Ino berlari di lorong kelas, mengabaikan tatapan heran dari para murid. Ia bahkan tak menyempatkan diri berbasa-basi dengan murid yang menyapanya.
Hanya ada dua nama di kepala sang guru pirang: Megumi dan Rui.
Barusan Ino tak sengaja melewati mading utama. Para murid berkerumun. Sepertinya ada berita yang membuat heboh. Ino jadi penasaran. Kalau ada event atau pun aturan baru, pastilah guru-guru yang pertama kali tahu. Seminggu belakangan tidak ada pengumuman apa pun yang rasanya akan membuat para murid heboh seperti itu.
"Wah! Gila! Aku tak menyangka Hinata-sensei hamil. Dia kan belum menikah," suara seorang murid perempuan sampai ke telinga Ino.
Langkah si guru pirang kian lekas. Matanya memburu Megumi dan Rui. Siluet sang murid terlihat di lorong. Rui berjalan bersama dua orang siswi lain, ia sedang tak bersama Megumi.
"Bisa kita bicara berdua," tukas Ino.
Rui menurut. Ia berpamitan pada temannya mengatakan bahwa ia akan menyusul ke kelas. Wajah gadis itu berbeda dari terakhir kali Ino melihatnya. Matanya terlihat lebih tajam dan Ino tak suka gurat senyum di bibir Rui.
"Ada apa, Ino-sensei?" tanya Rui.
Ino tak suka nada bicara Rui. Ino bisa menebak gadis itu tengah mengolok-oloknya. Ino menebak Rui pasti sudah tahu alasan Ino memanggilnya.
"Bukankah Megumi temanmu?" tanya Ino. Ia tak ingin berbasa-basi.
"Iya, kenapa?"
"Kalau Megumi temanmu, mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau mengkhianati temanmu?"
Raut wajah Rui serta merta berubah dingin. "Apa maksud Sensei? Aku tak melakukan apa pun." Ino geram, tapi ia tak punya bukti. Satu-satunya hal yang meyakinkan Ino kalau Rui adalah orang yang menyebarkan berita kehamilan Hinata adalah sikapnya saat ini.
"Perempuan seharusnya tidak saling menjatuhkan, Rui. Kau masih perlu banyak belajar!" Ino mendesis.
Gadis itu tampak tak peduli.
.
.
.
Tak ada perubahan berarti dari sikap Sasori saat Hinata menuduhnya. Lelaki itu tetap membilas rambut Hinata dengan lembut, lalu mengeringkan rambut Hinata dengan lembut pula."Kau mau rambutku? Aku bisa mengguntingnya untukmu," tawar Hinata.
Sasori tampak terkejut dengan tawaran itu. Baru kali ini seorang perempuan menawarkan rambut mereka. Selama ini Sasori malah dikata-katai aneh dan mesum oleh perempuan yang ia coba mintai baik-baik. Oleh karena itulah ia mulai mengambil rambut secara paksa.
"Tentu saja. Kau bisa menggunting rambutmu untukku. Tapi kau akan tetap tak bisa pulang. Aku tak ingin kau melaporkanku setelah pergi dari sini," jawab Sasori.
Hinata menggerutu dalam hati. Ia pikir Sasori cukup terobsesi dengan rambut sampai-sampai membunuh. Rupanya Sasori tetap punya akal sehat untuk memahami bahwa ia mesti bertindak aman agar tak ketahuan.
"Kudengar kau hamil. Hamil tak baik untuk rambut. Hormon makhluk di perutmu akan membuat rambut rusak," ujar Sasori.
Mereka berdua tak hanya sekali bertemu. Beberapa kali mereka berjumpa singkat saat toko buku yang dikelola keluarga Sasori berhubungan dengan SMA Bakti. Bahkan mereka berdua sempat berdiskusi soal Haruki Murakami saat Sasori mampir untuk mengecek koleksi perpustakaan sekolah.
Obrolan-obrolan itu sama sekali tak memperlihatkan sisi kelam Sasori. Di mata Hinata, lelaki bersurai merah itu tampak seperti lelaki biasa yang lebih pendiam dan suka membahas eksistensialisme manusia.
Ah! Benar juga! Hinata teringat saat Sasori membicarakan soal kehadiran sosok yang bisa sama berharga dengan manusia lain. Bisa dalam wujud hewan, benda, juga boneka.
Sedikit demi sedikit Hinata bisa menghubungkan ucapan Sasori dengan obsesi lelaki itu. Dia tergila-gila pada boneka, sosok yang ia anggap lebih berharga bagi dirinya ketimbang manusia lain. Boneka yang secara ironis membuat lelaki itu kehilangan sisi kemanusiannya.
"Siapa boneka yang ingin kau beri rambut?" tanya Hinata.
"Kau menarik, Hinata-sensei. Tak ada orang yang pernah bertanya hal itu padaku."
"Aku ingat soal eksistensialisme dan idealisme yang pernah kau singgung waktu itu. Boneka itu sosok yang berarti untukmu kan?"
Sasori tertawa. Ia berjalan mendekati Hinata. Tangannya dengan lembut menuntun Hinata berdiri dan berjalan menuju sebuah pintu. Hinata berandai-andai jika ia bisa melawan. Sasori sedang lengah, tapi tonjolan besi di saku belakang Sasori membuat Hinata bimbang. Pistol? Lelaki itu tak main-main.
Ruangan itu tak dikunci. Sasori membukakan pintu dan menghidupkan lampu. Tak ada apa pun disana kecuali dua buah boneka yang berdiri berbalut kain hitam
Yang satu, lekuk tubuhnya jelas memperlihatkan bahwa boneka itu adalah sosok perempuan. Satunya lagi lebih tinggi dan maskulin, jelas sosok laki-laki. Kulitnya sekilas mirip kulit asli manusia. Bahkan ia bisa melihat bahwa kedua boneka itu sedang berpelukan.
Boneka lelaki bersurai merah. Hinata menebak-nebak rambut siapa yang kini hadir di kepala manekin. Yang jelas, boneka perempuan di sampingnya masih botak. Jelas Sasori menyari rambut untuk boneka ini.
"Mereka orang tuaku," ujar Sasori.
Hinata mengalihkan pandangannya dari boneka di tengah ruangan kepada sosok lelaki di sampingnya. Sedikit banyak Hinata bisa membayangkan obsesi apa yang dimiliki Sasori. Perempuan itu hanya bisa menyimak saat Sasori mulai bercerita.
.
.
.
Bagi anak lelaki usia 5 tahun yang baru saja masuk sekolah, tugas yang diberikan guru masihlah terasa seperti sebuah misi yang harus dituntaskan. Lebih-lebih sang guru berkata bahwa besok tugas ini akan diperlihatkan di depan kelas.Sasori kecil membawa kertas gambar dan crayon 24 warna kesayangannya menuju lorong menuju pintu depan. Masih terekam jelas dalam benaknya tugas bu guru untuk menggambar keluarga bersama orang tua. Besok, gambar itu akan diperlihatkan di depan kelas.
Tentu saja tugas itu harus selesai. Dia tidak mau makin diolok-olok teman sejawatnya karena dianggap tidak punya orang tua. Padahal jelas-jelas dia punya papa dan mama. Mereka hanya sibuk. Makanya Nenek Chiyo yang mengantar bekal ke sekolah saat bekal anak lainnya diantar oleh ibu atau ayah mereka.
Nenek Chiyo berteriak bahwa sudah waktunya tidur. Akan tetapi, Sasori belum mau beranjak dari lorong pintu depan. Mama dan papa belum pulang. Tugasnya belum selesai. Dia takut tidak bisa menyelesaikan gambar dan ditertawakan seisi kelas.
"Bu guru bilang ada tugas menggambar. Ayo buat sama nenek," Nenek Chiyo berusaha membujuk.
"Tapi bu guru suruh menggambar dengan orang tua, bukan dengan nenek kakek!" Sasori merajuk.
Nenek Chiyo tampak berpikir. Ia berjalan menuju ruang tengah dan mengambil dua buah boneka berbentuk perempuan dan laki-laki yang berukuran sebesar dua jengkal tangan. Sasori tampak bingung, menunggu.
"Anggap saja boneka ini pengganti papa dan mama saat mereka pergi bekerja. Dengan begitu, kita bisa menyelesaikan tugas dari bu guru," bujuk Nenek Chiyo.
.
.
.
"Lalu, apa kau menggambar boneka itu?" tanya Hinata."Tentu. Aku menggambar diriku memegang dua boneka dan kakek nenekku. Besoknya aku jadi bulan-bulanan di kelas. Mereka bilang aku gila karena menganggap boneka sebagai orang tua."
"Kau bilang mereka orang tuamu," tunjuk Hinata pada dua boneka di tengah ruangan. Mata mereka yang hampa membuat Hinata bergidik. "Tapi mereka besar, tidak kecil seperti boneka yang kau ceritakan."
Sasori tertawa.
"Mereka orang tuaku, sensei. Setidaknya, tulang mereka."
.
.
.
To be continuedHuwaaa. Choco finally bisa lanjutin nulis fanfic ini lagi. Terimakasih buat yang sudah setia menunggu.
See you again minna-san!
YOU ARE READING
Yours
FanfictionHinata terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Setengah sadar ia melihat tubuhnya yang telanjang dan penuh ruam kemerahan di sekitar leher dan dada. Tunggu! Siapa lelaki yang tidur di sampingnya? Demi Klan Hyuga! Tidak ada yang boleh ta...