Hinata sama sekali tak merasakan sakit di tubuhnya sampai dengan ia tak kuasa menahan rasa sesak di dada yang membuatnya batuk darah. Tenggorokannya rasa terbakar dan ia sama sekali tak bisa bicara.
Wajah Sasuke terlihat ketakutan. Hinata melihat ekspresi yang sama saat ia menjadi saksi pembunuhan di apartemennya dulu. Siapa sangka kali ini Hinata kembali melihat lelaki itu memasang raut wajah menyedihkan. Hinata tak suka.
"Kau tak apa?" Neji memegangi bahu Hinata, menahan agar badannya tidak jatuh ke lantai.
Hinata tak begitu ingat dengan jelas. Ia merasa penglihatannya kabur. Sebelum ia benar-benar tertidur, ia merasakan badannya diangkat entah kemana. Lalu terdengar serine ambulans.
Paramedis yang bertugas di ambulans mencoba memberikan bantuan lewat selang oksigen untuk memudahkan perempuan itu bernafas. Di sebelahnya, dua orang berseragam lengkap kepolisian menemani. Garis yang naik turun di monitor tak lepas dari pandangan mereka.
"Kalian tahu racun apa yang diminumnya?" paramedis itu bertanya.
"Pelakunya bilang ini racun racikannya," jawab Naruto.
Paramedis itu tampak bercakap dengan dokter di sambungan telpon. Membahas vital pasien dan langkah pengobatan selanjutnya.
Mereka sampai di rumah sakit. Disambut oleh perempuan berambut gulali yang Naruto kenal.
"Sakura?" ujar Naruto setengah tak percaya.
Perempuan berambut pink itu tak terlalu mempedulikan Naruto. Ia langsung melompat mengiringi ranjang beroda yang bergerak menuju ICU. Sai bergegas melapor.
Banyak racun dengan gejala muntah darah. Sakura memeriksa ciri-ciri lain yang mungkin saja bisa membantunya mengidentifikasi racun itu. Sai bilang reaksi fatalnya bakal berlangsung kurang dari 30 menit. Waktu mereka tak panjang. Hasil scan tubuh terasa sangat lama keluar karena harus berpacu dengan waktu.
Sakura dan beberapa dokter lainnya memeriksa hasil scan itu. Mereka berbincang tergesa. Tak lama, semua mengangguk.
"Kami punya kabar baik dan juga punya kabar buruk," jelas perempuan gulali itu.
Naruto mengepalkan tangannya mencoba menahan amarah. Sai bahkan tak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini pada Sasuke. Berita ini bakal membuat hati Sasuke hancur.
.
.
.
Sasori digiring ke mobil polisi. Kedua tangannya diborgol. Di tangan kirinya ada borgol tambahan yang terhubung dengan rantai ke tangan Kakashi."Susul Hinata. Biar kami yang mengurus disini," perintah Jiraiya.
Sasuke tampak dilema. Merupakan tanggung jawabnya melempar penjahat ini ke penjara. Akan tetapi, ia tidak bisa membohongi hatinya yang terus-terusan berteriak agar pergi ke sisi Hinata. Mendampingi perempuan itu, apa pun yang terjadi.
"Kita tidak tahu dimana dia menyimpan penawar racun itu. Kalau kita membawanya ke kantor sekarang, aku khawatir...." Konohamaru tak menyelesaikan perkataannya. Wajah pias Sasuke membuat anak magang itu tak sanggup berkata lebih banyak.
"Kau benar. Kita tahan dia disini sampai ada konfirmasi lebih lanjut dari Naruto dan Sai," ujar Jiraiya.
Sasuke memegangi telpon saluran khusus kepolisian. Berharap panggilan baik lekas datang dari tim Sai.
Sepuluh menit sudah berlalu semenjak Hinata dilarikan ke rumah sakit. Rumah sakit terbaik di Konoha pasti bisa menyelamatkan Hinata. Sasuke harus yakin kalau Hinata pasti akan selamat.
Ponsel Sasuke berbunyi. Ia terheran-heran mengapa Naruto menelponnya lewat nomor pribadi, bukan saluran resmi kepolisian. Perasaannya tak enak.
"Angkat dong, Pak Polisi. Temanmu pasti butuh penawar racun dariku," Sasori masih mencoba memprovokasi.
YOU ARE READING
Yours
FanfictionHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...