Uchiha Itachi terlompat dari kursi kerjanya saat putri tunggal kesayangannya terisak di sambungan telepon yang dia terima siang ini. Putri kecilnya yang cengeng saat balita, sudah tidak pernah menangis tanpa sebab semenjak ia beranjak remaja.
"Otou-san, aku sudah membuat kesalahan besar. Aku takut," isak Megumi.
Kepala Itachi berdenyut. Kesalahan apa yang diperbuat anaknya hingga ia menangis seperti ini. Terakhir kali ia menangis seperti ini karena menghilangkan gelang emas yang akan diberikan Itachi pada Izumi untuk peringatan pernikahan mereka yang ke-18. Apa lagi yang anaknya hilangkan?
"Megu, coba cerita pelan-pelan ke Tou-san. Ada apa?"
"Hinata-san!"
Ada apa dengan Hinata? Perempuan itu sedang hamil. Apa ada masalah? Pendarahan? Keguguran? Atau jangan-jangan...
"Satu sekolah tahu soal kehamilan Hinata-san dan aku rasa ini salahku," isak Megumi.
Itachi bangkit dari kursinya sesaat setelah meyakinkan Megumi untuk tidak menangis dan berjanji akan segera datang ke sekolah. Ponselnya mengeluarkan suara lelaki menandakan panggilannya telah terhubung dengan Sasuke.
"Hn?"
"Sebaiknya kau segera ke sekolah. Ada kabar kurang baik."
"Apa maksudmu?"
"Hinata. Megumi bilang berita kehamilannya sudah tersebar."
Itachi tak lagi mendengar suara apa pun dari panggilan telepon. Lelaki itu yakin adiknya kini tengah bergegas seperti dirinya.
.
.
.
"Kau bisa pakai kamar mandi ini, Hinata-san. Aku akan pinjamkan baju adikku untuk kau pakai."Hinata merasa bodoh mengikuti lelaki yang hanya ia temui sesekali di toko buku ke rumahnya. Awalnya, Hinata pikir Sasori akan membawanya ke Toko Buku Hanma. Ada Nenek Chiyo dan suaminya disana, setahu Hinata. Rupanya lelaki bersurai merah itu malah membawanya ke sebuah apartemen sepi tak jauh dari sekolah yang ia sebut rumahnya.
Hinata ragu melangkah masuk. Adik yang Sasori bilang tidak ada di rumah. Malah, tidak ada foto keluarga sama sekali terpajang di dinding. Apartemen itu terlihat kosong. Bahkan tidak ada piring dan gelas di dapur. Bagaimana mungkin ada keluarga yang bisa hidup tanpa piring dan gelas.
Keraguan itu Hinata nafikan saat rambutnya kian terasa lepek dan ia makin kedinginan. Dia pernah melihat ada siswi yang dibully seperti ini. Dilempari telur busuk, air got, juga tepung. Dulu Hinata hanya melihat, tidak berniat ikut campur. Baru kini ia merasa bersalah tidak menawarkan bantuan pada teman satu sekolahnya itu. Sasori sudah berbaik hati menolongnya. Hinata memarahi dirinya sendiri karena sempat curiga.
Untunglah ada air hangat tersedia. Hinata membuka pakaiannya, mencoba menyingkirkan cangkang telur dan tepung yang telah menggumpal di rambutnya. Sekalian Hinata mencuci pakaiannya agar bisa ia bawa pulang. Rasanya ia mandi sangat lama. Saat mengintip ke luar, di depan pintu sudah tersedia baju kaus dan celana pendek yang dilipat di atas kursi.
Hinata keluar malu-malu, mengenakan pakaian yang dipinjamkan Sasori padanya. Lelaki itu rupanya tengah membuka bungkusan makanan yang sepertinya dia pesan online.
"Kau lapar? Aku sudah pesan makanan," ujar Sasori.
"Ah, tidak usah. Aku sudah banyak merepotkan. Kalau boleh aku minta kantong plastik untuk baju basahku. Aku akan langsung pulang," jawab Hinata.
Sasori menggeleng. Ia menuntun Hinata menuju meja sofa dan memberikan sumpit ke tangan gadis itu.
"Makanlah. Aku tak bisa menghabiskan semua makanan ini sendirian."
Dengan rasa sungkan, Hinata menyamankan duduk di sofa itu. Ia ikut menyuap makanan saat Sasori mulai makan. Pria itu menyodorkan makanan sebanyak yang ia bisa ke piring kertas yang Hinata pegang.
![](https://img.wattpad.com/cover/269401102-288-k713148.jpg)
YOU ARE READING
Yours
FanficHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...