Baru kali ini Hinata terbangun dan mendapati wajah-wajah tak asing mengelilinginya. Ada ayahnya di sana. Lelaki tua masih terlihat gagah dan berwibawa meskipun ada kantung mata bersarang di bawah matanya yang berwarna sama persis dengan mata Hinata. Tak jauh dari ayahnya berdiri Uchiha Itachi, Uchiha Fugaku, dan Uchiha Mikoto.
Paling dekat dengannya, Hinata bisa melihat perempuan berambut merah muda dengan kecantikan yang tidak tertutupi masker medis yang kini ia kenakan. Dari pakaian dan stetoskop yang menggantung di leher sang perempuan merah muda, Hinata sudah bisa menebak.
"Kau bisa mendengarku, Hinata-san?" tanya sang dokter.
Hinata hendak menjawab, tapi kerongkongannya terasa perih dan kering. Suaranya tidak keluar sebagaimana biasa. Hanya bunyi-bunyi lemah dan tak konstan yang bisa keluar dari mulutnya.
"Perlu waktu sampai tenggorokanmu kembali seperti biasa. Untuk sementara waktu lebih baik kau tidak usah bicara terlebih dahulu," lanjut sang dokter.
Tangannya cekatan menyentuh beberapa bagian tubuh Hinata. Menyuruh Hinata mengangguk dan menggeleng dari setiap pertanyaan yang ia lontarkan.
"Apa kepalamu masih sakit?" Hinata mengangguk.
"Apa perutmu sakit?" Hinata mengangguk.
Sakura meminta Hinata menggerakkan tangan dan kakinya lewat sejumlah instruksi sederhana. Hinata selalu berhasil melakukan arahan Sakura. Perempuan itu tersenyum.
"Sepertinya tidak ada efek samping. Rasa tidak nyaman di perut dan kepala akan perlahan hilang. Yang terpenting sekarang memperbanyak urinasi agar sisa-sisa zat racun bisa keluar dari tubuh. Perawat akan datang memberi obat nanti. Kau harus semangat, Hinata-san. Saya pamit dahulu," ujar Sakura.
Perginya sang dokter dari ruangan membuat suasana berubah canggung. Hinata masih ingat dengan jelas saat ia muntah darah karena Sasori memberinya racun. Ia ingat ada Neji dan Sasuke waktu itu. Kemana mereka? Kenapa hanya ada ayahnya dan keluarga Sasuke.
"Kau tak apa?" Hyuuga Hiashi pertama kali buka suara.
Lelaki tua itu berjalan mendekati Hinata. Tangannya meraih surai hitam sang putri. Ia merasa lega putrinya kembali siuman setelah kabar buruk sampai kepadanya.
Hinata mengangguk. Sudah lama ia dan ayahnya tak bertemu dalam situasi hangat dan nyaman. Elusan sang ayah di puncak kepalanya menimbulkan perasaan nostalgia yang menyenangkan.
"Syukurlah kau selamat," isak Hiashi. Lelaki tua itu memeluk sang putri dengan erat.
Mikoto ikut meneteskan air mata. Bagaimana pun juga ia sudah menganggap Hinata layaknya anak. Ia bersyukur perempuan yang dicintai putra bungsunya selamat. Ia bersyukur setidaknya Hinata selamat.
"Lekaslah sehat. Kita harus pulang," ujar Hiashi menghapus air mata dari wajah sang putri.
.
.
.
Neji menghantam Sasuke sesaat setelah lelaki itu menginjakkan kaki di rumah sakit. Lelaki dengan tatapan kosong dan wajah datar itu tidak merespon apa pun yang Neji lakukan. Ia seolah berada dalam sebuah ruang kosong yang tak bisa dimasuki siapa pun. Barulah saat nama Hinata sampai ke telinganya, raut wajah lelaki itu berubah.Ada seberkas cahaya yang timbul dari mata onyx Sasuke saat nama Hinata disebut. Seolah-olah nama itu bisa menariknya dari kolam kelam perasaan yang muncul akibat kejadian barusan.
Sasuke menjerit. Hatinya hancur akibat harapan yang remuk lewat pengakuan Sasori. Tidak ada penawar untuk Hinata. Ia akan kehilangan cahaya yang dari dulu ia idam-idamkan.
Konohamaru tak menyangka Sasuke tiba-tiba berdiri dan menodongkan pistolnya ke arah Sasori.
Suara menggeledar membuat Sasori serasa sakit jantung. Suara itu beruntut bersamaan dengan rentetan peluru yang menghantam tubuh Sasori. Nyawa tampaknya telah meninggalkan tubuh Sasori, namun Sasuke masih terus menarik pelatuk. Bahkan, saat peluru habis dan tak ada lagi yang bisa dimuntahkan pistol itu, Sasuke masih tetap mencoba menembak. Lutut Konohamaru gemetaran. Ia tak pernah melihat pembunuhan, tidak, pembantaian sesadis ini.
"Hentikan, Sasuke!" Kakashi dan Jiraiya menarik tubuh sang kepala polisi.
Sasuke menurut. Pistolnya ia lepaskan begitu saja ke tanah. Di wajahnya jelas tampak dendam yang belum padam.
"Pelaku melarikan diri dan mencoba menyakiti perwira polisi. Pelaku di tembak mati di tempat karena mencoba melawan. Tulis laporan seperti itu," perintah Sasuke.
Lelaki itu melangkah pergi. Ia ingin pergi dari sini secepatnya. Ia ingin bergegas meninggalkan Sasori dan segala kehancuran yang ia bawa untuk Sasuke.
"Biar kuantar ke rumah sakit," tukas Kakashi. Jiraiya mengangguk. Mengatakan bahwa ia dan Konohamaru yang akan mengurus Sasori.
Kini, saat Sasuke berhadapan dengan Neji dan Naruto, ia kembali dihadapkan dengan realita menyakitkan di depan mata.
"Apa yang terjadi, Sasuke?" tanya Naruto. Ia melerai Neji saat merasa Sasuke sudah cukup bonyok.
"Tidak ada. Bajingan itu bilang kalau dari awal obat penawar itu tidak pernah ada."
Naruto menghela nafas panjang. Di belakangnya Neji mengumpat. Mereka sama kesalnya dengan Sasuke.
"Maaf."
Ucapan yang terlontar dari mulut Sasuke membuat orang-orang itu terkejut. Kenapa pula Sasuke yang meminta maaf? Mereka melihat perjuangan Sasuke yang mati-matian demi Hinata.
"Ini bukan salahmu, Teme!" ujar Naruto setengah berteriak. Dia tak ingin sahabatnya ini menyalahkan diri sendiri. Kalau pun ada yang patut disalahkan, maka ini semua salah Sasori. Sasuke dan Hinata hanya korban dari tragedi ini.
"Sakura bilang ia sudah memberikan penawar racun pada Hinata di detik-detik terakhir. Hinata selamat. Setidaknya, kau harus menyukuri itu," ujar Neji meninggalkan dua pemuda itu.
Dalam hati Sasuke, ia masih belum bisa menerima kenyataan ini. Anaknya menjadi korban dari penjahat yang seharusnya bisa ia tangkap lebih cepat. Andai saja...
"Masuklah. Hinata sudah siuman," ujar Naruto menepuk bahu Sasuke.
Apakah ia boleh menemui Hinata setelah semua yang terjadi?
.
.
.
Hinata kembali tertidur dan terbangun berkali-kali akibat pengaruh obat dan ia masih belum melihat Sasuke sampai saat ini. Uchiha Mikoto mendampinginya layaknya ibu sendiri. Perempuan cantik di usia senja itu menyuapi Hinata, bahkan menemaninya ke kamar mandi.Sesekali Fugaku, Itachi, dan Izumi datang menjenguk untuk menggantikan Mikoto agar bisa beristirahat. Selama itu pula Hyuuga Hiashi tetap diam memandang keluarga Uchiha dengan tatapan penuh kebencian.
Putrinya hamil di luar nikah. Anak dari bungsu Uchiha. Berita memalukan itu tampaknya dianggap berita gembira bagi keluarga Uchiha. Jika saja mendapati berita itu bukan dalam kondisi seperti ini, Hiashi pasti sudah mengamuk dan menyeret putrinya pulang.
Lebih-lebih saat mendengar Hinata diculik oleh pembunuh berantai yang menggemparkan Konoha akhir-akhir ini. Uchiha Sasuke, cecunguk yang menghamili Hinata, terlibat. Ia menyesal pernah menundukkan kepala pada pemuda itu karna menyangka Sasuke telah menyelamatkan putrinya. Rupanya lelaki itulah yang menyeret putrinya lebih dalam pada kubang kesengsaraan.
Hinata tidak bodoh. Saat baru saja sadar dan begitu lemah, ia pikir basah di bagian kemaluannya adalah urin akibat obat penetralisir racun. Barulah saat ia sudah bisa bangun, ia terkejut melihat darah di sana.
Tidak ada seorang pun yang terang-terangan bilang. Tidak ayahnya, tidak pula keluarga Uchiha. Bahkan Sasuke belum menemuinya hingga kini. Tanpa kata pun, Hinata telah mengerti.
Ia telah kehilangan anaknya. Ia seorang perempuan yang gagal menjadi ibu.
"Aku ingin bertemu Sasuke," ujar Hinata pada Mikoto.
"Tidak. Kita akan kembali ke kediaman Hyuuga saat kau sembuh. Kau sudah tidak perlu lagi berurusan dengan Uchiha!" tukas Hiashi.
Hinata dan Mikoto tampak tak peduli. Perempuan tua itu kembali meneteskan air mata. Ia berjanji Sasuke akan segera datang dan menjelaskan semuanya pada Hinata. Mikoto berharap cahaya penuh kelembutan ini tidak pergi dari kehidupan putra bungsunya.
.
.
.
To be continuedChapter berikutnya update besok malam ya 😁 see you 😘
YOU ARE READING
Yours
FanfictionHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...