ke bahu Hinata. Hyuuga yang gemetaran itu menurut saja saat Sasuke menuntunnya memasuki mobil.
Sesaat setelah pintu mobil tertutup, Hinata merasa jauh lebih aman. Suara serine mobil, interkom polisi, juga langkah kaki yang berat teredam. Seolah ia telah berhasil menjauh dari keributan itu.
Ritme jantung Hinata kian stabil meskipun wajahnya masih semerah kepiting rebus. Ia tak menyangka akan menangis di hadapan lelaki Uchiha. Ia tak menyangka ia akan terlihat konyol di hadapan laki-laki itu.
"Maaf," ujar Sasuke.
Kenapa? Hinata tak mengerti. Lelaki itu tak seharusnya minta maaf.
"Terima kasih," ujar Hinata.
Kenapa? Sasuke tak mengerti. Perempuan itu tak seharusnya berterima kasih.
Onyx dan lavender bertemu dalam sebuah pertukaran rasa penasaran yang meledak-ledak.
.
.
.
"Darimana saja kamu, Sasori?" Nenek Chiyo berlari menghampiri cucunya yang baru saja pulang.Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Nenek tua itu tetap bersikeras menunggui cucunya pulang hanya untuk mendapati sebuah bentakan.
"Tak usah kau bertanya apa pun!"
Pintu dibanting. Nenek Chiyo yang sedih hanya bisa menundukkan kepala. Di lantai, samar karena matanya yang berair, ia bisa melihat bercak darah yang mengekor dari ransel Sasori.
"Tuhan! Kumohon jangan lagi!" desah nenek tua itu.
Dari dalam kamar, Sasori bisa mendengar semuanya dengan jelas. Neneknya menangis. Lagi.
Menyebalkan sekali. Padahal hari ini ia baru saja mendapat sebuah sumber kebahagiaan baru.
Sasori memang gagal mendapatkan rambut yang telah ia incar. Sial memang aksinya ketahuan cepat. Tapi itu semua terbayarkan saat ia mengingat surat hitam keunguan dari perempuan beriris mata perak yang memergokinya.
Rambut perempuan itu terlihat mengkilat. Saat di tempat gelap, warnanya pekat hitam layaknya malam. Saat di bawah cahaya, warnanya keunguan lembut. Rambut yang indah. Rambut yang cocok untuk boneka masterpiece buatan Sasori.
Siapa ya namanya? Sasori mencoba mengingat-ingat.
Sudahlah. Toh, dia tahu di mana perempuan itu tinggal. Semoga dia tak pindah karena kejadian hari ini. Semoga seminggu dua minggu lagi polisi sudah tak mengawasi apartemen itu lagi.
"Semoga kita bertemu lagi," ujar Sasori dengan senyum merekah di wajahnya.
.
.
.
Neji datang lima belas menit saat Hinata, atas desakan Sasuke, mengirim pesan memberitahukan apa yang baru saja menimpanya. Pemuda itu tampak masih mengenakan jas. Barangkali masih di kantor saat pesan itu datang."Kau tak apa, Hinata?" tanyanya khawatir.
Hinata mengangguk, mencoba memberikan senyum terbaik yang bisa ia tunjukkan sekarang.
"Uchiha Sasuke," ujar Sasuke sembari mengulurkan tangannya pada Neji.
Neji membalas salam Sasuke. Menggenggam tangan itu sambil membalas memberitahu namanya.
YOU ARE READING
Yours
FanficHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...