Hinata muntah dan tak habis-habis merutuki mual di perutnya.
Isi perut sang Hyuuga memberontak keluar seketika melihat wajah Uchiha Sasuke terpampang jelas di televisi apartemennya. Lelaki itu masih mengenakan baju yang sama saat mereka terakhir bersua di klinik. Ada dua kemungkinan terlintas di kepala Hinata. Pertama, lelaki itu punya banyak baju hitam identik sehingga semua baju terlihat sama. Atau kedua, rekaman ini diambil kemarin dan baru tayang hari ini.
"Bagaimana penyelidikan kepolisian terkait kasus pembunuhan berantai ini?" seorang wartawan perempuan bertanya. Sontak banyak alat perekam mendekati sumber suara.
"Kita belum bisa memastikan apakah ini adalah kasus pembunuhan berantai atau tidak," jawab Sasuke tegas.
Wartawan tadi tak surut dengan jawaban Sasuke. Ia kembali bertanya, "Bukankah semua korban memiliki ciri khas sama? Perempuan muda berambut hitam panjang berkulit putih?"
Hinata sontak melihat rambutnya. Rambut khas keluarga Hyuuga: yang hitam legam di bawah sinar rembulan dan sedikit indigo di bawah sinar matahari. Kulitnya pun putih cenderung pucat.
Televisi lalu menayangkan rekaman kejadian dan penyelidikan yang dilakukan polisi. Hinata kenal betul dengan tempat yang kini diberi garis kuning polisi itu. Sebuah gang yang terletak tiga blok dari apartemen Hinata.
Tok! Tok! Tok!
Hinata nyaris melompat mendengar ketukan di pintu. Dengan hati-hati dan jantung yang masih berdegub kencang, Hinata mendekati pintu dan mengintip lewat celah intip.
Di depan pintu, Tenten berdiri sembari membawa bungkusan plastik.
.
.
.
"Apa maksudmu nenek itu berbohong?" tanya Naruto setengah tak percaya dengan penjelasan Sai. Menurutnya, Sai terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tak ada bukti satu pun yang bisa membuat mereka menyurigai sang nenek."Kan sudah kubilang ini hanya kecurigaanku," balas Sai tersenyum.
Sasuke membiarkan keduanya saling beradu argumen. Naruto yang meledak-ledak dan Sai yang setenang air membuat percakapan itu tak kunjung usai.
"Jiraiya, kau pergi ke TKP dan minta data dari tim penyidik. Pastikan kau menemukan petunjuk riil identitas pelaku. Kesaksian seperti tadi sia-sia karena tidak punya kekuatan secara hukum," pinta Sasuke.
Lelaki dua puluh delapan tahun itu kemudian melangkah menuju ruangannya. Konoha cenderung kota yang aman. Hampir satu tahun ke belakang kasus yang ditangani tidak jauh-jauh dari pelanggaran lalu lintas. Bahkan, tingkat kriminalitas menurun pesat pasca taraf hidup masyarakat meningkat.
Siapa sangka di tengah kebahagiaan ini ada satu orang psikopat yang memutuskan mengacau lewat kasus pembunuhan tak masuk akal?
Sasuke melirik jam tangannya. Seharusnya Itachi sedang dalam perjalanan kembali ke Konoha. Ia harus segera memberitahukan Itachi serta meminta sang kakak membuat peraturan untuk melarang semua guru pulang terlambat.
Demi Tuhan! Sasuke tak ingin Hinata dan bayi mereka dalam bahaya.
.
.
.
"Neji cerita?" tanya Hinata. Mereka berdua duduk di depan televisi dengan dua mangkok mie yang dibawa Tenten."Neji bilang suruh tunggu kamu mau cerita sendiri," jawab Tenten.
Chanel televisi ditukar, menampilkan segmen lain ketimbang berita menakutkan yang hanya akan membuat Hinata waswas. Kini, dua orang pemandu acara terlihat sedang menaiki gajah di Thailand. Lalu mereka berbicara dengan nada sok diasik-asikan.
Tayangan itu jelas tak begitu menarik. Mata Hinata dan Tenten begitu terpaku ke televisi karena mereka masing-masing khawatir pada tatapan mata lawan bicara. Apa ada kejujuran disana? Apa ada rahasia yang disembunyikan disana?
Mata mereka tak mau saling mencari.
.
.
.
Beberapa hari kemudian, sebagaimana yang Sasuke pinta di pertemuan kedua mereka, Hinata memutuskan menerima ajakan Sasuke untuk bicara.Perempuan itu mengenakan rok plisket hitam semata kaki dan oversize t-shirt dengan pola rajut berwarna ungu muda. Beberapa waktu belakangan Hinata jadi merasa lebih mudah kedinginan. Jadi, ia mengenakan celana panjang dan kaos lapis yang akan menjaganya tetap hangat.
Jam menunjukkan pukul 4 lewat 15 menit. Sasuke berjanji akan datang pukul 4. Barangkali macet, atau ada urusan mendadak, atau bisa jadi kasus kemarin membuat Sasuke keteteran, atau barangkali Sasuke telah berubah pikiran dan tak lagi memaksa Hinata untuk menikah dengannya. Apa pun itu alasannya, Hinata berharap Sasuke bisa datang dan segera menjelaskan.
Lima belas menit kembali berlalu tanpa satu pun pesan masuk atau panggilan. Hinata mulai mempertimbangkan apakah ia perlu menghubungi Sasuke duluan apa tidak. Jemarinya lentik memegang ponsel sembari bolak-balik memencet layar di bagian icon kontak, icon telpon, dan fitur kembali.
Kalau ia menghubungi duluan, kesannya seperti ia adalah perempuan yang sedang meneror laki-laki minta pertanggungjawaban. Jelas ini bukan maksud Hinata. Malah kalau bisa, ia mau Sasuke menyerah dan membiarkan mereka hidup masing-masing tanpa saling memerdulikan.
Tapi, kalau Hinata gak menghubungi sekarang, ia lelah menerka-nerka.
"Hinata!" sebuah Suara yang tak asing memanggil.
"Tumben kau ada di sini," seorang guru berambut potongan mangkok dan baju hijau nyentrik menghampiri Hinata dengan senyuman lebar.
.
.
.
To be continuedMohon maaf karena jadwal choco kembali berubah. Untuk chapter depan mohon maaf choco belum bisa memastikan bisa update di hari Sabtu atau tidak. Doakan saja semoga choco ada waktu luang.
See you when i see you gais!!!

YOU ARE READING
Yours
FanfictionHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...