Wabah sudah mulai menjalar ke kotaku. Banyak yang panik terutama warga di sekitar kompleksku. Tapi, teman kelasku banyak yang menyepelekannya.
Jadi ini rasanya berada dalam apocalypse? Padahal aku tidak ingin ikut andil di akhir zaman yang seperti ini. Sepertinya memang benar kalau manusia lah yang mempercepat kehancuran bumi itu sendiri. Pasalnya, bumi tidak akan sehancur ini jika karena bukan ulah manusia termasuk aku. Mengirimkan wabah sebesar ini agar dapat terjadi revolusi.
Tentunya, siapa yang tidak mengenal wabah pandemic ini? Wabah yang sudah menglobalisasi dunia, pasti semua orang tahu akan keberadaannya.
Pemerintah menyuruh kami―para warga―untuk mengisolasi diri di rumah. Percuma, percuma sekali mereka menyuruh seperti itu kalau bandara tiap daerah tak ditutup, penduduknya masih berkeliaran kesana kemari seperti tak ada beban. Untuk tenaga medis dan keamanan, memang harus karena mereka yang bertugas untuk menyembuhkan dan menjaga kota. Tapi, untuk warga biasa? Ah, memang benar sekali lagi manusialah yang membawa kehancuran bagi mereka sendiri.
"Sudah siap?" tanya seseorang berkacamata dengan rambut hitam bergelombang. Aku hanya mengendikkan bahu acuh. Ya, aku siap hanya saja enggan untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan.
Gadis berkacamata itu kemudian mengerutkan dahinya lalu menunjuk ke arah luar, seorang pria berambut cokelat gelap tengah berjalan dengan santainya tanpa rasa waspada. Oh, bukannya itu temanku? Ah ya, aku ingat. Dia janjian untuk nongkrong dengan teman-teman kelas lain, istilahnya hang out.
"Hang out di tanggal darurat seperti ini? Temanmu itu cari mati, ya?"
Bagai bisa membaca pikiranku, sepupuku―gadis berkacamata, aku tak ingin menyebutkan namanya begitu pula dengan namaku―itu mengungkapkannya dengan mudah. Mendengarnya, aku hanya terkekeh pelan.
"Aku sudah siap, ayo," ajakku lalu berjalan keluar bersamanya menuju teman lelaki itu.
Ya, aku adalah salah satu yang terinfeksi dari lab langsung. Karena pekerjaan Ayah, ia mencuri virus tersebut lalu menelitinya. Tapi, sebelum ia meninggal, ia melepaskan virus tersebut di pasar negara sebelah untuk menguji cobanya. Entah apa alasan atau niatnya, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
Ia meninggal bukan karena virus melainkan karena kecelakaan pesawat. Tak lama setelahnya, wabah yang dari satu negara menyebar pesat. Aku pun juga menemukan virus tersebut di lab Ayah dan tak sadar bahwa telah terinfeksi.
Masa inkubasinya adalah 14 hari yang berarti hari ini adalah akhirnya.
Siapa yang ingin mati sendirian? Tentu saja aku tidak mau. Namun, aku akan memilih siapa yang akan kubawa bersamaku. Mereka yang tak mengikuti aturan akan ikut mati dan mereka yang mengikuti akan tetap selamat.
Intinya mudah, tetap di rumah jika kau bukanlah tenaga medis ataupun keamanan.
.
.
.
[Note]
Dalam rangka di rumah aja karena COVID-19. Hanya mengingatkan melalui fiction kecil ini✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Putaverunt
Short Story"Putaverunt, yang artinya pikiran. Di mana buku ini hanya berisi cerita pendek yang berasal dari pikiranku." Goresan pena penuh kegelapan mulai menghantuiku. Tak ingin sia-sia, segera kutuai dalam sebuah kertas putih bersih, membagikannya ke pada si...