Nadira sibuk menggerakan tungkainya kesana kemari di toko tempatnya membeli hadiah. Sedangkan Sean memilih untuk berjalan lambat atau sekedar memperhatikan dari jauh. Gerakannya berhenti ketika ponsel di sakunya terus bergetar. Membuat Sean memutuskan untuk mengambil ponselnya kemudian membukanya.
Setelah membuka kunci layarnya, Sean segera menekan ikon sebuah aplikasi bertukar pesan dan menemukan bahwa salah satu ruang obrolan grupnya menampilkan puluhan notifikasi pesan masuk. Sean bukan tipikal orang yang peduli pada hal-hal selain urusannya, namun firasatnya mengatakan bahwa pesan masuk dari grup tersebut berhubungan dengan dirinya.
Ternyata firasatnya terbukti benar. Sean terkejut juga tak habis pikir bagaimana bisa gambar saat ia tak sengaja bertabrakan dengan Nadira beberapa waktu lalu bisa sampai bahkan tersebar ke teman-teman kuliahnya. Lebih parahnya, banyak yang menganggap bahwa mereka sedang melakukan kencan. Tak sedikit pula yang menunjukkan dukungan mereka jika Nadira dan dirinya menjadi sepasang kekasih.
Sekian lama menggulir ruang obrolan grup angkatannya, Sean akhirnya berhasil menemukan siapa orang yang sudah menyebarkan foto tersebut kepada teman-teman kuliahnya.
Elina.
Sean mematikan ponsel kemudian mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Rahangnya mengeras, dan ia sudah bertekad untuk menemui Elina besok. Pemuda itu juga berniat pergi tanpa pamit guna menemui Arin. Ia yakin, Arin pasti sudah melihat gambar tersebut.
"Sean—kamu mau kemana?"
Suara Nadira sontak menghentikan pergerakan Sean. Ia menatap Nadira dengan raut wajah dinginnya sebelum berkata, "Gue balik."
Tubuhnya sudah berbalik, namun lagi-lagi satu tangan Nadira mencegat dirinya untuk pergi. "Aku belum selesai milih kadonya, Sen..."
Sean tidak peduli. Ia hanya ingin menemui Arin. Lagi pun, urusan Nadira seharusnya tidak perlu ada campur tangan dari Sean. Pria jangkung itu yakin, sebenarnya Nadira hanya ingin menyita waktu Sean. Karena setelah menjadi dekat dengan Arin, mereka sudah jarang sekali terlihat bersama.
"Lo bisa pilih sendiri, Dir."
Nadira menggeleng. Tidak mau Sean meninggalkanya. "Yaudah jangan pergi dulu, tunggu sebentar lagiiii aja," katanya memohon.
Si perempuan tidak tahu, bahwa Sean saat ini sedang menekan amarahnya kuat-kuat. Justru setelah menyaksikan tingkahnya, Sean bisa saja hilang kendali saat ini juga.
"Gak bisa. Gue harus pergi nemuin Arin sekarang."
Mendengar nama Arin terucap dari mulut Sean di antara percakapan mereka, membuat Nadira begitu muak. "Kamu tuh kenapa sih, Sen? Arin! Arin terus! Kamu lupa ya? Siapa yang lebih dulu deket sama kamu?! Siapa yang seharusnya jadi bagian penting dalam hidup kamu?!"
Mulanya Sean hampir terpancing, namun Sean memilih untuk tidak mengeluarkan amarahnya terlalu banyak. Ia hanya butuh tatapan tajam nan menusuknya untuk membuat Nadira diam tak berkutik.
"Lo salah. Karena sejak awal, Arin yang jadi bagian penting dalam hidup gue."
Semakin meluap emosi Nadira kala mendengar rentetan kalimat yang meluncur mulus dari bibir Sean. "Emang ya! Arin tuh perusak. Kamu tau?! Aku susah payah minta bantuan Elina biar bisa ngabisin waktu sama kamu. Ternyata kamu malah lebih milih ngabisin waktu sama cewek itu!"
Sean mendengarnya dengan jelas. Ini semua ulah Nadira. Ia ingin membuat hubungan Sean dan Arin tidak berjalan dengan baik. Amarah Sean bertambah usai mengetahui fakta yang terkuak sendiri dari mulut Nadira.
"Jadi lo yang nyuruh Elina buat nyebar foto kita ke grup angkatan?" Sebuah seringai tipis serta tatapan tajam kembali tertuju pada Nadira. Sadar akan kebodohannya, Nadira tampak gugup dan beberapa kali menelan ludah. "Ga-gak gitu Sen. Dengerin dulu penjelasan-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Choir [HUNRENE]
Teen Fiction[ON GOING] Muhammad Sean Fakhri, seorang lelaki dingin dan terkesan tak acuh yang berhasil membuat Arindita Rachel Kirana jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun karena sifat Sean, terkadang Arin berputus asa dan berfikir untuk menyerah saja. Ditam...