|♪| 𝐒𝐢𝐤𝐚𝐩𝐧𝐲𝐚

863 113 86
                                    

Kepala Arin menoleh ke belakang secara perlahan. Benar saja. Gadis itu dapat menemukan tubuh tegap Sean yang tengah berjalan ke arahnya dengan tampang dingin dan datarnya, seperti biasa. Dengan kaus putih polos, celana jeans, dan topi hitam berlogo centang di kepalanya.

Pemuda itu kemudian sampai di tempat Arin dan mengambil tempat di depan gadis yang masih terpaku melihat kedatangan tiba-tiba Sean. Sadar terlalu lama terpaku, Arin buru-buru menetralkan ekspresinya.

"Lo kok ada disini?"

"Abis nganter Nadira."

Sean nampak memperhatikan sekitar cafe kemudian kembali lagi menatap Arin yang tengah meminum minuman yang gadis itu pesan tadi. "Lo sendiri?" Mendengar Sean bertanya padanya, Arin menaikkan kepala untuk menjawab pertanyaan cowok itu. "Iya,"

"Masih lama gak?"

Arin menyeritkan dahinya, bingung dengan pertanyaan yang Sean ajukan tanpa dia duga. "Kenapa emangnya?"

"Gue anter pulang." Katanya singkat tapi sanggup membuat Arin terkejut dibuatnya. Bagaimana bisa pria di hadapannya bilang akan mengantarnya pulang dengan sangat mudah? Tidak tahukah dia jika ucapannya barusan membuat jantung Arin berdetak kencang?

"Gak usah Sen, lo duluan aja." Berusaha setenang mungkin, Arin menjawabnya. Gadis itu tidak ingin kepedean. Mungkin saja Sean sedang dalam mood yang baik, oleh karena itu dia menawarkan Arin untuk diantar pulang.

"Gue tungguin." Lagi, Arin berhasil dibuat bungkam oleh kalimat yang terlontar dari mulut Sean. Cewek itu masih tidak mengerti apa gerangan yang membuat Sean secara sukarela mau mengantarnya? Tidak mungkin bukan Sean menyukainya juga?

'Gak mungkin Rin, jangan halu!'

Arin buru-buru menjawab, "Gak usah Sen, lo pulang aja duluan. Gue masih lama banget." Gadis itu berusaha menolak halus ajakan Sean. Sayangnya, pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi dari hadapan Arin. Malahan pria itu mengacuhkan kalimat penolakan yang Arin lontarkan tadi.

"Sen, lo kalo mau pulang gapapa. Jangan nungguin gue. Gue bisa pulang sendiri nanti." Arin kembali membujuk agar Sean pulang. Bukannya Arin tidak mau diantar Sean, tapi ia hanya tidak ingin merepotkan Sean. Apalagi katanya pria itu baru mengantar Nadira.

Sean yang baru saja memainkan ponselnya menoleh sekilas ke arah Arin. "Gue belum mau pulang." Ujarnya dingin, membuat Arin tidak bisa berkutik lagi. Ekspresi pemuda itu terlihat berkali-kali lipat lebih dingin setelah membalas ucapan Arin.

Akhirnya Arin mengalah, ia pun menghabiskan pesanannya agar tidak membuat Sean menunggu terlalu lama. Setelah menghabiskan pesanannya, Arin hendak memanggil Sean. Namun gerakan berdiri dari Sean seolah ia mengetahui jika Arin sudah menyelesaikan kegiatannya. Tanpa berucap apapun, Sean memimpin jalan yang diikuti oleh Arin.

Mereka ke tempat parkir di cafe tersebut. Ternyata Sean membawa motor gedenya. Setelah Sean naik dan mengenakan helmnya, ia memposisikan badan motor itu di sebelah Arin agar gadis itu lebih mudah naik ke atas jok motornya.

"Pake." Sean menjulurkan helm yang memang selalu ia bawa. Berjaga-jaga jika ada yang akan mengisi jok belakang motornya. Untuk sekarang, mungkin Nadira yang paling sering mengenakannya—menurut Arin.

Tangan Arin kemudian menerima pemberian Sean tersebut dan mengenakannya. Saat akan naik ke atas jok motor Sean, ia sedikit ragu untuk memegang pundak Sean sebagai tumpuannya.

"Pegang pundak gue." Ujar Sean tiba-tiba. Sempat Arin terdiam beberapa saat, hingga Sean akhirnya menoleh ke belakang kemudian mengarahkan tangan Arin ke atas pundaknya. "Naik Arin."

Choir [HUNRENE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang