|♪| 𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐉𝐚𝐫𝐚𝐤

510 104 55
                                    

"Sering-sering main kesini ya, Rin."

Bunda Sean berpesan ketika mengantar Arin ke teras rumahnya. Posisinya saat itu Arin memang akan diantar pulang oleh Sean. Seulas senyum terbit begitu saja di wajah ayu Arindita.

"Iya Bunda, kalo sempet pasti Arin main." Timpalnya membuat senyum Bunda terukir indah.

Arin mengalihkan pandangan ketika Sean secara tiba-tiba mengenakan helm ke kepalanya. Menyadari wajah Sean yang perlahan mendekat, Arin tanpa sadar sedikit menjauhkan wajah. Berdekatan dengan pria itu membuat kerja jantungnya tak beres. Semoga saja Sean tidak sadar akan itu.

"Bunda, aku anter Arin dulu ya." Sean berpamitan sembari berjalan ke arah Bunda untuk menyalaminya. Diikuti oleh Arin yang melakukan hal serupa. Kedua wanita kesayangan Sean tersebut sempat saling memeluk sebelum Arin mengikuti langkah Sean menuju motornya.

Dalam perjalanan mengantar Arin pulang ke rumahnya, terlintas sebuah ide di benak Sean. Dia kemudian berbelok menuju sebuah kedai es krim. Tempatnya saat ini terbilang cukup ramai pengunjung namun tidak begitu padat.

"Kamu mau beli es krim?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Arin sesaat setelah ia ikut turun dari motor Sean. Tanpa menjawab Arin, Sean meraih tangan Arin kemudian membawanya ke kedai tersebut.

Beberapa menit menunggu dalam antrean, giliran memesan Arin dan Sean pun tiba. Karena Sean tidak memberitahunya apa pun, Arin memilih untuk memperhatikan dekorasi dalam kedai es krim ini. Kalau saja Sean tidak menarik atensinya, pasti Arin masih asik melihat-lihat ke sekitar.

"Rin, kamu mau rasa apa?"

Tentu Arin memasang ekspresi tidak mengertinya serta menggumam kaget. "Hm?" Lalu melanjutkan, "Bukannya kamu yang mau beli?"

Tidak menjawab pertanyaan Arin lagi, Sean kemudian menyebutkan nama salah satu menu dari kedai es krim ini. Menunggu untuk beberapa waktu, Arin kemudian menerima satu cone es krim dengan perisa vanilla-tebaknya. Sementara Sean terlihat memegang cone dengan es krim berwana coklat.

Mereka lantas beranjak menuju sebuah meja kosong yang tersedia di halaman luas kedai tersebut. Dengan dekorasi seperti lampu tumblr berwarna putih tergantung di sepanjang pagar pembatas serta beberapa lampion di sudut halaman menambah kesan nyaman bagi pembeli yang datang.

Arin mendapati Sean sudah mulai memakan es krim di tangannya. Meski tidak mengerti maksud dan tujuan Sean mengajaknya kemari, lelaki itu pun juga tidak mengatakan apa-apa, namun Arin senang karena Sean ternyata tahu rasa es krim kesukaannya.

Setelah Arin ikut memakan es krimmya, Sean memusatkan perhatiannya pada wajah berbinar gadisnya setiap mencicip rasa dari es krim vanilla tersebut. "Suka?"

Mendadak diberikan pertanyaan, Arin menaikkan sebelah alisnya lalu menoleh pada Sean. "Iya suka. Tapi kamu tau aku suka vanilla dari mana emang?"

Sean tampak pura-pura berpikir. Yang justru membuat Arin terkekeh pelan di tempatnya. "Aku suka perhatiin kamu. And vanilla itu selalu jadi pilihan kamu kalo beli es krim bareng Windy, Githa, sama Joy."

Arin tersenyum mengetahui Sean diam-diam memperhatikannya. Untuk beberapa waktu ke depan, keduanya tidak terlibat dalam percakapan apa pun. Sampai Sean kembali membuka suaranya.

"Aku ngajak kamu ke sini karena aku tau ada sesuatu yang lagi kamu pikirin, right?"

Kegiatan Arin yang tengah menikmati es krimnya pun terhenti beberapa saat. Ia tampak terkejut karena Sean ternyata bisa tahu ada yang sedang menggangu pikirannya akhir-akhir ini.

"Aku bohong kalo aku bilang gak ada yang ganggu pikiran aku belakangan ini." Katanya jujur. "Tapi aku belum bisa kasih tau kamu sekarang." Lanjutnya usai menarik nafas dalam.

Choir [HUNRENE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang