Hinata pikir hubungannya dengan Sasuke kian erat. Ia tak lagi menyangkal kehadiran Sasuke di hidupnya. Perempuan itu telah menerima Sasuke. Tidak hanya sebagai ayah dari bayi di kandungannya, namun juga sebagai seorang laki-laki yang bisa menjadi teman, pasangan, keluarga, juga rumah.
Rupanya, hal itu tak sepenuhnya benar. Hinata merasa dikhianati.
"Kau ingin aku berhenti bekerja?" tanya Hinata dengan nada melengking, separuh tak sanggup menjaga emosinya tetap stabil.
Sasuke menatapnya dalam. Meski demikian, mereka tak menemukan ruang toleransi. Sasuke ingin Hinata berhenti bekerja dan cukup beraktivitas di rumah. Tentu saja karena alasan keamanan dan kenyamanan mereka. Hinata hamil. Di luar pernikahan. Kebahagiaan yang mereka rasakan layaknya berjalan di atas lapisan es tipis. Sekalinya salah langkah, mereka bisa terjatuh. Sasuke tak mau itu. Jadi, menurutnya, lebih baik mereka sama sekali tidak berkalan di atas lapisan es tipis. Menurutnya, lebih baik Hinata di rumah saja sampai nanti rencana pernikahan mereka rampung.
"Aku tidak ingin berhenti mengajar," ujar Hinata, kembali membawa Sasuke pada perdebatan mereka.
"Bagaimana jika kau kelelahan?" Sasuke masih mencoba membujuk.
"Jadwal mengajarku tidak sepadat itu sehingga membuatku kelelahan!"
"Bagaimana jika kau terluka?"
"Aku pergi mengajar, bukan pergi tawuran!"
"Tapi, bagaimana jika kau kembali bertemu bahaya? Kau ingat kan kau masih di bawah pengawasan polisi karena menjadi saksi mata pembunuhan berantai di Konoha?"
"Bukankah kepolisian sedang mencari pelaku? Kalau kau khawatir dengan keamanan sekolah, jangan cuma menyuruhku berhenti, tapi liburkan semua orang!"
Semua ucapan Sasuke tersanggah. Dadanya kian sesak. Mengapa Hinata tak mau menuruti keinginannya? Bukankah ini keputusan terbaik?
"Bagaimana kalau orang-orang tau kau hamil, Hinata?"
Pertanyaan ini memutus rasa tegang akibat sahut-sahutan yang kian deras. Sasuke melihat kilatan tak percata muncul di iris Hinata.
"Jadi ini alasan sebenarnya? Kau takut orang-orang tahu aku hamil di luar nikah? Kau takut orang-orang tahu Kepala Kepolisian Konoha menghamili seorang guru di luar ikatan pernikahan?"
Hinata tak mampu membendung air matanya. Ia merasa bodoh pernah mempercayai Sasuke. Ia bahkan menceritakan semuanya pada lelaki itu.
Hinata merasa bodoh, menerima kecupan dari Sasuke di bibirnya.
Mungkin memang dari awal tak ada ikatan apapun yang menghubungkan mereka. Alkohol. Segala yang terjadi antara mereka diprakarsai oleh minuman keras sialan. Mereka tidak benar-benar punya ikatan.
"Hinata, kau salah paham," bujuk Sasuke. Suaranya kembali lunak, tak sanggup melihat Hinata berlinangan air mata.
"Aku ingin menenangkan kepalaku," ujar Hinata.
Kakinya gontai melangkah menuju nakas samping tempat tidur. Tangannya gemetaran saat mengambil ponsel dan dompet. Hinata mengambil jaketnya, memakai kaus kaki, dan beranjak keluar kamar. Ia diam saja, layaknya boneka yang bergerak hanya karena digerakkan. Ia diam saja, seolah pikirannya sedang ada jauh dari realitas di depan mata.
"Hinata mau ke mana?" tanya Mikoto tampak khawatir.
Hinata tak menjawab. Ia menunduk ke arah Mikoto, memberi salam. Kakinya gontai menuju pintu keluar, memakai sepatu, dan pergi berjalan kaki entah ke mana. Mikoto yang bingung lekas berlari menuju kamar putra bungsunya.
Ada apa? Pertanyaan itu berteriak di kepala Mikoto. Mulutnya tak sabar ingin memuntahkan pertanyaan dan makian bagi putra bodohnya yang tak bisa menjaga seorang perempuan untuk tetap berada di sisinya.

YOU ARE READING
Yours
FanficHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...