Dua garis biru.
Tanda kehadiran suatu kehidupan dalam rahim Hinata.Perempuan itu bahkan membeli empat buah test pack dengan merek dan tingkat akurasi berbeda. Nihil. Semuanya menunjukkan parameter yang sama.
Dua garis biru.
Bukti bahwa malam yang ia lalui dengan si pemuda raven bukanlah sebuah mimpi buruk melainkan kenyataan yang harus ia hadapi.Hinata tidak tahu apakah ia harus bersedih atau bahagia dengan kehamilan ini.
Dari lama Hinata menginginkan keluarga. Keluarga miliknya sendiri. Anak di rahimnya adalah keluarganya. Darah daging yang akan ia besarkan dan menjadi bagian dari hidupnya.
Terlepas dari kehadirannya yang tak terduga, Hinata tidak ingin menyalahkan. Anak ini tak ada hubungannya dengan kesalahan yang Hinata perbuat. Dia adalah akibat, buah yang harus Hinata petik dari perbuatannya sendiri.
"Neji-nii, aku hamil."
Pesan singkat itu disusul dengan panggilan masuk dari nomor yang sama. Hinata tidak mengangkat.
.
.
.
Hari menunjukkan pukul 7 pagi. Masih ada 15 menit menjelang bel berbunyi. Hinata duduk di mejanya sembari menyeruput teh tanpa gula.Kehadiran cabang bayi di rahimnya menghadirkan kesadaran tersendiri bagi Hinata. Hal-hal yang tidak boleh ia lakukan dan hal-hal yang seharusnya ia lakukan.
Kopi termasuk pada kategori tidak boleh. Kafein berlebih tidak baik bagi kandungan. Hinata membawa teh herbal dari rumah dan mengganti bubuk kopi yang ada di jar lacinya.
"Akhirnya ada hari dimana aku melihat Hinata tidak minum kopi pagi," ujar Tenten yang baru datang.
Hinata tertawa. Dalam kepalanya ia menebak-nebak apakah Tenten telah mengetahui kabar kehamilannya dari Neji. Mereka berdua berkencan dan tampaknya akan segera menikah. Sudah beberapa kali Tenten mengunjungi keluarga Hyuuga dan mengetahui seluk beluk serta kelam yang menyelimuti.
Dari sikap Tenten yang biasa saja, sepertinya ia belum tahu.
"Neji bilang dia akan menjemputmu pulang sekolah nanti," ujar Tenten tiba-tiba.
"Neji-nii bilang apa?"
"Dia bilang kau tidak mengangkat telpon jadi memintaku menahanmu sepulang sekolah."
Tenten melangkah mendekat. Ia menyamakan tingginya dengan Hinata yang tengah duduk. Jelas kentara rasa khawatir di mata sipit itu.
"Ada apa? Apa kau bertengkar dengan Ayah?"
Hinata menunduk. Ia belum memikirkan bagaimana reaksi Hiashi mengetahui kehamilannya. Untunglah Neji sepertinya belum memberi tahu siapa pun.
"Baiklah, aku tidak akan bertanya. Apa pun yang terjadi aku harap kalian bisa menyelesaikan sebagai keluarga," Tenten kembali duduk ke mejanya.
Tenten tidak mengerti. Dari awal, keluarga Hyuuga bahkan tidak bisa disebut keluarga.
.
.
.
Tenten benar-benar menggandeng Hinata sepulang sekolah sampai gerbang. Di sana telah menunggu Hyuuga Neji dengan raut wajah mengerikan. Kedua tangannya terlipat dan dahinya berkerut."Terima kasih," ujar Neji pada Tenten.
Perempuan chinese itu lekas menyadari suasana canggung dan tegang di antara dua saudara tiri itu. Tenten pamit undur diri, meninggalkan Neji dan Hinata yang lekas masuk ke mobil.
Keduanya sama-sama diam. Seolah sedang saling bercakap dengan simulasi di kepala masing-masing. Menghitung dan mengira-ngira perkataan apa yang harus keluar dari bibir agar semuanya tak semakin runyam.
"Aku hamil, Neji-nii," Hinata membuka pembicaraan. Sama persis dengan pesan yang dikirimkannya pagi ini.
Banyak hal yang ingin Neji tanyakan. Kenapa? Siapa? Apa lelaki bangsat itu meniduri paksa Hinata atau ini memang kesepakatan mereka berdua?
Setengah mati Neji menahan rasa penasaran dan amarah di dadanya seorang diri. Dia tak memberitahu siapapun. Tidak Tenten, tidak Hyuuga Hanabi, lebih-lebih Hyuuga Hiashi.
Hinata adalah adik kecilnya. Meskipun dalam nadi mereka tidak mengalir darah yang sama. Neji selalu merasa punya tanggung jawab untuk menjaga Hinata setelah pernikahan orang tua mereka.
Neji menghitung dan mengira-ngira perkataan apa yang harus keluar dari bibirnya agar semuanya tak semakin runyam.
"Kau tak apa?" tanya lelaki keturunan Hyuuga itu.
"Aku tak tahu," jawab Hinata jujur.
.
.
.
Hari itu juga Neji memaksa Hinata pergi ke klinik. Mereka harus memastikan dari profesional bahwa Hinata benar hamil dan kehamilannya baik-baik saja."Tapi, bagaimana kalau kita bertemu orang yang dikenal nanti?" tanya Hinata. Ia tidak siap jika ada orang mengetahui kehamilan ini. Dia seorang guru, harus diletakkan di mana wajahnya nanti.
"Kita ke klinik praktik khusus dokter kandungan saja. Aku tahu klinik yang cukup jauh dari sini. Tidak akan ada orang yang kita kenal disana," bujuk Neji.
Mobil melaju dengan kecepatan konstan. Hinata menyetujui dalam diam.
.
.
.
Perlu waktu kurang lebih satu jam menuju klinik yang disebut Neji. Hinata tertidur pulas di kursi penumpang. Memang tubuhnya jadi cepat lelah akhir-akhir ini.Neji menggoncang tangan Hinata sepelan yang ia bisa. Hinata langsung terbangun saat Neji memanggil namanya. Mobil mereka telah berhenti di sebuah klinik mewah yang khusus diisi oleh dokter spesialis kulit dan kelamin serta dokter kandungan.
Neji turun terlebih dahulu. Ia bilang lebih baik jika Hinata menunggu di mobil saja. Lelaki itu akan mengambil nomor antrian dan akan menghubungi Hinata saat nomor antriannya dipanggil.
Tidak banyak mobil terparkir di depan klinik. Barangkali tidak banyak pula pengunjung yang datang.
Lima menit menunggu, Hinata merasa ia butuh ke kamar mandi. Perempuan itu keluar dari mobil dan memastikan mobil itu terkunci. Neji tampak terkejut melihat kedatangan Hinata yang belum ia panggil.
"Aku mau ke kamar mandi," bisik Hinata.
Neji menunjuk lorong di sebelah kiri. Hinata mengangguk dan segera pergi ke sana.
Sekembalinya dari kamar mandi, Hinata tidak melihat Neji di tempat duduknya tadi. Hinata mengelilingi ruang tunggu. Mencari kakaknya ke seantero ruangan.
Sosok lain menarik perhatian Hinata. Seorang gadis berambut hitam dengan seragam SMA Bakti. Di resepsionis gadis itu berdiri di samping seorang lelaki tinggi berjas yang berdiri membelakangi Hinata.
Ini klinik khusus dokter kulit, kelamin, dan kandungan kan? Untuk apa seorang siswi SMA pergi ke klinik ini?
Lelaki yang sedang Hinata amati membalikkan badan dan berbicara pada anak didik Hinata.
Lelaki itu...
Lelaki dengan surai kelam dan mata onyx rajam. Lelaki berkulit putih tanpa cacat yang menghangatkan kasurnya malam itu.Bajingan! Sialan! Bangsat!
Apa dia tidak puas hanya dengan meniduri Hinata? Apa dia juga main dengan anak di bawah umur? Jangan-jangan, jika pagi itu Hinata tidak bangun lebih awal dan memutuskan pergi, Hinata akan ada di posisi siswi itu sekarang. Pergi ke klinik mengurusi aborsi cabang bayi suci yang harus menanggung dosa orang tuanya.
"Apa yang kau lakukan disini?" Hinata menyampiri kedua orang itu.
Sang siswi yang masih mengenakan seragam tampak terkejut melihat kehadiran gurunya disini sedangkan sang lelaki tampak terkejut melihat sosok perempuan yang ia cari mati-matian sebulan belakang justru muncul sendiri di hadapannya.
"Dasar kau predator perempuan! Tidak hanya dengan yang seumuran, kau juga suka meniduri anak di bawah umur? Demi Tuhan! Aku akan melindungi anak didikku. Jangan harap kau bisa menjerumuskan anak didikku kepada perbuatan tidak bermoral seperti ini!" Hinata berbicara dengan nada rendah namun penuh tekanan dan ancaman.
Dua pasang mata yang kebingungan saling menukar pandang. Hinata masih berdiri di hadapan si lelaki dengan tatapan kesal. Hening mengudara. Tiga orang itu tengah sibuk mencerna kejadian barusan.
"Nyonya Hinata, silahkan menuju ruang pemeriksaan 3," suara perawat memecah sepi di antara mereka.
.
.
.
To be continued
Yuhuuu Sasu sama Hime udah ketemu 🤩

YOU ARE READING
Yours
FanfictionHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...