33. Auristela

436 33 0
                                    

Selepas acara balapan yang dimenangkan oleh geng Lio ku kira aku akan bisa segera pulang kerumah. Tapi dugaan ku salah besar ketika, kaparat Lio dan para anggotanya menculik ku di markas mereka.  Ini bisa disebut kasus penculikan bukan, aku tidak menginginkan tapi mereka khususnya Lio  yang memaksaku.

Sekarang pukul tiga dini hari tapi di markas Eagle terlihat masih sore, dengan para anggota yang sibuk dengan kegiatan mereka. Menambah kesan ramai ditempat ini, alunan musik dari petikan sinar gitar yang dimainkan oleh salah satu anggota dan sorak-sorakan lagu dengan suara pas-pasan malah terdengar indah dan menenangkan ditelinga.

Kami berada dibelakang markas Eagle   lahan luas yang ditumbuhi rerumputan hijau dan pohon-pohon rindang, tidak terlihat menyeramkan malah terlihat sangat asri dan begitu sejuk, dengan pencahayaan remang-remang dari lampu dan cahaya bulan yang menjelang pagi.  Tidak pernah aku sangka mereka memiliki markas seindah ini.

Beberapa tenda, bantal duduk, meja kecil tersusun rapi disini seperti tempat perkemahan keluarga. Sangat indah, aku sampai dibuat bingung anak laki-laki yang terkenal kejam ternyata juga mencintai keindahan.

"Tempat ini adalah rumah bagi kita. Kita membangunnya dengan berbagai pertimbangan, bukan soal seberapa mewah bangunan ini tapi bagaimana tempat ini bisa menjadi tempat paling nyaman untuk pulang."

Aku menoleh pada Lio yang berbicara disamping ku seolah tau apa yang sedang aku fikirkan. Kedua mata pria itu, menyaksikan kegiatan para anggota dengan kegiatan mereka masing-masing, sering kali suara gelak tawa terdengar ditengah kegiatan mereka.

"Mereka yang selalu tertawa dan terkenal humoris mungkin akan membuat orang lain menangis saat mendengar cerita hidupnya."

"Kami berhasil, kami berhasil membangun tempat bagi kami untuk pulang disaat rumah tidak bisa lagi menawarkan ketenangan bagi kami."

"Kalau lu butuh tempat untuk pulang, dateng kemari. Eagle selalu ada buat lu."

"Kenapa lu percaya sama gua?."

Dia tertawa kecil kemudian menatapku dengan mata tajam miliknya.

"Butuh alasan apa lagi buat gua gak percaya sama lu." Dia tertawa lagi membuatku menaikan alisku pertanda kebingungan dengan sikapnya. "masalah lu terlalu berat untuk menambah masalah lagi sama gua."

Sialan. Dia mengejekku.

Aku mendengus. Mengabaikan wajah menyebalkan milik Lio yang kini sudah menahan tawanya.

"Neng cantik, makan gih sosis sama dagingnya udah mateng. Terus bobok cantik udah pagi nih." Teriak menyebalkan pria setahuku bernama Zaenal yang bertugas membakar daging dan sosis.

***

"Berhenti dulu ya gua mau beli rokok."

Aku mengangguk, mobil Lio terparkir didepan supermarket pinggir jalan.

"Mau ikut?" Aku menggeleng. "Oke, Nitip apa?" Aku menarik nafasnya jengah, kemudian kembali menggeleng. Setelah itu dia keluar dari mobil menuju supermarket, aku membuka ponselku untuk membalas beberapa pesan dari Ben dan nenek yang belum sempat aku balas sebelumnya sembari menunggu Lio.

Beberapa menit berlalu Lio belum juga kembali, aku melihat sekitar yang terlihat sunyi karena memang sekarang menjelang subuh. Setelah acara makan tadi aku memaksa Lio untuk mengantarkan aku pulang, hingga diakhir perdebatan kami akhirnya dia mengalah dan mengantarku pulang saat itu juga.

Mataku terpusat kearah penjual martabak manis di sebrang jalan yang mungkin buka dua puluh empat jam, atau mungkin sang penjual sengaja masih buka karena belum mendapat pembeli, kasihan sekali jika tebakan keduaku itu benar. Akh sudah lama tidak merasakan makanan itu, sepertinya enak jika rasa coklat dan keju meleleh kedalam mulutku saat ku gigit. Membayangkannya membuatku tak sabar untuk segera mendapatkan makanan manis itu.

AURISTELA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang