|♪| 𝐅𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠'𝐬' 𝒂𝒏𝒅 𝐑𝐞𝐚𝐬𝐨𝐧

697 100 109
                                    

Izin Arin untuk pergi ke toilet sebenarnya hanya alibi gadis itu. Setelah perdebatannya dengan Sean, air mata Arin tidak bisa terbendung lagi. Bahkan dalam perjalanannya entah menuju kemana, sudah banyak air matanya yang jatuh. Arin adalah perempuan, yang pastinya memiliki hati lebih sensitif dan rapuh. Terlebih, Arin sebenarnya tidak terlalu bisa dibentak karena hatinya akan terasa sesak dan air matanya akan terdesak keluar bahkan ketika ia enggan mengeluarkannya.

Mungkin sebelumnya, hati Arin sekuat baja ketika berhadapan dengan sikap tak acuh dan dingin Sean. Tapi kali ini pria itu membentaknya tanpa tahu seberapa keras usahanya agar tetap bisa mengikuti lomba kali ini. Mungkin memang seharusnya Arin tidak menyukai Sean selama ini. Karena perasaannya saat berdebat dengan Sean tadi rasanya dua kali lipat lebih sakit dikarenakan yang membentaknya adalah orang yang Arin sukai. Mungkin kalau itu Kak Andra atau temannya, hati Arin tidak akan sesakit ini. Ditambah belum lama ini, Sasha secara terang-terangan menyatakan perasaan sukanya kepada Sean. Dengan respon Sean yang masih ramah kepada Sasha, tentu Arin seharusnya sadar. Kalau dirinya memang sudah sangat dibenci Sean.

Suara tangisan Arin yang terdengar sesenggukan itu kini memenuhi gudang kosong yang berada di lantai teratas gedung kampus Arin. Lengan serta lutut gadis itu menjadi tumpuan kepalanya yang menunduk karena tangisnya tak kunjung berhenti. Dadanya bahkan terasa nyeri karena tangisannya yang sesenggukan.

"Ka-kalo gue tau, hiks suka sama lo bakalan sesa-hiks kit ini. Gu-hiks gue gak akan pernah yang namanya hiks suka sama lo, Sean!"

Arin berbicara dengan suara yang putus-putus karena tangisnya belum berhenti tentu saja. Kali ini gadis itu sudah bertekad untuk menghapus rasa sukanya pada Sean. Urusan berhasil atau tidaknya, biarlah waktu yang akan menjawab. Lagipula dia yakin kalau Sean pasti akan lebih memilih Sasha-sama seperti kisah cintanya di masa lalu.

Windy yang sudah berada di lantai teratas gedung pun masih mencari-cari dimana keberadaan Arin. Pikirannya begitu kalut saat mendapati Arin berlari setelah mengobrol dengan Sean. Tanpa melihat secara langsung pun Windy tahu, Arin pasti sudah memberitahu Sean mengenai suaranya. Seperti dugaan Windy, pemuda dingin itu akan sangat marah pada Arin.

"Arin..., lo dimana?" Lirih Windy sambil berjalan mengitari dan mengecek satu persatu ruangan yang ada di lantai teratas.

Sampai ketika Windy melewati gudang, telinganya yang cukup peka mendengar suara tangis sesenggukan dari dalam sana. Buru-buru gadis yang lahir di kota Malang itu masuk ke dalam gudang dengan pencahayaan yang temaram. Netra beningnya segera memandang sekitar. Ia juga mengandalkan pendengarannya untuk menemukan Arin.

"Rin,"

Panggilan Windy tidak digubris oleh sahabatnya tentu, karena seperti yang ia lihat, Arin masih mengeluarkan tangisannya yang begitu pilu. Bahkan Windy tidak kuat mendengarnya. Gadis itu sedang rapuh. Windy tahu betul hal tersebut. Tanpa mengajak bicara lebih lanjut, segera saja Windy merengkuh erat tubuh Arin yang masih meringkuk dengan memeluk kedua lututnya.

"Nangis aja gapapa, gue tau lo kuat Rin..." Windy senantiasa mengelus rambut hitam legam milik sahabatnya untuk menenangkannya.

Belum melewati 5 menit, Arin yang masih sesenggukan mendongak guna menatap Windy seraya berkata, "Win..., lo-hiks balik aja. Gue udah gapapa kok,"

Kalian bisa bayangkan, kini gadis yang matanya saja masih sembab kentara habis menangis malahan tersenyum sembari mengusap jejak air mata di wajahnya sekaligus menyuruh Windy untuk kembali ke ruang latihan.

"Rin..."

"Udah sana, nanti Kak Andra nyariin Win," pinta Arin sambil tangannya mendorong pelan Windy untuk kembali ke ruang latihan dan meninggalkannya saja. Toh, pikir Arin dia tidak perlu ikut latihan untuk perlombaan kali ini.

Choir [HUNRENE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang