28. Menjadi Orang Tua

926 151 7
                                    

Hinata mematuhi perkataan Sasori saat pemuda itu melarangnya menarik pisau yang tertancap di perut Nenek Chiyo. Pemuda itu bilang kalau menarik pisau hanya akan membuat pendarahan perempuan tua itu kian parah. Hinata tak tahu apakah Sasori menginginkan neneknya sendiri hidup atau mati saat ini.

"Kita harus membawa nenek ke rumah sakit," pinta Hinata.

Sasori menggebrak meja. Langkahnya besar dan kasar menuju atas lemari. Tangannya menggapai sebuah kotak putih. Hinata bisa melihat tulisan P3K di atas kotak putih itu.

"Cepat obati nenek itu!" pinta Sasori.

"Tapi aku tidak punya pengalaman medis..."

"CEPAT!"

Tangan Hinata yang gemetar meraih kotak P3K yang Sasori lempar. Ia melihat ada alkohol, obat merah, juga perban. Hinata tahu cara mengobati luka kecil, tapi tidak dengan luka tusukan pisau di perut.

Dengan hati-hati Hinata menuangkan alkohol ke kapas. Pisau itu masih menancap di perut Nenek Chiyo, membuat Hinata kebingungan. Apa dia harus mencabut dulu pisaunya atau mensterilkan luka terlebih dahulu? Bagaimana jika kondisi Nenek Chiyo malah makin memburuk?

"CEPAT!" sekali lagi Sasori membentak.

Dengan pengetahuan dan keberanian seadanya, Hinata mencabut pisau itu. Nenek Chiyo merintih kesakitan, tapi tak berbuat apa-apa. Darah mengalir lebih deras. Hinata mencoba menahan darah itu dengan kapas yang ditekankannya di perut Nenek Chiyo.

"Kenapa kau melakukan ini? Hanya untuk membuktikan kalau omonganku salah?" Isak Hinata di sela-sela usahanya menyelamatkan Nenek Chiyo. Perempuan itu tidak ingin ada nyawa yang melayang di hadapannya, terlebih karena provokasinya.

"Jangan banyak tanya kalau kau tak mau bernasib sama," ancam Sasori.

Hinata bungkam. Hanya tangannya yang kini bergerak membelitkan perban. Warna merah muncul kian lama kian jelas di permukaan perban putih. Dalam hati kecilnya, Hinata merasa putus asa. Dia tidak akan bisa menyelamatkan Nenek Chiyo hanya dengan pertolongan apa adanya seperti ini.

"Kumohon. Aku akan berikan rambutku. Aku berjanji tidak akan memberitahu siapa pun. Setidaknya, tolong bawa Nenek Chiyo ke rumah sakit," pinta Hinata.

Sasori tampak senang dengan permohonan Hinata yang tampak putus asa. "Kau munafik sekali. Kau hanya takut menjadi pembunuh, kan?"

Hinata menggeleng. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak membunuh Nenek Chiyo. Dia memprovokasi, tapi yang mengayunkan tangannya secara paksa adalah Sasori. Hinata bukan pembunuh, dia harus yakin pada fakta ini.

"Kau membuat orang tuamu sedih," ujar Hinata.

Gadis itu akhirnya lelah menahan pikirannya. Mulutnya pun mengucapkan segala kata yang tadinya sebatas di benak, takut keluar karena ancaman lelaki itu.

"Aku akan menjadi ibu. Aku ingin anakku lahir dan tumbuh dengan baik. Aku tak bisa membayangkan jika memiliki anak yang tumbuh besar menjadi seorang pembunuh," ujar Hinata.

Sasori menatapnya datar. Meski demikian, tangannya kini meraba saku rompi. Senjata api ikut keluar dari balik rompi itu saat Sasori mengeluarkan tangannya.

"Diam!"

"Aku akan patah hati jika melihat anakku tumbuh menjadi orang yang tak bisa menyayangi dan tak bisa disayangi."

"Diam!"

"Aku tak ingin anakku menjadi orang sepertimu."

"DIAM! Tahu apa kau? Kau bahkan belum menjadi orang tua. Berani-beraninya kau mengatakan hal seperti itu. Ibuku menyayangiku. Ibu dan ayahku pasti setuju dengan keputusanku ingin selamanya bersama mereka. Kau yang tak mengerti. Kau yang tak pantas menjadi orang tua!"

Pemuda itu seolah lupa ada pistol di tangannya. Ia malah membabi buta mengejar Hinata yang sempat mencoba lari. Tangannya bersarang pada leher perempuan itu, mencengkramnya sekuat tenaga.

Hinata mencoba melawan. Ia tak ingin mati sekarang. Ia ingin hidup, menjadi orang tua untuk anak di rahimnya, memastikan anaknya menjadi seseorang yang tak kekurangan kasih sayang sehingga berakhir menyedihkan seperti pemuda berambut merah itu.

"Kasihan sekali ibumu," ujar Hinata di sela-sela nafasnya yang mulai tersengal.
.
.
.
Sasuke mengabari tim yang khusus menangani kasus pembunuhan berantai ini. Tak lupa pula Sasuke mengirimkan skema penyelamatan yang akan segera mereka lakukan.

Setelah Neji memberitahu titik pasti keberadaan Hinata, Sasuke bergegas memerintahkan tim penyelamat dan tim medis untuk segera ke lokasi. Mereka harus cepat datang tanpa memancing kecurigaan dan membuat pembunuh berantai itu tahu dan memutuskan kabur.

"Berapa menit lagi timmu datang?" tanya Neji. Maps menunjukkan tak sampai 1 menit waktu untuk tiba di tujuan.

"Sekitar 10 menit."

"Kau mau menunggu?" tanya Neji.

"Tentu saja tidak," jawab Sasuke mantap.

Lelaki itu mengambil tas berisi perlengkapan yang tadi ia siapkan. Sasuke menyodorkan satu rompi antipeluru kepada Neji.

"Lebih baik berhati-hati," ujarnya.

Uchiha dan Hyuuga memakai rompi antipeluru di balik baju yang mereka kenakan. Sasuke juga menyerahkan satu pistol kepada Neji. Dua bawahan Hyuuga yang ikut dengan mereka diperintahkan untuk berjaga di pintu depan dan pintu belakang apartemen jikalau pembunuh itu mencoba melarikan diri.

Apartemen itu terdiri dari lima lantai. Dari besar bangunan, Sasuke menebak ada 7-8 kamar di masing-masing lantai. Butuh waktu cukup lama untuk mereka menemukan Hinata. Terlebih lagi jika dinding di apartemen ini kedap suara.

Neji dan Sasuke berjalan bersampingan dengan siaga. Satu tangan mereka memegang pistol yang diletakkan di saku celana.

Tidak ada hal mencurigakan di lantai satu. Mereka mulai menuju lantai dua, lalu lantai tiga, dan berhenti di lantai empat saat terlihat sisa darah di lantai.

"Darahnya belum terlalu kering. Belum lama saat ada orang terluka disini," analisis Sasuke.

Neji mencoba menempelkan telinga ke pintu. Samar-samar terdengar suara lelaki berteriak, lalu bentakan meja, dan suara perempuan.

Neji bergegas mendobrak pintu, tapi pintu itu terkunci. Suara itu cukup keras hingga Sasuke yakin orang di dalam kamar pasti mendengarnya. Dengan sigap Sasuke menembak gagang pintu, membuka pintu sebagian, melemparkan geranat kejut, dan kembali menutup pintu.

Suara dengingan keras yang usai menjadi tanda bagi mereka untuk masuk. Sasuke tak bisa menghentikan amarahnya saat melihat pemuda bersurai merah yang terlihat linglung di samping Hinata yang terduduk lemas memegangi lehernya sambil terbatuk-batuk.

Neji bergegas melepaskan tembakan, membuat pistol di tangan pemuda itu terlempar. Sasuke berlari mengejar Hinata, memastikan perempuan itu tak apa, terlebih setelah melihat bercak darah di lorong.

"Aku di sini Hinata. Kau aman bersamaku sekarang."

Hinata merasakan tangan Sasuke melingkar di tubuhnya, erat, erat sekali.
.
.
.
To be continued

YoursWhere stories live. Discover now