Dua minggu.
Sudah selama itu waktu berjalan, namun tidak ada kabar baik untuk hubungan Sean dan Arin. Mereka masih teguh pada pendirian masing-masing. Arin yang tetap menjaga jarak karena menurutnya itu jalan terbaik untuk mereka berdua saat ini. Sementara Sean dilanda kebimbangan. Terkadang ada momen di mana ia ingin menghampiri Arin kemudian mengajaknya bicara baik-baik serta meminta maaf dengan tulus. Namun, di satu sisi, amarah dan sifat egois kadang menutup hati kecilnya untuk cepat berbaikan dengan Arin.
Pernah, satu waktu saat mereka sudah menjauh selama 2 hari, Sean kala itu hendak pergi ke kelas dan tanpa sengaja berpapasan dengan Arin. Detik itu juga, ketika pandangan mereka bertemu, ingin rasanya Sean menghampiri Arin kemudian mengajaknya bicara.
Namun yang terjadi hanya sebatas mereka membuang pandangan kemudian berlalu begitu saja. Sampai kemudian, tiba di kelas. Secara mengejutkan, hanya tersisa dua kursi kosong di dalam kelas. Padahal hari-hari sebelumnya, kelas tidak sepenuh ini. Jadi Sean harus bersyukur atau bagaimana? Karena mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus duduk berdampingan sebab dua orang terakhir yang masuk ke kelas adalah dirinya dan Arin. Meski sekarang belum waktunya kelas untuk dimulai.
Sean senantiasa memperhatikan pergerakan Arin dari mulai mereka berjalan ke tempat duduk mereka sampai sekarang duduk bersisian. Arin tampak tidak terganggu dengan kehadiran Sean. Sementara pria itu mati-matian menahan keinginan untuk melontarkan beberapa kata pada gadisnya.
Semua itu hanya ada dalam benaknya. Karena pada akhirnya tidak terjadi percakapan apa pun diantara dirinya dan Arin.
Kelas berjalan sampai setengah jam mata pelajaran, tiba-tiba atensi Sean teralihkan karena pergerakan kecil yang dibuat oleh Arin di sebelahnya. Benar-benar minim pergerakan yang Arin buat karena mungkin tidak ingin menganggu orang di kanan dan kirinya—atau mungkin lebih tepatnya tidak ingin menarik perhatian Sean—begitulah isi pikiran Sean.
Setelah memperhatikan beberapa saat, Sean pun tersadar jika Arin baru saja menjatuhkan bolpoinnya. Dan betapa tidak beruntungnya Arin, karena benda yang berfungsi sebagai alat tulis tersebut jatuh tepat di bawah meja Sean atau lebih tepatnya di dekat kaki pria itu. Maka dari itu, Arin kesulitan mengambilnya. Faktor utamanya tentu saja karena keberadaan Sean.
Atas inisiatif dan insting alaminya, Sean menggerakan tubuh sedikit condong ke bawah untuk menggapai bolpoin milik Arin. Begitu mendapatkannya, ia segera menyerahkan kepada gadis di sampingnya perlahan. Tidak—mereka tidak melakukan interaksi apa-apa. Sean hanya meletakkannya di atas meja Arin tanpa suara.
Menyadari pertolongan dari pria di sebelahnya, Arin semula diam saja usai mengenggam kembali bolpoinnya. Namun ketika dosen di depan kelas tengah membolak-balik halaman sebuah buku tebal, Arin berbisik rendah.
"Makasih."
Iris mata Sean membulat seketika. Ia bahkan refleks menoleh sekilas ke arah Arin. Menahan pandangannya untuk beberapa saat pada gadis itu sementara ia sibuk dengan bolpoin dan buku catatannya. Seolah kalimat tadi terucap karena sebuah keharusan, bukan karena ingin berurusan lebih lanjut dengannya.
Bertepatan dengan selesainya kelas, Sean kala itu berniat mengajak Arin bicara. Ia menunggu sampai kondisi sekitar mulai sepi karena para mahasiswa berhamburan untuk pergi ke luar kelas. Ketika dirasa waktu untuk mendekati Arin sudah tepat, Sean pun sudah berdiri di hadapan Arin, hanya tinggal melontarkan beberapa kata untuk membuka percakapan dengan cewek itu. Tetapi sepertinya Sean harus mengurungkan niatnya karena ketika ia memanggil nama Arin,
"Rin,"
Arin mendongak, dengan tatapan sulit diartikan, lalu berkata, "Aku masih butuh waktu. Permisi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Choir [HUNRENE]
Ficção Adolescente[ON GOING] Muhammad Sean Fakhri, seorang lelaki dingin dan terkesan tak acuh yang berhasil membuat Arindita Rachel Kirana jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun karena sifat Sean, terkadang Arin berputus asa dan berfikir untuk menyerah saja. Ditam...