Seorang pemuda baru saja mati. Setidaknya, begitu yang ia pikirkan. Ia telah mati. Mati bersama orang tuanya di sebuah kecelakaan yang begitu ia sesali. Meski demikian, nenek dan kakeknya seolah tak mau menyerah. Mereka keras kepala mengatakan bahwa pemuda itu masih hidup.
Mati dan hidup, baginya, tidak terletak pada raga namun pada jiwa. Oleh karena itu, meski tubuhnya masih bergerak dan beroperasi seperti manusia lainnya di bumi yang tidak masuk liang lahat, pemuda itu tetap memutuskan bahwa ia telah mati. Jiwanya mati. Dan, orang mati, tidak perlu berteman dengan orang hidup.
Sang nenek bahagia saat cucunya menemukan hobi baru. Memang agak aneh untuk seorang cucu laki-laki di usia hampir 25 tahun, namun tetap saja hal itu membuat sang nenek senang. Cucunya terlihat hidup. Tidak lagi seperti mayat hidup saat pemuda itu fokus mengerjakan manekinnya.
Di sebuah bangunan yang merupakan toko buku sekaligus tempat tinggal bagi sang nenek dan keluarga kecilnya, terdapat satu ruangan khusus tempat menyimpan boneka-boneka dengan ukuran dan rupa yang mirip sekali dengan manusia. Pemuda itu bisa menghabiskan waktu lama sekali di sana.
Hingga pada suatu waktu yang tidak istimewa, lelaki itu memutuskan untuk mencari rambut hitam terbaik bagi boneka kesayangannya di tengah ruangan. Ia mulai mencari ke jalanan, mencari ke tiap sudut kota. Beberapa orang gadis menjadi korban. Dada mereka dilubangi. Dan, pemuda itu masih belum menemukan rambut hitam yang ia cari.
.
.
.
Kiba tertawa terpingkal-pingkal saat Sasori mengutarakan pendapatnya tentang kasus pembunuhan berantai di Konoha. Sasori, menurut Kiba, kebanyakan nonton film psikopat."Membunuh orang hanya karena rambut? Gila!" komentar Sakura yang entah kapan mulai tertarik dengan pembicaraan.
Yui tampak agak takut mendengar deduksi Sasori. Bagaimana pun, dia adalah seorang gadis berambut hitam, ciri dari setiap gadis yang jadi korban pembunuhan berantai di Konoha akhir-akhir ini.
"Kau tidak usah khawatir, Yui-san. Kiba, Sasori, atau aku bisa mengantarmu pulang," tukas Lee.
Sakura mengambil ponselnya yang bergetar. Ada beberapa notifikasi masuk. Salah satunya membuat perempuan bersurai gula kapas itu terkejut.
"Sebaiknya kita pulang saja," ujarnya sembari melihatkan layar hp kepada orang-orang di meja.
Kiba mengiyakan. Mereka bergegas berbenah. Kepolisian Konoha mengumumkan soal surat ancaman dari si pembunuh bayaran. Semua orang yang tak berkepentingan diminta tetap di rumah atau akan dicurigai sebagai pelaku dan akan langsung di bawa ke kantor polisi.
Keenamnya berpisah karena tempat tinggal yang berbeda arah. Hampir pukul 8 malam. Hanya tinggal 30 menit sampai aturan tidak boleh keluar rumah diberlakukan polisi Konoha. Jelas tak ada jalan lain selain pulang masing-masing kecuali jika mereka mau menginap.
Yui yang ketakutan berjalan cepat menuju apartemennya tanpa menyadari sebuah benda asing telah masuk ke tasnya.
.
.
.
Raungan serine memenuhi Konoha. Puluhan mobil kepolisian diterjunkan ke jalanan. Beberapa polisi disetting berpakaian casual agar dapat membaur dan menyelidiki tanpa perlu dicurigai.Sasuke duduk di sebuah mobil dengan nyala serine yang sedari tadi membuat percakapannya dengan Naruto serasa kontes berteriak. Akhirnya, Naruto menyerah dan memutuskan mematikan bunyi serine walau pun lampu di atas mobil masih berpendar.
"Sepertinya kau harus beli serine baru. Yang suaranya tidak bikin kita budeg," keluh Naruto.
Hampir jam 8 malam. Berkat pengumuman yang disebar lewat media sosial dan media massa, penduduk di jalanan kian sedikit. Satu dua orang terlihat berjalan tergesa menuju tempat tinggal masing-masing. Satu surat laknat berhasil membuat malam di Konoha berubah.
"Kau sudah utus salah satu personil untuk memata-matai nenek itu?" tanya Naruto.
"Hm."
"Hm? Yang benar saja teme! Jelaskan dengan bahasa yang bisa kumengerti!"
"Kakashi kuutus ke sana," jelas Sasuke.
Lelaki raven menyalakan mesin dan mulai menginjak pedal gas. Dengan kecepatan pelan yang konstan, ia menyetir mobil mendatangi jalan-jalan sepi Konoha.
Berjam-jam berlalu, namin tak ada satu pun kejadian. Tiba-tiba, hp Sasuke yang berada di bangku penumpang berbunyi. Naruto berbaik hati mengambilkan hp itu.
Nomor asing. Sasuke mengangkat was-was.
"Halo?"
"Sa-sasuke," suara di telepon menyebut namanya dengan getaran tak menyenangkan.
"Hinata?" tebak Sasuke.
"Tolong! Aku tak tahu apa yang harus kulakulan!" suara perempuan itu mulai terdengar pecah.
"Kau di mana?" tanya Sasuke.
"Apartemenku."
"Baik. Aku akan segera ke sana. Ceritakan apa yang kamu alami dan pastikan jangan mematikan panggilan ini sampai kita bertemu," pinta Sasuke.
.
.
.
Hinata baru saja mengisi ulang kotak tisu saat bel apartemennya berbunyi. Hinata yakin dia tak ada janji hari ini. Kalau pun ada yang mau datang, biasanya mereka selalu mengabarkan lewat panggilan telepon sebelum datang.Bel kembali ditekan. Hinata berdiri dan mematut dirinya di cermin. Matanya masih merah, bisa disembunyikan di balik kacamata. Hidungnya merah, bisa disembunyikan di balik masker. Benar, kacamata dan masker. Ide bagus, pikir gadis itu.
Setelah mengambil kacamata dan masker, Hinata mengintip dari balik lubang di pintu. Seorang gadis bersurai hitam yang tampak ketakutan. Seorang gadis yang tinggal tepat di sebelah kamar apartemen Hinata.
"Hinata-san!" teriak gadis itu saat Hinata membukakan pintu.
"Ada apa, Yui-san?"
"Boleh aku pinjam cas hp? Aku baru sadar kalau casku tertinggal di kantor."
Sebagaimana tetangga pada umumnya, Hinata meminjamkan cas hp pada Yui. Perempuan itu berjanji akan mengembalikannya dalam waktu kurang lebih 2 jam.
Hinata kembali menutup pintu. Ia menyalakan tv dan melihat seluruh stasiun tv kini menayangkan perihal yang sama. Kepolisian telah memberlakukan jam malam karena datangnya sebuah surat ancaman dari pembunuh berantai yang akhir-akhir ini meneror Konoha.
Apa ini yang membuat Sasuke membatalkan pertemuan mereka?
Banyak skenario berputar di kepala Hinata. Bagaimana jika Sasuke sebenarnya tidak ingin mangkir dari tanggung jawabnya? Bagaimana jika keadaan ini yang memaksa Sasuke membatalkan pertemuan mereka?
Hinata mereka bodoh sekali. Ia menangis untuk hal yang sepatutnya tidak dia tangisi. Mereka bisa jumpa kapan saja. Tentu nyawa seseorang jauh lebih penting. Sasuke tidak salah.
Perempuan itu akhirnya memutuskan memeriksa tugas muridnya ketimbang memikirkan hal-hal aneh. Waktu berlalu. Tanpa Hinata sadari, malam kian larut.
"Ah, benar, casanku belum dikembalikan Yui," gumam Hinata pada dirinya sendiri.
Hinata menyampirkan jaket, membuka pintu, dan berjalan ringan ke pintu sebelah.
Pintu itu rupanya tidak dikunci. Hinata mendorong kayu yang dicat coklat. Di depannya, merah mendominasi. Di lantai, dinding, juga langit-langit. Merah yang berasal dari dada Yui yang dibolongi sebuah pisau.
Rasa takut menyergap Hinata. Lututnya serasa lemas. Ia mencoba memanggil, namun jelas Yui tak menjawab.
Hinata mundur kembali ke lorong. Lampu di apartemen lain mati. Ia mencoba memanggil penjaga, namun tak ada siapapun di pos.
Di tengah keputusasaan itu, hanya satu nama yang terbersit di kepala Hinata, Uchiha Sasuke.
.
.
.
To be continuedHai semua. Lama tak jumpa.
Choco is back!!!!
Semoga terhibur. Jangan lupa komentar dan kasih bintang ya 😘
YOU ARE READING
Yours
FanfictionHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...