Pergi ke ruang musik menjadi pilihan Arin disela waktu luang sebelum masuk ke kelas berikutnya. Ia sendiri di sana, tidak ada seorang pun di ruangan tersebut. Menghampiri piano besar di sudut ruangan, Arin lantas mendudukkan diri di bangku piano.
Pikirannya saat ini sedang runyam. Perkara foto yang Nadira kirimkan kemarin. Untuk saat ini, biarkan Arin menenangkan diri dengan memainkan beberapa melodi melalui piano di hadapannya. Suara yang ditimbulkan dari permainan piano Arin tetap terdengar indah meski nada-nada tersebut muncul secara acak di kepalanya.
Dalam benaknya, gambar kedekatan Sehun dengan seorang gadis terus terbayang. Padahal Arin sudah berupaya maksimal untuk hanya fokus pada tuts hitam putih piano. Hingga akhirnya melodi yang ia mainkan kian berantakan.
Arin berhenti. Menenggalamkan kepalanya di atas piano. Bersama rasa—yang entah bagaimana mendeskripsikannya jauh dalam hati kecilnya.
Sesak, sakit, bingung.
Sepertinya tiga kata itu yang akan Arin pilih sebagai penjelas untuk perasaannya. Mungkin tujuan Nadira mengiriminya gambar kemarin memang sengaja agar membuat hatinya tidak tenang seperti saat ini.
Hembusan nafas kasar keluar berulang kali dari mulut Arin. Ia benar-benar dilanda kebimbangan. Antara berkata jujur pada Sean atau memilih diam namun perasaannya akan terus dihantui kata penasaran. Dan ini semua berkat sebuah foto dari Nadira kemarin.
Good Job, Nadira Fidelya!
Melirik jam tangannya, Arin mendapati jika waktu untuk masuk kelas selanjutnya dimulai tidak lama lagi. Maka demikian, ia menarik diri dari piano lantas melangkah pergi meninggalkan ruang musik.
Tepat setelah ia berada di luar ruangan, Arin tanpa sengaja hampir saja bertabrakan dengan tubuh tinggi nan tegap seorang pria yang belum ia kenali wajahnya. Beruntung, mereka berdua sama-sama berhenti sebelum menabrak satu sama lain.
"Eh—sorry,"
"Eh, iya iya, sorry juga."
Kepala Arin mendongak guna mengetahui siapa lelaki di depannya. Begitu mereka saling melihat, baik Arin maupun si lelaki melempar senyum tipis.
"Lo gapapa?" Tanyanya seraya memperhatikan Arin dengan senyum manisnya.
Arin lantas membalas dengan anggukan ringan. "Gapapa, Kak,"
Iya. Lelaki ganteng juga manis itu adalah kakak tingkat di kampus Arin, satu jurusan juga dengan dirinya. Namanya Bintang Argani. Sepengetahuan Arin, beberapa teman satu angkatannya bilang jika Bintang merupakan pria baik hati, cerdas serta ramah. Banyak gadis yang terpikat pada pesonanya.
"Lo—Arin, bukan?" Tebaknya, mencoba mengingat nama gadis cantik di hadapannya saat ini.
Kembali, Arin memberi anggukan kepala guna membenarkan pertanyaan Bintang. Jujur saja keadaan saat ini cukup canggung bagi Arin. Ia baru saja ingin melontarkan beberapa patah kata untuk pamit undur diri, namun Bintang mendadak melemparkan topik lain untuk dibahas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choir [HUNRENE]
Teen Fiction[ON GOING] Muhammad Sean Fakhri, seorang lelaki dingin dan terkesan tak acuh yang berhasil membuat Arindita Rachel Kirana jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun karena sifat Sean, terkadang Arin berputus asa dan berfikir untuk menyerah saja. Ditam...