Kelas Sean dan Arin sudah berjalan sekitar 30 menit. Selama itu pula, Sean tak henti-hentinya memperhatikan Arin sembari mendengarkan penjelasan dosen di depan kelas. Hal itu terjadi karena sekembalinya mereka dari taman, Arin beberapa kali tampak memegangi kepalanya. Pun wajahnya terlihat sedikit pucat. Tentu, Sean dibuat khawatir pada kondisi gadisnya.
Belum lagi tempat duduk mereka kali ini terpaut lumayan jauh. Jadi Sean tidak bisa memastikan kondisi Arin. Fokusnya terpecah begitu saja, namun sebisa mungkin Sean tetap menangkap materi yang diberikan.
Kala dosen mengucapkan kalimat penutup serta mengakhiri kelas, Sean bergegas merapihkan barang-barangnya lalu berniat menghampiri Arin. Meski harus melewati kerumunan teman-temannya yang berebut keluar untuk menghabiskan waktu istirahat, Sean berhasil mencuri tempat untuk berdiri di sebelah sang kekasih.
"Rin," panggilnya usai mereka keluar dari pintu ruang kelas. Sembari berjalan beriringan dengan Sean di sisi kanannya serta Githa di sisi kirinya, Arin menyahuti. "Kenapa?"
"Kamu sakit?" Tanya pria itu merapatkan tubuhnya pada Arin ketika seseorang menerobos untuk berjalan mendahuluinya.
Arin menggeleng pelan. "Enggak. Aku mau ke toilet dulu ya." Pamit gadis itu lantas beralih pada Githa untuk memberitahukan hal serupa. "Git, gue ke toilet dulu ya,"
Windy dan Joy yang berjalan di sebelah Githa juga dapat mendengar ucapan Arin. Lantas, Windy menanggapi. "Ayo, bareng gue Rin."
Menyetujui kalimat Windy, Arin hendak mempercepat langkahnya bersama Windy. Namun tiba-tiba, sebuah tangan menahan lengannya untuk berhenti.
"Rin, kamu beneran gapapa?" Raut wajahnya khawatir namun bercampur dengan ekspresi kaku dan dingin yang biasa pria itu tampilkan.
Mendengar ungkapan Sean, Arin tersenyum tipis seraya mengangguk berusaha meyakinkan. "Iya, bener... udah sana duluan, nanti aku sama Windy nyusul." Katanya. Sementara itu, Windy sempat tersenyum geli mendengar percakapan keduanya.
Akhirnya Sean membiarkan Arin berlalu bersama Windy, meski sebenarnya perasannya belum tenang terkait kondisi Arin. Sean masih terpaku memperhatikan tubuh gadis itu menjauh sebelum tersadar karena pukulan pelan dari Bima.
"Woy, minggir kali. Berdiri di tengah jalan. Lu kata jalan punya nenek moyang lu." Cecar pria tersebut sembari sedikit mendorong tubuh tegap tinggi seorang Sean.
Dalam hati, pemuda tersebut berdecak sebal karena perlakuan Bima. Sorot matanya bahkan berubah jengkel ketika temannya satu itu malah tersenyum meledek sehabis mendorong tubuhnya menepi.
"Apa lo liat-liat. Gue tau gue ganteng, tapi gak usah terpana kayak gitu."
Sean malas menanggapi karena pikirannya masih tertuju pada Arin. Jadi pria itu mengabaikan Bima lalu memilih berjalan lebih dulu, meninggalkan sosok Bima.
"Ye, jerapah kutub. Songong banget! Mentang-mentang baru jadian!" Seru Bima dongkol.
Kai yang baru saja berdiri di sebelah Bima menepuk-nepuk bahunya diikuti oleh Chaka mengambil posisi di sisi sebelah Bima lainnya.
"Lo berdua ngapain nepuk-nepuk pundak gue si?!" Sungut Bima kesal, menatap bergantian pada Chaka dan Kai.
Sedangkan mereka yang ditatap hanya tersenyum lebar seolah meledek pada Bima. Lalu, Kai mendekatkan wajah ke arah telinga Bima.
"BimAAAAAA,"
"KAI! BUDEK KUPING GUE NANTI, SIALAN!"
Sementara itu, Windy dan Arin masih dalam perjalanan menuju toilet. Sebentar lagi mereka akan sampai. Pada jarak yang tersisa menuju toilet, Windy sempat menanyakan hal serupa seperti yang Sean tanyakan pada Arin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choir [HUNRENE]
Teen Fiction[ON GOING] Muhammad Sean Fakhri, seorang lelaki dingin dan terkesan tak acuh yang berhasil membuat Arindita Rachel Kirana jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun karena sifat Sean, terkadang Arin berputus asa dan berfikir untuk menyerah saja. Ditam...