29. Jika Kita Tak Ada

681 108 7
                                    

Sasori mencoba melawan saat dua pemuda tiba-tiba menyerobot masuk ke apartemen persembunyiannya. Sasori menebak mereka berdua dari kepolisian. Padahal ia sudah susah payah menyembunyikan jejak dan membawa Hinata ke sini.

"Menyerahlah. Kau harus membayar dosamu," ujar Neji.

Satu lagi pemuda berambut hitam legam bergegas memagar Hinata dengan kedua tangannya. Wajah lelaki itu sering masuk televisi. Sasori ingat. Lelaki itu Uchiha Sasuke, Kepala Kepolisian Konoha.

"Lihat aku, bajingan!" teriak Neji melayangkan satu lagi pukulan ke wajah Sasori.

Sasori menggeram kesakitan. Tubuhnya luruh ke lantai. Mata Sasuke awas melihat tangan pemuda itu yang masuk merogoh kantong. Berbeda dengan Neji yang tengah dibutakan amarah.

"Awas!" teriak Sasuke.

Peringatan lelaki raven tak secepat songsong peluru. Neji sempat refleks menghindar tapi tak sepenuhnya berhasil. Satu butir peluru bersarang di lengannya.

"Neji-nii!" teriak Hinata khawatir.

Perempuan itu hendak menyusul Neji, namun Sasuke mencegah. Ia sudah memberi isyarat agar timnya lekas menyusul. Sebentar lagi, bala bantuan akan datang. Yang terpenting sekarang bagaimana ia bisa menghadapi pembunuh berpistol sembari melindungi 2 orang terluka dan 1 orang perempuan hamil di pelukannya.

Sasuke dengan sigap melepas ropi anti pelurunya dan memasangkan pada Hinata. Hinata tak boleh kenapa-napa. Ia harus yakin Hinata aman supaya bisa dengan leluasa menaklukan lawan di hadapannya.

"Kau belum mati kan, calon kakak ipar?" tanya Sasuke sinis.

Neji yang memegangi lengannya tertawa sinis. "Jangan panggil aku kakak ipar," sarkasnya.

Dengan langkah hati-hati, ia berjalan mundur menuju Hinata dan Sasuke. Sasori tak lepas tangan. Mulut pistol ikut bergerak mengikuti Neji.

"Pergilah! Aku akan mengampuni nyawa kalian asal aku bisa kabur dengan perempuan itu!" Ancam Sasori.

Meskipun tengah terluka, Neji memasang badan di depan Hinata. Tubuhnya sempurna menutupi tubuh Hinata dari pandangan Sasori.

"Kau tak apa, nii-san?" tanya Hinata. Wajahnya basah oleh keringat dan air mata.

"Bantu aku mengalihkan perhatiannya," bisik Sasuke. Neji mengangguk.

"Kau pikir hanya kau yang punya pistol?" ancam Sasuke. Tangannya meraih saku celana, namun Sasori beralih mengarahkan pistol pada Sasuke.

Sasuke mengangkat kedua tangannya, perlahan-lahan berdiri hingga kini pandangan mereka sejajar. Muka Sasuke berkerut muak melihat wajah tanpa rasa bersalah bahkan setelah melukai dua orang di ruangan ini.

"Menyerahlah sekarang. Hukumanmu akan lebih berat kalau kau melukai kepala polisi," tawar Sasuke.

Sasori malah tertawa khas penjahat gila yang mucul di drama akhir pekan. Hinata mual melihat sosok Sasori yang terlihat kacau, gila, menyeramkan. Lebih-lebih setelah melihat Neji tertembak. Suara muntahan peluru masih terngiang di benak Hinata.

"Nii-san, aku minta maaf," isak Hinata di sela-sela tangisnya.

"Ini bukan salahmu Hinata. Kau tak perlu minta maaf," balas Neji merangkul sang adik.

Sasori bertepuk tangan bahagia melihat tangis kakak beradik di depannya. Sasuke yang merasa ada celah, lekas menarik pistol dan mengeluarkan tembakan beruntun. Satu mengenai dinding, satu mengenai vas bunga, dan satu mengenai kaki Sasori.

Tak sampai hitungan detik, Sasuke telah sampai di depan muka Sasori. Satu hantaman kepalan tangan melayang ke mukanya. Satu lagi tendangan tepat di tangan kanan pemuda itu, membuat pistolnya terlempar. Satu bantingan membuatnya telungkup di lantai dengan Sasuke yang menahan kedua tangannya di belakang.

"Masuk!" perintah Sasuke.

Tim polisi bertameng bergegas memasuki ruangan. Di antara mereka terlihat Naruto dan Sai yang bergegas menghampiri Nenek Chiyo, Neji, dan Hinata. Tim lain membentuk formasi mengepung Sasori.

"Kau sudah tak bisa lagi menghindar, Bajingan!" teriak Sasuke.

Satu tandu tampak bergerak keluar membawa Nenek Chiyo. Perempuan tua itu pasien dengan kondisi paling kritis di antara yang lain. Tim medis juga menawari Neji bantuan, namun lelaki itu menepis. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri saat orang yang telah berani menyakiti keluarganya ditangkap.

"Kalian bodoh sekali," ujar Sasori.

Tubuhnya sama sekali tidak melawan. Kartu apa lagi yang ia punya? Mengapa ia tampak begitu santai saat kedua tangannya sudah berada di dalam borgolan polisi?

"Kalian pikir aku hanya punya pistol?" tanya Sasori tersenyum sumringah.

"Apa?" kening Sasuke berkerut bingung.

Uhuk... Uhuk...

"Hinata? Hinata! Kau kenapa?" teriakan Neji membuat Sasuke melihat ke arah mereka.

Darah.

Sasuke yakin Hinata tak tertembak. Namun mengapa ada darah di baju gadis itu? Mengapa ia terus-terusan batuk dan darah ikut keluar dari mulutnya?

"Itu racun racikanku. Hanya aku yang punya obat penawarna, Pak Polisi. Lepaskan aku dan aku akan berikan obat penawarnya. Waktumu tak lama loh!"

Suara tawa Sasori dan teriakan Neji beradu di telinga Sasuke. Belum lagi Hinata yang kini mulai hilang kesadaran.

"Jangan terpancing Sasuke. Kita bawa dulu bajingan ini ke tahanan sembari membawa Hinata ke rumah sakit. Kita tak bisa langsung percaya pada penjahat seperti mereka," teriak Naruto.

Lelaki pirang itu mengangkat Hinata yang setengah sadar ke pangkuannya. Sai yang mengerti ikut membantu. Keduanya berlari sekuat tenaga menuju ambulans yang stand by di bawah.

"Kita lihat siapa yang benar. Temanmu atau aku," desis Sasori.

Sasuke menghantamnya lagi. Kali ini tak main-main. Darah keluar dari mulut Sasori. Barangkali ada giginya yang goyang atau rontok karena pukulan itu.

"Kau hanya punya waktu 30 menit, Pak Polisi," ucap Sasori terbata-bata.

Sasuke mengepalkan tangannya lagi. Jiraiya menahan.

"Periksa badannya," perintah Jiraiya. Konohamaru maju memeriksa Sasori. Mendapati pisau lipat di kantongnya dan beberapa butir peluru.

"Dimana penawarnya?" tanya Sasuke tak sabaran.

"Kau pikir aku akan memberitahumu cuma-cuma?"

"Akan kupastikan kau mendapat hukuman mati jika terjadi sesuatu pada Hinata," ancam Sasuke meledak.

Sasori masih tertawa kecil. "Aku akan mati setelah melewati proses persidangan. Tapi perempuanmu akan mati hari ini. Setidaknya aku bisa melihatmu hancur terlebih dahulu," ejek Sasori.

"Naruto dan Sai sudah sampai di rumah sakit. Dokter sedang memeriksa racun di tubuh Hinata," jelas Kakashi setelah mendapat laporan singkat dari Sai.

"Percuma meminta dokter. Hanya aku yang punya penawarnya," ancam Sasori lagi.

Kini, mereka hanya bisa menunggu kabar selanjutnya dari Sai. Tentu saja Sasuke tak berhenti berdoa agar Hinata bisa selamat. Agar dokter yang kini memeriksa Hinata, siapa pun dia, cukup terampil untuk mengetahui racun apa yang diberikan Sasori pada Hinata.
.
.
.
To be continued

YoursWhere stories live. Discover now