13. Ancaman Tak Main-Main

1.5K 232 29
                                    

Hinata memastikan Neji tak memberitahu apa pun kepada ayahnya soal kehamilan. Neji menenangkan Hinata. Neji bilang, Hyuuga Hiashi hanya khawatir pada Hinata karena menjadi saksi mata kasus pembunuhan semalam.

Khawatir? Neji pasti melantur.

"Pulanglah, Hinata. Keluarga adalah muara. Setelah semua yang terjadi, apa kamu tidak sadar bahwa keluarga adalah satu-satunya tempat paling aman?"

Hinata tak suka saat Neji menceramahinya. Lebih-lebih tentang keluarga.

Keluarga Hyuuga bukan keluarga seperti pada umumnya. Neji yang tak mengerti.

"Aku ingin tetap tinggal sendiri."

"Ya ampun! Keras kepalamu sama saja dengan Ayah. Hinata, dengarkan aku baik-baik. Kalau kamu benar-benar tak ingin pulang, setidaknya datang saja ke kediaman Hyuuga. Setelah Ayah yakin kamu aman, Ayah pasti akan membolehkanmu lagi tinggal sendiri."

Lelucon! Apa Neji pikir Hinata bodoh?

Perempuan itu berjuang mati-matian demi bisa tinggal di luar kediaman Hyuuga. Kini, saat ia kembali, tidak mungkin Hiashi melepasnya begitu saja.
.
.
.
Tenten pulang membawa dim sum kesukaan Hinata. Gadis manis itu berharap sahabatnya bisa sedikit lebih baik setelah makan sesuatu yang enak.

"Tadi pagi Hinata mual-mual," cerita Tenten di perjalanan menuju apartemennya. Neji yang duduk di kursi pengemudi menghela nafas berat.

"Hinata sudah cerita?"

"Sudah."

"Lalu?"

"Lalu?"

Neji dan Tenten terdiam dengan pertanyaan yang sama terlontar dari mulut mereka. Hinata hamil. Lalu?

Apa mereka akan mendesak Hinata meminta pertanggungjawaban dari lelaki bangsat yang menidurinya? Apa mereka akan mengusir Hinata seperti kebanyakan orang tua di luar sana Atau, mereka hanya perlu memaksa Hinata aborsi?

Berbagai kemungkinan menghantui kepala sepasang kekasih yang kini sama-sama sibuk dengan keheningan masing-masing.

"Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mendukung Hinata," tiba-tiba Tenten berujar.

Mereka telah sampai di parkiran. Perempuan cepol itu bergegas keluar dari mobil tanpa menunggu balasan dari Neji.
.
.
.
Hinata tak sanggup menahan mual dan sakit kepala. Ia menidurkan badannya di sofa tanpa ada kekuatan untuk bangkit. Ia mengabaikan segala pesan dan panggilan masuk. Membiarkan dirinya tenggelam dalam kenyamanan sofa berlapis bulu-bulu lembut yang harum hampir seharian.

Cahaya matahari sore menembus kisi-kisi jendela. Beberapa jatuh tepat di mata Hinata yang terpejam. Barangkali, sebentar lagi, Tenten akan pulang bersama Neji. Barangkali, sebentar lagi, Hiashi akan datang menjemputnya paksa.

Hinata tak lagi merisaukan akan kemungkinan mana yang lebih dulu menghampirinya. Apa pun yang terjadi, terjadilah.

Suara ketukan pintu mengudara. Hinata bangkit perlahan. Kaki kecilnya melangkah hati-hati, berusaha tak menimbulkan suara. Dari lubang pengintip di pintu apartemen, Hinata bisa melihat dua orang lelaki berjas hitam.

Hyuuga Kou dan Hyuuga Hiashi. Ancaman ayahnya tak pernah main-main.

"Aku tahu kau ada di dalam. Bukakan pintunya, Hinata," Hiashi berseru.

Hinata kaget bukan main. Bagaimana bisa Hiashi mengetahui bahwa ia sudah berada di depan pintu dan berencana tak akan membukakannya.

Kou maju ke depan pintu. Tangannya mengetuk pintu dengan ketukan yang makin keras tiap kali ia mengulangi ketukan selanjutnya. Suara itu mulai mengganggu. Suara itu tak lagi terdengar sebagai sebuah panggilan, lebih tepatnya ancaman.

YoursWhere stories live. Discover now