|♪| 𝐇𝐢𝐬 𝐅𝐚𝐯𝐨𝐫𝐢𝐭𝐞

767 105 48
                                    

Motor yang dikendarai Damar dengan Arin yang diboncengnya kini sampai di depan gerbang rumah gadis itu. Keadaan sekitar sudah cukup sepi mengingat gadis itu tinggal di komplek. Perlahan, tungkai mungil Arin menuruni motor gede Damar, tangan gadis itu juga terjulur memberikan helm Damar yang sudah dilepasnya beberapa saat lalu.

"Makasih ya Dam," kata gadis mungil itu yang dibalas senyum simpul oleh Damar. Pria itu lantas mengeluarkan suaranya, "Lo kalo emang butuh bantuan gue bilang aja. Ada nomor gue kan?"

Arin tertawa pelan mendengarnya. "Lah, kok ketawa?" Tanya Damar, heran karena respon Arin yang tidak dapat ia mengerti. "Lucu aja, lo tiba-tiba baik gini." Ujar Arin masih dengan tawa pelannya. Damar pun hanya memutar bola matanya malas. "Ye, udah dianterin juga lo."

"Hahaha iya Dam, bercanda doang gue."

"Yaudah sono masuk, gue balik dulu." Damar sudah bersiap akan menjalankan motornya setelah memakai helm, akan tetapi suara Arin mengiterupsi niat Damar untuk melajukan motornya.

"Mm, Dam..."

"Apa?" Damar menyahuti dengan suara yang sedikit teredam karena ia sudah memaki helmnya. "Gak jadi deh, yaudah hati-hati Dam." Arin sebenarnya hendak menanyakan sesuatu, namun gadis itu mengurungkannya karena ia pikir sekarang bukan waktu yang tepat.

"Ye dasar, yaudah."

Motor Damar kemudian meninggalkan komplek perumahan Arin, akan tetapi sebelum benar-benar hilang dari pandangan gadis itu, suara Damar sempat terdengar samar mengucapkan sesuatu di telinga Arin. "Gue duluan Rin," katanya samar karena teredam oleh angin kencang dan memang pria itu mengatakan sembari menjalankan motornya meninggalkan rumah Arin. Jadi kini perawakan pemuda yang mengatar Arin tadi sudah menghilang dari pandangan mata Arin.

Sebenarnya Arin merasa jika ada seseorang yang melihatnya dari kejauhan, meski langit belum terlalu gelap karena sekarang masih terhitung sore akan tetapi netra indah Arin itu tidak dapat menemukan siapapun di sekitarnya. Baru saja ingin membuka pagar rumahnya, Arin dikejutkan dengan suara laju motor yang tiba-tiba melintas melewati rumahnya. Sangat cepat, bahkan suaranya cukup terdengar nyaring. Sayangnya, motor tersebut melaju terlalu cepat hingga Arin tidak sempat melihat siapa orang yang lewat tersebut.

Tapi gadis itu merasa jika sosok yang mengendarai motor tadi mirip dengan postur tubuh Sean. Kepala Arin pun menggeleng pelan karena tidak mungkin Sean tiba-tiba ada di sekitar rumahnya. Untuk apa? Pemuda itu saja tidak menyukainya, jadi kemungkinan jika orang tadi adalah Sean salah besar. Tidak ingin terlalu memusingkan, Arin kembali melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Namun sebenarnya, dugaan Arin benar. Karena orang yang mengendarai motor dan melewati rumah Arin adalah Sean yang saat ini tengah memberhentikan motor gedenya di dekat taman komplek rumah Arin yang sudah cukup sepi di sore menjelang malam ini.

Ia tidak turun dari motornya, hanya melepas helmnya kemudian terdiam dengan tatapan yang entahlah—banyak yang sedang dirasakan oleh pemuda berkulit putih pucat tersebut. Sehingga tatapannya sangat sulit diartikan.

Lumayan lama motor Sean terparkir di luar taman komplek dan itu berarti Sean sudah melamun cukup lama, sekitar 20 menit mungkin. Melihat sekarang bulan sudah menggantung dengan indah di langit. Tandanya waktu sudah berganti menjadi malam hari.

Lamunan Sean terganggu oleh suara deringan ponsel yang berasal dari saku di jaketnya. Dengan malas pria itu mengambilnya dan melihat siapa yang menelponnya malam-malam. Decakan pelan keluar dari bibir Sean. Namun pada akhirnya ia tetap mengangkat karena jika tidak sudah dapat dipastikan Bunda yang akan menelponnya.

"Hm?"

"Dimana lo?"

"Jalan."

Choir [HUNRENE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang