|♪| 𝐔𝐧𝐜𝐞𝐫𝐭𝐚𝐢𝐧

674 103 69
                                    

Arin sempat terdiam setelah mendengar permintaan Sean yang sedikit mengejutkan baginya. Perempuan itu pikir, Sean tidak akan mau membuat konversasi dengannya. Nyatanya, pemuda yang masih setia duduk memperhatikannya itu meminta Arin untuk memainkan lagu lain. Awalnya ia ragu, namun karena ia juga sempat mempelajari not untuk lagu tersebut, jadilah Arin mulai menggerakan jemarinya kembali di atas piano.

Beri kisah kita sedikit waktu

Semesta mengirim diriku untukmu

Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah

Kebiasaan Arin saat memainkan pianonya adalah, Arin pasti ikut bernyanyi namun dengan suara yang sangat pelan. Dan ketika ia menyanyikan bagian tersebut, entah perasaan saja atau apa, tapi rasanya kalimat terakhir dari lirik lagu tersebut sepertinya mendeskripsikan perasaan Arin kepada Sean. Atau mungkin, memang rasa Arin untuk Sean adalah rasa yang salah di waktu yang salah pula.

Permainan tuts piano Arin pun usai. Perempuan itu sempat menghela nafas sebelum menoleh pada Sean di belakangnya. Sedikit gugup karena saat dirinya menoleh pun, pemuda berkulit putih pucat itu masih setia memandanginya dengan intens.

"Great," kata Sean memuji. Terlihat jika pemuda itu kini beranjak dari duduknya. Dan setelah itu, dengan netra beningnya, Arin menyaksikan punggung Sean yang perlahan hilang dari pandangannya. Bersamaan dengan suara pintu yang tertutup pelan.

Arin mendesah kasar, "Emang harusnya aku gak suka sama kamu Sen." Gumamnya lalu berdiri dan berniat pergi dari sana. Setelah menutup pianonya, gadis itu melangkah keluar dari ruang musik. Ia sempat memperhatikan lorong sekitar yang lumayan sepi. Bahkan ketika Arin melangkah menuju halaman depan gedung fakultasnya, hanya suara sepatunya yang bergema. Namun saat ia melewati beberapa ruang, suara-suara ribut masih terdengar karena masih cukup banyak mahasiswa di ruangan tertentu. Tetapi tenang saja, Arin bukan tipe gadis penakut. Malah terkadang gadis itu sangat menyukai suasana hening dan sepi seperti ini. Rasanya... menenangkan. Kecuali kalau ada yang membicarakan hal mistis pada Arin sebelum itu, maka dia akan sedikit panik mungkin karena pasti akan terbayang di benaknya tentang hal tersebut.

Ketika gadis itu sampai di halaman gedung fakultas seni musik, masih dapat ia lihat beberapa mahasiswa yang bercengkrama. Arin terus melajukan langkahnya hingga tepukan di pundaknya, membuat perempuan mungil itu menghentikan langkah sesaat.

"Kok lo baru pulang?" Itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan oleh si penepuk pundak Arin. Karena perbedaan tinggi, Arin sedikit mendongak supaya bisa menatap orang yang memberinya pertanyaan tadi.

"Gabut aja." Balas Arin lalu kembali berjalan yang kini beriringan dengan seorang pemuda jangkung di sebelahnya. "Dih, gak jelas banget. Orang tuh kalo gabut kemana kek. Ini gabut di kampus. Rajin banget dasar." Cercanya dengan ekspresi yang menyebalkan di mata Arin.

"Suka suka gue lah. Hidup hidup gue. Kenapa lo yang ribet?" Balas Arin galak. Gadis itu bahkan sedikit mempercepat langkahnya namun berhasil disamai oleh pemuda yang beradu mulut dengan Arin tadi.

"Canda Rin..., no baper baper club, oke?"

"Gak buat lo!"

Baru saja ingin kembali mempercepat langkah, tubuh Arin tertahan karena pemuda itu menahan totebag Arin. Jadilah kaki perempuan mungil itu tertahan. "Irsyad!" Gerutunya sebal. Namun bagi pemuda yang menjahili Arin, yaitu Irsyad, tingkah gadis itu lucu. Itu kenapa Irsyad suka menggoda Arin, kalo kata pria itu; 'Enak aja godain dia, kayak lagi ngeladenin anak tk.'

"Lepas atau gue aduin ke Zalfa!"

Skakmat.

"Eh iya iya ampun. Lo mah, jangan bawa Zalfa dong, ah cemen..." gerutu Irsyad dengan sedikit raut panik di wajahnya. Itu salah satu senjata Arin. Membawa nama Zalfa—pacar Irsyad yang merupakan adik tingkat mereka, hehe.

Choir [HUNRENE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang